29 Januari 2009

HUJAN 2

Sayang., hari ini riakmu terlihat riuh..
Membangunkan mimpi..
Nanti nyata juga terbangun loh, dan disuruhnya kau menjaga malam..

Sayang..! kamu sedih ya..
Semakin deras rintihmu ku dengar
Kamu kesepian ya.. dibohongi waktu..

Ia memang selalu begitu sayang..
Semakin tua.. langkahnya makin lambat..
Hingga kemarau jadi datang terlambat..

Sayang.. air matamu terlalu berharga nanti..
Ketika kemarau malas pulang, siapa yang menangisi aku..
Menyirami tubuh kotor ini

Sayang..! makin hari aku menjadi semakin suka tangismu
Daripada semangatnya api.. api pertikaian yang menggetarkan malam..
disana itu loh.. di pucuk timur..

Tapi rintihmu terlalu riuh malam ini..
Kalau nyata tersadar pasti dipukulnya kau..
Karena banjir diwajahnya., meski kau tau aku akan membelamu..

Sayang., lagipula esok aku ada janji.. ada kencan..
Untuk bertemu pengganti ayahmu..

Sayang, kamu jangan pulang larut lagi besok ya..
Jangan suka mandi malam-malam ah..
Nanti kamu sakit lagi..

Kalau kemarau sudah pulang, titipkan pesan ibu ya..
Untuk siram bunga di taman, bersihkan bak mandi,
Dan bilang padanya jangan main terlalu jauh, agar ia tak-lupa pulang...

-terinspirasi oleh Joko. P-

KEPADA PARTAI

Bicaramu seperti kentut, busuk
dilahap lalat yang melarat
pada dasar tertinggal terasa semakin bejat

pantatmu penuh borok
terduduk diatas jerit luka
dimeja kami ber-lagu seperti tinggi

pikirmu mudah
menebar janji dan sedekah
menginjak-injak datarnya pedih

bodohmu kekalahan
kamilah pemenang malang
atas manismu, atas bujuk-rayu palsu

PENGAKUAN 3

gemuruh sunyi seru menjumput
berarak-arak kepal berderu
bertanya panjang pada jalan
bertemu sepi di dua jiwa
berbagi kisah dan kaidah

ini siapa punya merdu
pada lalunya waktu berliku
pantas ada galau itu bermula
pancar-berpancar ketika pandang
pupuk-memupuk dirasa kenang

seserabut lembut awan perawan
semerbak pagi sekuncup malam
sepucuk maut mampu kau redup
sabatas atas segala bermakna
memang ada cari itu, padamu

yang datang pada pagi
yang tersenyum pada waktu
yang terbenam di laut biru

PENGAKUAN 2

yang tampak diremang senja
bayang terdalam menggenang
ingin kukecap sebuah senyum
yang menanti dirembang hati

tiba juga tetes embun yang pagi
dinanti liar rumput jenaka
dicembungnya melekat lagi
yang mengoyak remuk berkaca

bukan petang sembunyikan bintang
janji yang sebatas awan
siang juga terangi jalan
berbatas pandang yang nyata

rasa ini ada
membuka pada luka
agar berhenti pada tanya
untuk lapang segala terima

23 Januari 2009

RUANG BISU

Seperti pena raksasa
yang menoreh dinding udara
hadirmu bergema dilangit jiwa...
dan mengajak rinduku
tuk menghujan ke ruang bisu
hingga sempurna oleh waktu...

15 Januari 2009

PENGAKUAN

Ingin kau;
bagai tetes embun pertama
yang mendekap rumput liar

Semerbak bunga-bunga
menebar pelangi dalam nyata
dengan durinya yang menyengat di hati

(waktu yang tiba-tiba menghantarmu
menyihirku dengan sapa,
meskipun hanya diam padaku
ada kugenggam isyaratmu)

Awan tebal yang mengganggu hari
jadikan biru berubah unggu
curahkan sejuk dikuning senja

dan kau, juga aku;
seperti warna di kanvas waktu
tintaku Hitam dan kau lembar Putih

SURAT DARI BARAT (kpd israel palestina)

tidakkah kalian lihat;
wajah anak-anak itu,
yang berselimut dendam
pada saudaranya sendiri

pada api pertikaian tak berujung
yang membakar mimpi-mimpi
menggetarkan diamnya malam

SURAT DARI TIMUR

didarah kami…
mengalir butir-butir peluru
yang membatu disepanjang waktu
titipan ayah dan ibu dari masa yang lampau

bila terdengar keras dihatimu
ledakan itu memang alarm bagi kami
sebagai tanda telah dimulainya hari

menarik pelatuk dan melempar batu
cara kami bertegur sapa
saling memberi api pada teman dan musuh

retak gigi kehilangan juga teriakan kemenangan
tentang perang yang menggetarkan jiwa
seperti nafas dan ada berganti diantara kami

jangan bakar negrimu dengan cerita ini
sebab didalam bukumu ada tertulis
tentang kami yang tiada akhir

SUARA ALAM (di Gaza)

Bumi berbisik pada angin
yang tertiup dari pusat timur
tentang darah yang mengalir
membentuk telaga dihatinya

“disana semua mimpi dan nyata telah menguap
memadat seperti kristal menyatu di awan permai
menunggu waktu tuk curahkan kebisuan”

(lirih tangis yang menggema ledakan
pada dinding-dinding laras senjata
menjemput gumpalan asap mesiu
untuk membungkus anak manusia
mengantar dendam pada tidur yang kekal)

“disana ada kobaran membakar hari-hari
ada pertikaian tak berujung, ada korban perjuangan,
juga diam yang mengerti”

Hentikan..,
sebelum kukirim penyesalan
dari ruang hampa udara
jadikan segalanya berakhir

SENONOH

dilenggang kasur kata menegang
bantal telanjang, menerjang
ada ngilu, panas, mengerang

meja dan kursi kaki renggang
nyamankan posisi, bergoyang
atas bawah, depan belakang, berulang

seperti duduk, seperti jongkok, terlentang

SAJAK HITAM

Pergilah...
dan bubarkan semangat itu…
Sebab disini tak ada lagi nyata
Hanya mimpi yang tak pernah terpejam

Palingkan pandangmu
Bawa pergi lembar-lembar itu
Tapi tinggalkan sebuah pena
untuk kutoreh pada dinding udara

Mereka seperti patung bagiku
yang tua bernapas, dan ada saat berakhir
yang telah masam, dan mulai membatu
yang mengakar dilangit jingga

“dan mereka mulai betanya-tanya”

Ooo…
Seperti tinggi, sombong
bukan suatu keinginan
Menjadi rendah, terasing
bukan pula tujuan
yang lebih bukan untukmu
tapi kalah tak ada di kita

“yang tertunduk terlihat seperti ragu”

maka,
Adakah rajut warnamu
atau langkahmu serupa angin
dan mata yang tertancap dalam
mungkin bisik alam dilangit pikirmu
Adakah baramu…

“beberapa ada yang mulai beranjak”

Ooo…
Kulihat amarah diwajahmu
Kepal yang tampak meruncing
Seperti sinis pandangmu
mengecam dan menuduh kejam
Pada sajakku yang hitam

“dan yang sadar kembali pulang
yang mimpi tetap terpasung”

CERITA SAHABAT

Jalan ini panjang sobat
Penuh batu dan berlubang
Kadang serakah pada umur
Dan kau pun tau tentang debu

Tapi, semua terlihat jalan
yang papah, yang bosan,
yang luka, yang tegap
Hanya saja likunya melelahkan

Disepanjang sisinya
ada jendela-jendela mengintip
pintu-pintu yang menganga
dan juga tiada atap

Semua bisa ada padamu
Itupun jika kau mau
menambah sedikit tanya

Dan sebelum kepastian tiba
dengarkanlah dulu…
(Hei.. dengarkan dulu..)
Apakah nasib cerita tanpa telinga
seperti ditikam sahabat
Apakah nasib telinga tanpa cerita
seperti cetek, dangkal

Tak ada pilihan untuk berjalan
hanya saja jalan mana lalumu
yang terus mengulur pada umur

Dalam jejak terkumpul
jangan hentikan selain waktu
Karena jarak selalu ada
Dan setiap tuju tiada akhir

Di bayang jiwamu
Kulihat lelah menjadi tua
yang kelabu menerka jarak
dan, tiada sisa untuk melangkah
“Cukup” katamu
“untuk kepastian yang tertunda
kukembalikan pada waktu”

Dan akupun menjadi tau,
Agar esok kutinggalkan
kain dan doa padamu..

07 Januari 2009

KEPADA SYAIR UNGGU

Kerut keningnya sedatar bumi.

cerlang mata seluas hatinya.

langit pikir yang membiru

selimuti laut kami…

Kata-katamu berbicara.

Entah... (bisa-kah itu ada?)


Kita semua berbicara.

ada waktu ada henti,

lingkaran,

pun isi dan luas…

yang tumbuh,

tiada batas…

“serupa rumit jiwa”


adakah lelah itu sejenak.?

-yang tak bergerak juga tak diam,

semua warna-

kita…

kau…

entah… (bisa ini benar ada.!)


indahlah pada dasarnya

bermula air

mengalir..

seliuk ular

tubuh semesta..

mengkristal di awan,

dan diam…

“yang padat sempurna”


juga kosong

mengintai.

menjadi deras…

dingin…

liar…

sejuk… (bisa ini berbisa…)

-yang tak bergerak juga tak diam,

setiap sudut-

02 Januari 2009

SYAIR BIRU

Dan aku percaya,
hal ini bukan untukmu,
tidak juga kepadaku.
Kita..

hingga jadilah sebuah syair:

dengan sepuas matanya
dengan seluas jiwanya
dan sejernih hati
se-semesta

dan seketika itu;
kita berdiri dibibirnya
memandangi laut,
biru.
serupa langit
seperti satu

seperti sebuah kelahiran;
yang indah sekaligus mengancam,
mati.

25des..