18 November 2009

Si Hati Besi

Gadis, sudah sering ku kirim gerimis di pintu kamarmu
bunga-bunga mekar di halamanmu dan cahaya senja yang jingga
Ada juga kata-kata mungil yang purnama dengan sepotong hati tanpa nama
Tetapi,
kenapa kau simpan dalam kulkas itu, dalam lemari dari cairan besi itu

Kapan hati itu akan kau cincang, kau potong-potong seperti acar, lalu
kau masak, kau rebus jadi seikat kembang mawar
Atau kau masih akan terus menunggu, sampai
kata-kata menabrak langit dan masuk rumah sakit
(**)

Tukang

Di Negara ini ada tukang sihir, tukang cuci dan tukang tidur, lainnya tak masuk hitungan
Tukang sihir kerjanya menyulap uang, tukang cuci kerjanya menyetrika kotoran
Tukang tidur kerjanya menulis puisi, lainnya menghitung posisi

Hukum

Di kepala Jaksa yang bertubuh kerdil, ada jalan ke kanan yang lurus dan penuh lumpur
Di kepala Pengacara tampan tapi telanjang, ada jalan ke kiri yang berkelok-kelok
Di kepala Saksi yang buta, ada mulut bercakap-cakap bohong
Di kepala Terdakwa yang kemaluannya besar, ada kesal, bukan sesal
Di kepala Hakim yang jenggotnya bekas terbakar, ada rakyat membawa senjata hampa
Tapi, kenapa kau seperti tak memiliki kepala?

Indonesiaku Ingin Menjadi Kupu-Kupu

sayap-sayapnya mulai keluar, sudah waktunya dewasa
keluar dari cangkang, dari kepompongnya yang sempit
dan terbang, terbang menjadi Kupu-kupu

Penguasa Masih Buta

Hei penguasa !!
Tak getar juga lututmu kini, ketika tercium bau bangkaimu di hadapan Mahkamah
Ketika warna jubahmu mulai pudar, hingga hampir saja kau tampak telanjang
Dengan kemaluanmu yang besar dan kau bangga-banggakan

Kami, telah lama menunggu
Saat-saat langit terbuka perlahan dan menampakkan cahayanya
Cahaya sebenarnya, yang bersinar masuk menembus ke ruang sidang
Ke ruang rakyat, juga ke ruang Agung

Kami tak mau terang itu sementara
Sebab jiwa sudah lapar, sudah pekak juga telinga, bosan akan negeri
Yang menumpuk sampah-sampah, yang kami bakar diam-diam
Yang kami daur diam-diam

Kamu, aku, juga mereka harus mau
Bahwa dunia telah berubah warna, kulitnya mulai terkelupas dan terbakar
Karena waktu telah makin dewasa, suara semakin lantang, dan bendera harus berkibar

Dan Indonesiamu, juga Indonesiaku
Mulai keluar dari kepompongnya
Untuk menjadi kupu-kupu

Demi Negeri

Tangan-tangan kami terbakar tuan
Kobarkan semangat muda ini, demi kerangka-kerangka tubuh Negeri
Yang kurus hatinya, penuh luka suap, bohong bernanah, dan buta saat berjalan
Tangan-tangan kami juga terbuka tuan
Untuk hujan diluar sana, yang turun menyirami tubuh Negeri
Yang kotor, penuh noda, selain gagah dan kuat
Tangan-tangan kami masih disini tuan
Memberi arti pada diri

Mafia Peradilan

Kejujuran di tangan jaksa, pengacara ikut skenario
kebenaran ada di tangan hakim, tapi yang menang
tetap yang punya uang

Lukislah Negeri

Negeri ini bukan tempat sampah, penyair!!
Bukan cuma untuk caci-maki saja
Negeri ini seperti selembar kanvas, penyair!!
Yang bebas kau lukiskan

Indonesia Anakku

Pagi-pagi sekali Nesia sudah terbangun, tak biasanya
Seperti ada yang sedang mengganggu dipikirannya
Setelah berdoa, bereskan kasur mandi makan
Lalu, bersiap-siap untuk pergi entah kemana
Dengan membawa daftar belanjaan dari ibu berangkatlah
Nesia, entah kemana. “Pamit bu..,” katanya
“Hati-hati di jalan sayang..,” kata ibu

Dalam daftar belanjaan ada ditulis;
Jangan kemalaman, sayur kangkung tiga ikat, dewasa
Berantas korupsi, hapus kemiskinan, damai bawang putih
Jujur cabe rawit, tomat merah benar, maju dan berkembang,
berpendidikan, senja warna-warni, makmur dan bersatu

Nesia kini masih berjalan entah dimana
Entah kemana daftar ditulis, demikian pula jalan dicarinya
Dan sepeda waktu yang biasa dikendarainya, juga entah kenapa

Tetapi, Ibu Nesia yang pertiwi
Tetap setia menunggu Nesia pulang
Dengan belanjaannya ataupun tanpa apa-apa

Bayangan

Bayangan menarikku keluar rumah, katanya
“Di luar aku lebih tampak lebih gagah, ayo kita jalan-jalan kearah barat.”
Aku dibawa ke pasar, ke restoran, ke pegunungan, ke sudut-sudut halaman
Lewati pekuburan, gang-gang sempit, di antara gedung-gedung, membuntuti burung-burung
Sampai ketika siang lewat, giliranku yang memimpin di depan

Aku menyeretnya kearah pantai, tempat yang paling kusuka
Tapi, sesampainya disana ia malah mengajakku pulang. Katanya
“Aku takut bang bertemu senja, dia sering menatapku dalam-dalam dan lama
Kemudian memelukku dengan sunyi, lalu membawaku pergi bersembunyi
Pulang saja bang, lebih baik habiskan waktu di jalan, penuh warna-warni.”

Aku tak mau di perintah bayang-bayang
Aku juga tak mau kehilangan bayang-bayang
Saat senja datang, bayangan bersembunyi di belakangku
Kemudian senja menatap mataku dalam-dalam, memelukku dengan sunyi
Setelah kubiarkan bayangan masuk ke dalamku, senja pun bersembunyi dibalik gelap

Kekasih Hujan

Hujan, aku tau kau dendam pada matahari yang serakah
aku tau rindumu menggebu pada rumput dan bebatuan
aku juga tau kau ganas bila sedang marah
Hujan, sabar ya, jangan emosi
nanti cintamu sedih dan pergi

Hujan, kamu kok ajak-ajak Banjir sih?
Kan orang-orang tak suka padanya
Kalo ngomong suka besar, berlebihan
Suka bikin mecet lagi, bikin sebel

Hujan, denger gak sih.!
kalo kamu gak bisa dibilangin
Ya udah, kita putus..

Curhat Kemarau

Ketika itu hujan berlari-lari kearahku, ingin mengatakan bahwa gadis itu butuh gerimis
Karena senangnya ia terpeleset sebelum sempat turun
Kepalanya benjol hingga amarahnya menjadi berbondong-bondong
Sepertinya ia gegar otak, karena itu muntahnya membabi-buta
Sejak itu, kami berjalan sendiri-sendiri

Jujurkah Penulis

Penulis memang harus jujur
Hanya saja, seberapa jauh kau mampu
memahami kejujuran itu