16 Desember 2008

KEPADA CHAIRIL ANWAR (JEJAK PERJALANAN)

Panggilnya tiba saat untuk ditinggalkan.
Nyaman nan semu hempaskan indahnya henti.
Digulung jalan itu berserak umur mengulur.
"Apa hendak dicari kawan?"

Warnanya warni nyata didarah.
Sejak kali pertama dari ibu.
Tiada pasti takut dan ragu membentang.
Dijejak tegap menari menanti kepulangan tertunda.
"Di megah tertinggi apa hendak dicari?
Sedang tak ada ingin di jumpa."

Mekarnya pagi sekuncup malam.
Datangnya lagi semerbak pelangi.
Hari kita sejumlah ketika itu.
Meski kutak harus meninggalkan muda.

"KEPADA (ku) PENYAIR HIJAU"

Pastikan saja kata-kata itu,
seperti pemadat yang menyuntikkan nadinya dengan makna,
bagai titik api yang membakar perkebunan rakyat.

Padatkan saja liar pikir itu,
seganas limbah yang meracuni sungai-sungai,
laksana teror yang mengejutkan semua bangsa dengan bom waktu.

Ledakkan saja kepungan hayal itu,
menunggang ombak yang melumat seisi kota,
menjelma kupu-kupu yang menyebar badai pada gemuruh kepakannya.

Tiada beda juga mereka yang membakar kata,
dan menghirup ganas asapnya hingga mengalir merah,
meletup-letup pada dinding pena.
Meletus dan menghujani hari,
seperti embun pertama yang mendekap rumput liar.

12 Desember 2008

PUISI NATAL UNTUK LIA

Suara lonceng mulai terdengar hingga ke sudut-sudut kota
mengalun lembut selimuti jelang hari.
"sepertinya hujan tak jadi turun malam ini"

Dinginnya angin dibawah bulan penuh
serukan kedamaian dihari berbahagia.
Pujian dan syukur berpendar-pendar dari dalam gereja,
menerangi malam yang syahdu.

Diremang jiwa yang percaya
hingga tiada ganti akan kasihnya.
"semoga kita bertemu malam nanti"

11 Desember 2008

MENANTI HARI DI HALTE

"menerawang liar tanpa kata tak jumpa juga tuju yang pasti."
Gerimis panjang bemain di lubang-lubang tergenang
sesekali buyar tergilas,
menggoyah duduk yang mantap.

"lamanya sudah tak hirau oleh acuh,
selesainya hari tak kunjung tiba."
Para pengayuh becak terkurung dalam pangkuan,
burung-burung sembunyi dibalik teduh,
lambai daun menyapa angin yang diam.

Warnanya kuning, memerah hingga melebam
temani saksi pandangnya waktu.
"bila henti tak berjarak dekatnya kutangkap,
sbab selesainya hari tergenggam di pikiran."

09 Desember 2008

LAGU UNTUK LIA

Ingatkah ketika sapamu menamparku,
kibaskan kabut dalam mimpi,
bangunkan jiwa yang liar,
hidupkan segala yang mati.

Ingatkah ketika tatapmu menusuk dalam,
meriakkan genangan kalbu,
terselam menyusuri tarian pagi,
alirkan mata air ini.

Karena itu aku tersungkur,
tersiksa parasmu yang melekat pada senyum mentari,
dimalam yang menari pada langkah kaki yang entah dimana.
Tidakkah kau melihat sesuatu yang tersembunyi dicekung mataku,
yang telah meranggas dan hendak kau permainkan.

TO IMMANUEL (RIP)

Tubuhnya tergeletak sedang jiwanya terangkat, melayang dan membumbung.
Dilihatnya seisi ruang, seisi rumah, seluruh kota dan sepuas matanya.

"begitu tenangnya malam, dan lihatlah semua bintang mengintipku dengan ayu. Mungkin, akulah pengganti bulan."

Disisi lain pengejut jantung telah lelah berharap, kesadaran hidup membuih disudut bibir yang tertinggal.
Lirih tangis menggema pada langit-langit, pada awan-awan lembut dan membungkus anak manusia bagai peluk ayah penghantar tidur yang kekal.

"begitu tenangnya hari dan lihatlah rerumputan kabarkan gembira pada tanah gembur. Mungkin aku kan menjadi embun disetiap pagi yang selalu."

Begitulah mimpi mengganggumu diujung runcing laknat; dan menjelma nyata.

HUJAN

Kau datang diakhir tahun yang riuh
rintihanmu dirindukan jiwa dahaga
jalan-jalan berbatu dan berabu seakan memanggang lelah
dibawah teriknya jalan yang panjang

Mendungmu jinakkan mata yang liar
sejukkan hamparan dalam jelajah waktu
Hingga tiba butir demi butir kau hempaskan
berlari saling mengejar untuk berjumpa
dengan ilalang pucat dan tanah tandus

Puas yang kau resapkan
uapkan terimakasih disepanjang sentuhmu
Cukupkan saja rindumu dan imbangkan dengan rasa puas
seperti cinta yang tersesat.

Sebab bila berlebih tak hanya lelah
jerih payahpun mampu kau lahap
Dan mata-mata itu akan semakin liar
dalam pencarian sesuatu yang terhempas

JORDY SERAPHIM

Sebuah nama telah lahir menyapa segala yang bernapas di bumi, siap mengarungi siang dan malam kedalam dunia yang luluh lantah untuk bersahabat dengan alam. Merayapi waktu yang melenggang, merangkak ketengah hiruk-pikuk kehidupan, menopang pada tonggak kesederhanaan, hingga berdiri tegak melangkah. "berjuanglah untuk mimpi yang kelak menghantui"

RINDU YANG MENGENTAL

Semakin kukenal
semakin terpental
Semakin kuselam
semakin melebam

Rindu yang mengental
semakin kukawal
semakin menyesal
Semakin menebal
semakin kumenghayal

Rindu yang mengental
di malam yang mengepal

DI HARI SABTU

Disudut-sudut kau menjelma batu
dilangit-langit kau menjelma lampu
dibalik pintu kau menjelma sepatu
"sungguh kokoh namamu mengurungku dalam kelambu"

Diranting pohon randu aku rapuh
dilambai daun kelapa aku berlabuh
dijejak-jejak lamun kucoba berpacu
"sungguh aku terjatuh kedalam kalbumu dihari sabtu"

MEMADAT KATA

"menggelinjang.,?!"

JATUH LAGI

Bertemu sepasang mata pada lembut melati muda, menatap sayu sewaktu itu berjatuhan musim berganti.

RAPUH

kuceritakan pada dinding tentangmu kepadaku hingga mereka merobohkan kamarku

TELPON TENGAH MALAM

"suaramu menggema sunyi
mengetuk kelopak mata
dan mengecup bibirku"

TAK PERNAH NYATA

"segumpal mimpi dari barat
tertiup angin ke pucuk timur
dan menjadikannya segenggam abu"