07 Oktober 2008

DOA PEMADAT KEPADA BULAN

Bulan yang baik, malam ini aku hadir di antara para pemadat kata,
ijinkanlah anak-anakmu yang liar untuk kupersembahkan sekali lagi.
Bulan yang baik, karena itu suntikkanlah candumu kedalam nadiku,
melalui kata-kata yang berserakan dan telah kupasung dalam kertas,
dan kiranya sabdamu mengusir segala kesempurnaan yang tak layak bagiku.
Bulan yang baik, biarkan juga cahaya racunmu meresap kedalam ruangan ini
dan mengikat ion-ion hayal mereka, hingga menjadikan mereka buta untuk sementara.
Bulan yang baik, setelah itu ijinkan aku melayang bersama buah-buah nadamu,
menyelinap kedalam asap candu yang telah mereka bakar tanpa sadar.
Bulan yang baik, tak lupa juga ku panjatkan rasa terimakasih padamu
karena mereka sekarang telah menjadi tuli dan tak bisa lagi mendengar kata
amin.

PERTEMUAN (MANGGA BESAR)

Saat malam tengah berdiri tegap, pintu-pintu goa telah terbuka lebar, langkah kaki bertebaran mencari gelap yang melebihi malam.
Tapakku ada diantara mereka, mengikuti arus diantara iblis yang menuju surga, selami irama bersama tubuh yang menari-nari, menanti sapa dalam sunyi

Pertemuanku dengannya tak selembut angin yang membelai dedaunan,
berhembus di ladang rerumputan yang bekas terbakar.
Ladang yang dulu hijau, subur dan ditumbuhi pepohonan yang berbuah segar, bagai mangga, yang dibasuh embun pagi. Mangga Besar.
Malam yang dingin, tak pernah sebeku hati ini, yang memang sedang kusimpan dalam sebuah kulkas

Pertemuanku dengannya dalam sebuah goa yang gelap, ramai dan bising oleh sosok-sosok yang kesepian.
Suara binatang malam bernyanyi menyambut perlip semu, dendangkan lagu, mengalir bersama nuansa dan bertemu di mulut goa, merayap dalam dansa
Di dalam dunia gemerlap diantara kemerlip bintang-bintang palsu, ketika sang tuan sedang asik meracik nada dari atas mimbar.

Pertemuanku dengannya ketika pengaruh merasuki bawah sadar.
Menyusup dari lorong-lorong tegukan, menembus hingga ke dasar hayal
Ketika langkahku tiba di lantai yang paling atas, dihadapan kuda dan pentagram
Seandainya ada mata-mata yang melihat kita, maka ia juga sedang tidak sadar.

Kupastikan ini tidak akan abadi.
Setelah kita bertukar cerita, dengan bahasa tubuh tanpa kalimat.
Tak perlu kata untuk mengajakmu melompat kedalam birahi.
Setelah kita saling bertahan, meski tubuh setengah terbakar.
Hingga terkapar diantara meja bar.

Dan kembali kupastikan bahwa,
Ketika matahari mengusik malam, dan para penjaga lari tunggang langgang.
Ketika terang memeluk bulan, mengantar embun ke tanah dasar
Maka, cerita kita hanya tertunda sebentar.

TIDAK LAGI TENTANG CINTA

Dalam jarak dan sunyi-ramainya, kusapa rindu tanpa kata,
agar tak sadar ia dari gangguku, bersama cerita lain dengan mimpinya
tentang hangat, tentang cinta
tentang kisah
Akupun mimpi disini, terpisah dalam waktu dan sunyi-ramainya,
tak ingin sadar, menyapa mimpi-mimpi orang, bersama tidur dan malam,
menanti mimpimu, bersama lelap dan gelap, tanpa mata terpejam,
tentang karya
Dalam jarak dan waktu, serta sunyi-ramainya, mimpimu kini menjelma cerita
tentang merdu, pengganti rindu, tentang seseorang, kekasih baru
kuhanyut dalam tanya, terjebak penantian dan kembali hampa
dilupakan rindu
Dan kini aku terbangun, kembali sadar diganggu sepi
kurajut cerita dan kurancang mimpi
tentang liar, tentang bebas, tentang hayal, tentang nyata
tentang gelap, tentang terang, tentang segala yang asing
dan kepada mimpi aku kembali
untuk bercerita
Tidak lagi tentang cinta, jika
dalam jarak tak teruji
dalam waktu tak berarti
dalam mimpi tak bertemu

UNJUK RASA

Ciptakan saja kata-kata itu tanpa ragu
dan mengalir, dari dalam ruang kosongmu
yang berselimut makna dengan berjuta tafsir

Tarikan saja jari-jarimu diatas keybord, diatas kertas
dari dalam ruang kosong, dan mengalir
tanpa batas luapkan isi, tanpa duga tercipta syair

Khayali saja seisi ruangmu
lemari, meja, kursi-kursi, teman-temanmu
pintu itu, jendela nako, buku-buku, penamu
kemudian, ciptakan saja kata-kata itu
dari ruang kosongmu, kaya makna
sebatas syair

dari dalam ruangku, kata menyapa
ruang kosong tanpa atap, melayang
menyusup di pintumu, bertemu syairmu
menawarkan kata, mengisi ruang
untuk berontak dan unjuk rasa

KEPALA SI LUGU

Terjadi pertentangan di dalam kepalamu
antara puisi, prosa, cerita dan berita
lalu, mau kemana tumpah sisa,
majalah, koran, atau hanya secarik kertas?

Gulungan kusut kembali selimuti batok
antara keindahan, analisis, kebenaran bahkan sihirku
tak seorang mampu mengurainya
dokter, sufi, ilmuwan bahkan penyair sekalipun

Sedangkan didalam kepalamu terpencar kata beragam makna
disudut dalam matamu terekam potongan-potongan cerita
telinga yang pernah tertutup oleh jeritan,
kini tak mampu lagi untuk diam

Dan didalam hatiku, ada seorang lugu yang sedang menyelam,
menyusuri rasa, mengikuti jiwa hingga kedalam
dengan langkahnya, kaki menari ikuti kelam
berulang-ulang tersandung, mengibas kotoran dan tetap tenggelam

antara kita terpikir untuk coba menyusun kembali serpihan kata
dan mulut ini tak mampu lagi bercerita tentang cinta

Yang ditunggu selalu waktu
Ketika isi kepala, mata, telinga dan mulut bertemu si lugu
Ketika kata mencoba maknai cerita lalu
Ketika langkah dihentikan malam dan rindu
Ketika itupun pena dan ketas bercumbu

MINORITAS

Suara minorku melayang, menerjang,
berderap, melesak, memecah khayal,
hingga kata menyumbat darah,
menumpuk, menggumpal, muncrat hingga berlembar-lembar.
Kemana tanya makna tersisihkan?

Sangat ingin aku menoreh, mencoreng, mencoret wajahmu
wajah dunia dengan tinta hitamku.
Kucoba berenang, menyelam dalam lembar nadamu
agar semua rasa, semua dahaga, meneguk air basuh tubuhku.
Kemana tanya makna tersisihkan?

Hentak kaki telah ambil bagian, telusuri segala terasa asing,
keatas, kebawah, menyamping terbentur dinding.
Langkah kaki enggan berlari, terjebak karya minoritas.
Kini tinggal jejak setengah tapak, kucoba sapa nada minormu.
Dengan makna kucoba menyentuh hati setiap mata,
agar tak jadi buta dalam karya.

PUISI

Belum jua ku mengerti tentang sebuah kata yang melenggang sepanjang sunyi dan menantikan pagi. Bertaburan debu jalanan bercumbu dengan batu-batu diatas jejak-jejak aspal yang lahir dari persimpangan antara kata dan makna. Mungkin nanti.

Mungkinkah hari-hari menjadi tua dalam kepal yang menumbuk waktu, menggores-gores malam hingga susut umur lautan dan menjelma telaga unggu dengan hantu-hantunya yang melemparkan kail ditengah-tengah mimpi.

Mimpimu juga yang telah membimbing ikan-ikan merah terbang diatas danau dan menghampiri jala-jala yang terkapar bisu diatas lembar-lembar kosong, mengisinya dengan kata-kata lamur yang berserakan disekililing hutan makna, berlomba-lomba untuk terpasung dan sempurna oleh waktu.

Waktu itu tak mungkin tiba diujung mimpi, diujung kail, diujung pena yang menari, tanpa kau yang mencumbuku diatas altar para pemadat kata.

Mungkin nanti, ketika lahir anak-anak sunyi dari rahim malam yang pekat, berlari membawa detik-detik cahaya menuju ke ruang-ruang mimpi yang bukan milik kita. Bertemu dengan anak-anakmu dan menjadikannya sahabat, mungkin juga kekasih, tapi jangan jadikan musuh. Sebab mereka tidak lagi buta, tidak lagi hampa, melainkan berpesta dipersimpangan antara kata dan makna.