06 Agustus 2009

Angin

Angin datang, meringsut masuk
melalui celah-celah jendela.
Merayapi dinding-dinding udara. Hening.
Tak ada suara.
Selimuti seisi ruang. Dari sepi yang menggigil.

Berapa

“berapa waktu, harga cinta itu Bang?”
Yang mana?
“yang warna merah jambu.”
Setengah kali waktunya.
“kapan tibanya?”
Ketika datangmu.

“kalau cinta yang biru berapa?”
Tiga puluh waktu.
“agak murah!”
Yang itu bekas.

Penyair Jalanan

Di jalan yang tampak lenggang, ketika terik lapar membayang-bayangi.
Ia terlihat sedang mengorek sampah di belakang sebuah toko buku.
“apa hendak di cari tuan?” --Kau bertanya.

“Sebait sajak; hanya sebait saja; sudah cukup untuk hari ini.”

Galau

Sebenarnya telah kutuliskan sajak cinta:
Untukmu, bukan, untukku, bukan
“lalu untuk siapa?”
Pembaca, pendengar
“apa ada ?”

Tapi aku telah lupa apa itu cinta
Kau mau, ingatkan dia
“kenapa dia?”
Dialah sajak itu
“dimana?”
Di bait pertama

-Sekepal Duka Untuk Teroris-

Kau..
Kembali menoreh luka
Luka dalam dan di tempat yang sama
Juga luka bagi dunia
Kau.
Bermain dengan duka
Duka lama dan kau ulang kembali
Yang meledak di jantung pagi
Kau..
Ingin kupinjam matamu
Untuk kuletakkan pada dada yang terluka
Agar kau, kenal juga duka
Kau..
Menjadi bagian dari semua ini
Yang menggetarkan Jakarta lagi, Kuningan lagi
Kuacungkan sekepal duka


-Bom di JW Mariot dan Ritz Calton -

Rayuan Rumit

Aku ingin mengenalmu, seperti kau ingin mengenalku
Tapi kenapa tampak begtiu rumit
Baiklah, kucoba ungkapkan lewat puisi
Dari sisi pandangku

Kau:
Sepasang burung perkutut diatas loteng
Suara anak-anak kecil bermain di taman
Kendaraan bermotor lalu-lalang
Aku:
Satu dari tersisa, dengan gerimis di hati
Mengetuk pintu cahaya, antarkan bunga padam
Terbakar di kepala, duri retak menyala

“Ah., dasar pemabuk. Terlalu banyak minum puisi.”

Pertengkaran

Aku dan puisi pernah bertengkar, tentang apa yang harus berlari.
“Kaki,“ kataku, “jari,” katanya!
Kami terkadang tak searah dalam berpandangan, berbeda sisi.
Hingga suatu hari ketika ia sedang sekarat, aku terpaksa menyetujuinya;
bahwa yang berlari adalah jari.
Ia pun menjawab, “masih bodoh saja kau, kakipun memiliki jari.
Hanya saja aku tak memiliki kaki.”

Kutikam Puisi

kuasah kata-kataku perlahan penuh dendam
hingga runcing dan mengkilap; tapi untuk apa?
--ingin kutikam puisi

kenapa?
-disetubuhinya jari-jariku-
-kau siapa?-
aku ibu puisi
-ah, biar kusetubihi kau-

Komet

tentang sebuah komet yang melompat bagai cahaya
kutangkap dengan mata telanjang, sedetik saja
kulayangkan sisa-sisa mimpi; yang ku-tau takkan pernah kembali

Kuancam Neraka

Pistol yang ku acung-acungkan
meletus tanpa sengaja; atau sengaja
--ketika kuancam neraka

Kena Kau

Seandainya kau ada suatu saat nanti
Akan kurangkai pendar-pendar cahaya dari raut wajah itu
Menjadi purnama sempurna yang memantulkan warna-warna ceria

Sudah semestinya kau tetap terlihat diam
Anggun entah angkuh, bukan lagi perdebatan
Hanya saja, sajakku kali ini sungguh memaksa hati

Seandainya aku seakan-akan lupa nanti
: kena kau! -dalam dekapanku

Di Depan Kaca

Ketika ku pandang matamu
Tajam ramah mengepal
Ingin kukatakan; kau berbeda aku
Tapi kau sudah membantah sesaat sebelumnya

Baru ingin kukatakan
Tiba-tiba: Prraang…
Seseorang memecahkan diri hingga berkeping

Tingkahmu; atau Ulahku?
Tak perlu ada yang tau

Kumbang Malam 2

Dia datang lagi, benar-benar tanpa isyarat
hinggap di genangan malam tanpa bintang

Tak ada tanda pada sayapnya yang terbelah
Putih jernih dihiasi warna-warna indah
Dia diam lagi, bertanya-tanya dengan diri sendiri

“ah., kau sama saja dengan kupu-kupu
Masuklah dan bermain di taman bungaku,
yang sedang tumbuh.“

Dia masuk melalui pintu yang terbuka
Terbuka lebar, hingga tiada lagi dinding
yang terlihat
Dan isyarat, kini tak lagi punya arti

Penawaran

Aku hanya ingin menghitung jejak luka itu
Bila ada ijin, dan sebelum tiba sia-sia
Ingin kubalut dengan kehangatan pagi
Agar tak ada lagi pertanyaan disitu

Kumbang Malam

Kau datang lagi
Tanpa isyarat yang pasti
Hinggap di tirai jendela malam

Ada tanda pada sayapnya yang terbelah
Patah di ujung ketiak, berbekas namun indah

Kau diam dalam bahasa, bercanda dengan tanya?

“Maaf kawan, tak ada bunga dalam ruangku ini
Datanglah nanti, bersama Musim Semi dan Kupu-kupu”

Tapi dia memilih terjun kedalam segelas kopi susu
Tenggelam dalam pahit-manis kata