05 November 2010

Tsunami (mentawai)

Langkahmu tak kenal waktu
melebihi pilu patah di jiwa
kau hapuskan cinta dengan lekas ganas
Patahan hati bumi berbekas isyarat

Dengan lekuk gelombang laut
dan terjang air pasang
Napasmu menderu-menggebu
santap Saudaraku dengan gemuruh

Seandainya aku adalah Matahari
Kan kutanya, apa maksud bumi?
Dengan nada gemetar dan terpatah-patah
katanya; Alam semesta sedang berkarya

Kau pisahkan gerimis dan air mata
Pada tanah-tanah liat
Pada dada-dada yang muram
Pada luka juga tentang duka

03 Oktober 2010

Gerimis

Gerimis yang kau kirim sore ini
sudah tiba dan jatuh ke tanah dasar
meresap di akar-akar pohon
sebagian tergelincir ke aliran air
ada yang tertinggal di daun-daun..

Kepada siapa harus kutitipkan
gerimis malang sore ini
bila malam nanti tak lagi terjaga

kepada mata angin yang berkeluh-kesah
atau mungkin kepada senja yang tertidur
adakah yang bertanya kepadamu?

ah sudahlah.,
gerimis ini bukan milik siapa-siapa

02 Oktober 2010

Langit Sore Ini

Di sore ini petir menyayat-nyayat langit
angin menarik-narik gesit pepohonan
mesin bergemuruh, jarak masih ada

Gerimis mulai jatuh
pejalan kaki melebarkan langkah
hati menggeruti kecil, burung terteduh

Di sore ini
waktu melambat laun
wajahmu terlintas di daun-daun
meneteskan air mata kelabu..

30 September 2010

Timika

Hari ini biasa saja, seperti siang yang rutin berkunjung.
Pohon-pohon yang melambai-lambai dan menggugurkan daun-daun tuanya.
Untaian jemuran yang berbaris-baris seperti murid-murid yang akan memasuki kelas.
Suara kokok ayam yang bergantian memanggil anak-anaknya untuk makan, atau pun hanya sekedar berkokok kosong.

Sesekali gerimis datang lalu pergi terbawa angin,
seakan-akan tak mau kuterka isyaratnya.
Begitulah pemandangan siang yang selalu menghantui disini.
Di sebuah kota kecil pulau papua yang luas,
tepat di bawah leher burung cendrawasih.
Dimana tempatku mengistirahatkan langkah sejenak,
untuk menghitung jarak dan tenaga..

Sepi

Sependok sepi, dua bongkah hayal, kuaduk dalam segelas air hujan
rasanya seperti petir yang menyambar-nyambar.

Kubakar sebatang rokok, asapnya menggumpal dilangit-langit
rasanya hambar seperti sayur tanpa garam.

Dikamar aku melamun sendiri, rencanakan masa depan yang cerah
meski cuaca jauh dari cerah di sore yang tak merah.

Yang kunanti seorang dewi cantik menawan
penyingkir kabut dari pandangan.

Agar esok tak lagi menunggu arahnya.

Hilang Arah

apa jadinya bila hidup seperti tak bernyawa
ada dan bernapas namun hampa dan kosong
seperti berjalan di tengah hujan lebat tanpa payung, dingin tapi tak basah
seperti berada sendiri di atas gunung dengan makanan berlimpah, tapi hilang arah
kau berdiri di persimpangan dengan badan tegap, sehat, tapi tak tau mau kemana

seandainya disuatu pagi kau terbangun dan lupa akan namamu sendiri
kurasa itu lebih baik dari pada kau kehilangan arah hidup..

Pesta

Ini pesta yang kesekian kali
Semua berkumpul seperti awan liar
Tak ada mendung dan gelisah
Tak ada muram dimuka bulan
Seceria bintang diatas sana

Jangan akhiri dulu semeraut ini
Biarkan kaki lepas tak terkendali
Jangan ada marah disana
Juga kesal tersenggol panah
Semua hanya tawa bersama

Mereka Ditengah mengangkat gelas
Di Pojok-pojok pemilin rokok
Bebaskan saja. Lepaskan saja
Resiko ditanggung pembaca..

Sampai Ketemu

Hey.., sebentar saja
Aku akan hilang di kesunyin malam
Melepaskan langkah ke tanah asing
Tempat matahari bersinar lebih dahulu

Sendiri.., sebab itu ku kembali sendiri
Cukup banyak yang harus ditinggalkan
Untuk banyak itu sendiri

Mungkin memang begitu sebuah belati
Tak perlu sepasang..satu cukup
Seperti juga pena, menulis hingga ke dalam

Sampai ketemu di sebuah taman…

14 September 2010

Tanah Papua

Hitam lebam kulit badan
Keriting pikiranku
Keras batu keras watak
Keras pula perjuanggan
Hidup bukan Cuma emas
Roti, ubi, keju sama dimakan
Hanya saja rasa berbeda
Begitu juga hidup
Penuh mimpi berbuah-buah

Bukan salah nasib tak memihak
Bila usaha tak ada
Katamu, “ini tanah kami kaya, subur”
Percuma bila tak terdidik putra daerah
Bila tak maju pemikiran, jadi budak di tanah sendiri
Hitam lebam kau punya badan
Keriting pikiranmu

Lapar jiwamu, Lapar pengetahuanmu
diperjalanan yang terik demi mencari sekeranjang makanan
Makan dan minum demi hari depanmu
Seperti seorang sarjana yang keroncongan
Habis tenagamu menimba-nimba ilmu
Tak dapat tempat di perkotaan yang sesak
Kau putuskan untuk merantau
Kata orang tua “dikampung masih banyak tanah kosong
Masih banyak orang bodoh, kau akan lebih dihargai nanti”
Nyatanya sama tanah, sama laut, luas tak terkira

Musim hujan tiba
Dingin sekujur tubuh
Tulang-tulangmu beku
Tidur jadi terganggu
Malam semakin gelap
Tanpa pijakan kau menunggu
Hingga hujan mereda
Jiwa tetap beku

Kau bermimpi karena terpaksa harus bermimpi
Sebab hanya itu teman yang kau punya
Jalan-jalan semakin lenggang
kendaraan mulai sepi
Hidupmu penuh dengan lika-liku
Menunggu tak lagi berguna untuk bertahan
Walaupun kaki terbakar panas aspal
Biarpun kepala di hujani asam laut
Tubuh tetap kokoh, tinggal dalam doa
DaN kulit menjadi pekat ketat
Tangan tetap mengepal
Otot harus menyala
Terangi jalan menuju kebebasan
Bebas menentukan tujuan

Hitam lebam kau punya badan
Keriting pikiranku
Kutinggalkan semua teman
Semua yang tersisa dari masa muda
Sebab Tantangan tak lagi bertaring

Kini aku di timur indonesia
Hanya karena hidup yang tak mau menunggu

Bintang

Disini ada bintang yang jatuh!
Jatuh menimpa kepalaku.
Kepalaku yang keras dan berkilau!
Berkilau akan pertanyaan dan harapan.
Harapan tanpa ekor dan kepala!
Pasti kau sedang mencari bintang?
Bintang yang jatuh.
Jatuh karena hilang kilaunya!

05 September 2010

Perjalanan

Langkah ke depan satu-satunya jalan..
Samar. Penuh keraguan dan harapan.
Selalu menyimpan pertanyaan di kemudian hari.

Tentang Perjuangan., menuju jalan pulang.!

Menyerah

Aku angkat tangan.
Menyerah di titik ini.
Habis tenaga.
Terlalu banyak arah.
Terlalu letih perjalanan.

Langkah selanjutnya,
Lurus kedepan.

Aku Tidak

Kau percaya..
Kalau bintang jatuh mengabulkan doa
Kau percaya..
Di bulan sabit sana duduk seorang putri
Kau percaya..
Satu tangkai bunga bisa wangi seisi ruang
Kau percaya..
Kalau sendiri terlalu sunyi

Aku tidak.!
Semenjak menulis tak lagi perlu pena

02 September 2010

Gelas

Aku titip gelas ya
Isinya cinta, memabukkan
Jangan kau teguk
Nanti kau gila
Mencariku hingga ke pelosok
Simpan saja di kolong tidurmu
Agar tak kau pandang setiap waktu

Ini gelas antik. Unik
Meskipun aneh katamu
Sering kubuat minum bersama sahabat
Sebatas mabuk dan tertawa
Menang kalah, jatuh bangun
Kami tetap bersulang
Agar semangat tetap menyala

Gelas itu
Berisi cinta sekarang
Hanya Satu teguk
Simpan ya..
Gelasnya ku ambil lagi nanti
Airnya.! buat siram bunga di hatimu..

Perpisahan Musisi

Sudah jauh perjalanan kita
Hingga tak ada lagi kata ragu
Dari pintu ke pintu
Kota ke kota

Dari gelas ke gelas
Hutan ke hutan yang lain

Mencuri seteguk waktu
Demi sebungkus makan bersama

Sudah cukup jauh
Sampai tiba kita disini
Di persimpangan lainnya
Arah kita berbeda
Walau lagu kita sama

Aku akan selalu meniup seruling
Agar kau mainkan gitarnya
Menabung nada untuk masa nanti

Seketemunya lagi semua tinggal di rajut
Jadi irama keras yang menggoyang...

Sampai Ketemu

Hey.., sebentar saja
Aku akan hilang di kesunyin malam
Melepaskan langkah ke tanah asing
Tempat matahari bersinar lebih dahulu

Sendiri.., sebab itu ku kembali sendiri
Cukup banyak yang harus ditinggalkan
untuk banyak itu sendiri

Mungkin memang begitu sebuah belati
Tak perlu sepasang..satu cukup
Seperti juga pena, menulis hingga ke dalam

Sampai ketemu di sebuah taman…

18 April 2010

Bermimpi

Aku ingin sekali bermimpi
Kala datang saat bermekaran
Bermandikan senja merah yang hangat
Berlarian diatas cahaya dan udara

Ingin sekali aku ber mimpi
Sampai tak tidur berhari-hari
Tentang kegelisahan yang sungguh seksi

Bermimpi ingin aku sekali lagi
Tentang kelopak bunga dan matahari

Batu Dan Karang

Aku karang kau batu
Tiada beda sama jauh pula
Kau batu aku karang
Keras kerak lama terkepal

Apa daya bila jiwa tak sempurna
Kau mencari aku didalam
Aku datang kau keluar malam
Apa dikata bila hati tak bersama

Sampai buta pun mata berkelana
Percuma saja senyum senja disana
Sebab cerita tak lagi menyala
Sedang cinta layu dipucuk bunga

Kutelan Sepi

Sudah malam kata-kata
Cahayanya menipis sampai di mata
Kupandangi saja bintang di atas kepala
Hilang makna. Kau dinanti disana

Dia sangka siapa di dalam sana
Peminta-minta dengan luka di muka
Sang pemberi sunyi datang terbuka
Kutelan sepi seperti obat penuh duri

Kata orang dunia sudah terbalik
Kata dunia orang-orang yang membalik
Dia mengira sudah lelah jari-jari
Tetapi hati masih tetap mencari

"Sudah malam kata-kata
Cahayanya menipis sampai di mata."

Burung Pelamun

Dijalan ini sahabat berpisah muka.
"Kutunggu kau di ujung simpang", katanya.!

Kaki kami tertuju pada cahaya dua arah.
Luka di telapak melebar hingga hilang dirasa.
Kami belum mengerti tentang apa perjalanan ini.

"Tanggung diputus sayang terlepas.
Bila mati sudah cinta terbebas.
Malam mimpiku siang milikmu.
Dimanakah letak jarak tersimpan?"

Kita.! Tahukah arti itu?
Tentang burung-burung pelamun.
Yang meniup seruling di pucuk-pucuk pagi.
Dan malamnya mengetuk-ngetuk pintu sunyi..

Ujung Utara

Keram dadaku getar jantungku
Mendengar darah di ujung utara

Gelap langkah berjalan dengan senjata
Lawan saudara dengan air mata

Bakar, lempar, tunjang
Doa-doa tertikam

-mbah priuk-

Tragedi Tanjung

Kau menikam aku sahabat!
Kenapa..? Padahal kita satu ayah diatas
Mereka menangisi aku, hingga darah air matanya
Ketika kau ukir namaku di ujung pisau ibumu,
di lemparan lembing batumu

Sama laut sama cakrawala, kita pandangi setiap waktu
Dari senja yang satu ke senja yang lain berganti
Dari jiarah ke jiarah yang sama,
kerap kali kita bertemu dalam doa
Dan nisanmu nisanku juga, tempat sujud dan sedekah

“tapi, bukankah mereka mati membawa arti,
yang memang berat untuk di mengerti”

Terpenjara

Rasanya seperti membusuk dalam kepompong. Bila,
bayang tak Nampak, waktu dimatikan, cahaya hilang nyala
menghitung-hitung jarak antara bulan dan matahari
diam membeku terpenjara diantara ilalang

Membusuk itu pedih
tubuhmu akan membiru kemudian semakin melebam
semakin melebam sampai mendekati warna hitam
lalu lembek dan berair, bau anyir..
Tapi kau hidup
menguras air mata

Tapi hidup,
seperti bersayap, tak lagi lambat dan lembab
penuh madu, berangin dan bercahaya
menangkap mata juga berguna di dadah
Tapi kau hidup,
menghitung jarak bulan dan matahari

03 April 2010

Si Korupsi

Nah kan!
Kalian ini
Para pencuri
Ketahuan lagi
Tipu sana-sini
Mau cari mati!
Sana, pergi
Masuk jeruji
Biar bersih
Ini Negeri
Lihat tuh anak istri, mereka sedih, makan uang basi

Orang Tak Berbudi (Gayus, dkk)

Orang orang tak mengerti tentang arti diri
Itu sebab mereka berlari sendiri-sendiri
Padahal semua sudah ada disini
Tanpa perlu lagi korupsi
Yang ku tau harta hanya disini
Menumpuk-numpuk dalam hati
Kalau kamu cari maka makin lari
Mungkin mereka tak tau cara menggali
Atau mereka hanya kurcaci
Yang berhati kerdil

Diam-diam

Kemarau akan datang lagi
Lembar demi lembar waktu terlepas
Diam-diam kukumpulkan rintik hujan
Diam-diam pula ia bersembunyi diri

Detik-detik jam yang berputar
Menghitung sajak-sajak yang terkapar
Diam-diam kupunguti kata demi kata
Diam-diam pula ia meracik makna diri

Hanya

Saya bukan sedang merayu
Seperti sekotak coklat valentine
Atau setangkai bunga mawar merah
Hanya saja, tak mau ada luka tertinggal

Kutiupkan Kata

Ada kata-kata yang selalu datang tanpa kenal menyerah
Menghinggapi daun-daun, berlarian di kabel-kabel telepon
Melayang bersama udara lalu menyelinap dari jendela itu

Ada kata-kata yang kemudian kurangkai selembut mungkin
Kutiupkan dari bibir ini untuk menyentuh bibir mungil itu
Kata-kata hambar tak ada rasa, namun hangat sampai di jiwa..

Di Ujung Jalan Itu

Di halaman rumahku telah kutanam namamu
Meskipun tak dapat kau temukan nanti
Karena rumahku hanya setumpukan sajak-sajak

Dalam kamarku ada senyummu dalam vas bunga
Meskipun tak dapat kaubaca nanti
Karena kamarku adalah bunga- bunga itu

Jangan kau lupa jika jantungmu berdetak keras nanti
Ketika kita berhadapan atau ketika kusentuh tubuhmu
Sebab diujung jalan itu telah kutuliskan nama kita

Bunga Dan Kayu Jati

Sejuta makna yang coba kuterjemahkan dalam setiap kata
Setiap langkah, setiap sunyi yang beku
Juga di setiap malam yang begitu berkabut
Tak inginkah kutemukan kau dalam sendirimu
Ataukah batang kayu jati itu harus kupatahkan
Sedangkan bunga masih mekar pada pucuknya

Cahaya Itu

Hanya sisa-sisa gerimis yang datang menghibur sore itu
Setelah lelah ia bertutur lewat mendung di langit biru

Dan kata-kata yang tersusun terus menerus tanpa batas
Mengantarkan sunyi yang tak berujung, tak beralas

Ku coba lukis senyummu pada udara malam yang dingin
Namun tiada warna kutemukan dalam lekuk namamu

Cukup sering kutanyakan pada sinar bulan yang bening
Tentang arti cahaya-cahaya itu, yang datang hanya terkadang

Dari bulat matamu ketika akhir pertemuan kita tempo dulu
Pada garis bibirmu yang tersenyum seketika itu menikam di benakku

Tentang Kata

Aku adalah kepak sayap
menghamba pada belantara
menanti takdir akan makna
ditikam hari yang tergesa
memasung mimpi-mimpi

Layaknya awan di tangan angin
tak berjejak dihembus, tiada tuan
rindu untuk menghujani hari
dan menjelma telaga tenang

Memang aku yang melebur di hulu
liar beterbangan menghampirimu
ketika sempurna, seperti mati
terlahir oleh jari-jari

Karena aku juga kamu
seakan mengalir tanpa batas
bermain peran dan watak
untuk mati dan berenkarnasi

Karena aku juga kita
melompat ke alam pikiran, seketika
menyusup ke relung jiwa
hingga tiba di ujung pena

Sajak Reformasi

Dentuman bom asap mata itu kembali terdengar dalam tidurku
Dibarisan depan teman dan sahabat berdampingan
Rentetan senjata berbunyi lagi, orang-orang berlarian menyelamatkan diri
Reformasi menangis, hanya sahabat tetap melawan..

Bantuan telah tiba, mengusik lapar para relawan
Semua terlihat mendukung pergerakan, untuk revormasi
Kami makan dengan lahapnya, beberapa hanya tampak mengamati
Reformasi telah dikhianati, kami tergeletak dihentak racun

Sweeping aparat, kata seseorang dihadapan ban terbakar
Teman-teman mengikuti, membara semangat revormasi
Terlihat selintas baju hijau dalam mobil dinas, menjadi buas
Reformasi telah buta, kami brutal karena dendam serupa

Para wakil berganti, berunjuk rasa atas nama revormasi
Semangatnya masih hangat, mengalirkan aspirasi
Kami bergantung, pada wakil, pada janji juga semangat api
Reformasi berbohong, semangat disuap, moralnya telah mati

Sajak Mandi

Kubongkar lagi seluruh selubung tubuh
dan angin menatap dengan mata telanjang

Kusingkirkan semua helai dan ikatan
semua simpul dan ingatan

Hingga tampaklah rimbun rerumputan
diselah-selah tanah tandus, disekitar sudut-sudut rahasia

Langkah kaki segera beranjak menuju pintu dibalik cermin
pintu berlambang kepolosan, kemurnian tubuh tanpa kata-kata

Kau tak boleh masuk sebelum kau tanggalkan segala sampah yang melekat
sampah dunia yang berbentuk dan berbau, segala yang terlihat oleh mata

Sungai yang mengalir dibalik pintu dan berhulu dalam bak itu
telah merindukanku sebelum aku sempat bertanya

Setelah itu, ku kunci rapat pintu tanpa celah, agar anginpun tak dapat mengintip
lalu ritualpun dilaksanakan, ritual wajib di pagi hari
dan sore hari bila tak lupa.

Melampaui Batas

Selalu kulari lampaui batas
batas cakrawala, batas mata
batas tertinggi, batas kedalaman
batasan cinta

Tetap kulari lampaui batas
batas malam, batas matahari
batas hari, batasan hati
batas kata, batas cerita
batas nyata, batasan diri

Kulampaui lagi segala batas
batas warna, batas hidup
batas dunia, batas cahaya
batasan gelap, batas logika

Semakin kulari dilampaui batas
tersandung kacau segala batas
jatuh tersungkur
dan termenung tentang batas
tentang isi dalam batas
isi tanpa batas

22 Maret 2010

Rahasia Daun-daun

Daun-daun tumbuh lima jari, berbatang cabang beranting-ranting.
Tumbuh liar bak semak belukar menunggu hari siap panen.
“mungkin tiga atau empat bulan lagi” katamu.
Pak tani terserang paceklik, akibat mimipi kemarau sang anak.
“waktunya sekolah lagi,” kata ibu.

Entah lugu entah perlu, semak belukar dituai. “Sudah saatnya,” jawab penadah.
Petani bekerja lagi selundupkan daun ke kota. “Lumayan,” katanya
mimpi anak terpenuhi untuk merantaui dunia pendidikan.

Daun-daun tiba di kota, tersusun rapih seperti bata.
Berpindah tempat dari tangan ke tangan.
Hingga tiba lagi musim kemarau.

Kini sang anak terserang paceklik, kering diujung mimpi.
Daun itu rahasia ayah, ibupun tak pernah tau.
“Buah jatuh tak jauh dari pohonnya,” kata ibu guru dulu.

Orang-orang mencari daun, di desa-desa terlebih di kota-kota.
Setiap kebutuhan harus terpenuhi, sang anak melihat celah.
Dipaketkannya daun-daun hingga tepat pada harganya.
Sembunyi-sembunyi ia berkeliling, menukar daun dengan uang.
Sebata, dua bata, lima bata cukuplah sudah. Nanti benjol jika berlebih

Mimpi tergenapkan, sang anak pulang membawa berita.
“Aku sudah lulus ayah,” katanya dengan sedikit rahasia.
“kenapa lama sekali kau pulang,” tanya ibu.
“Begitulah ibu kota bu, banyak persinggahan yang harus dilalui.”
Rahasia tetap terjaga, antara ayah dan anak.
Rahasia daun, dari waktu ke waktu..

Ada Apa

Ada apa dengan diri ini
Sudah sunyi masih juga bersembunyi
Begitu akibatnya kalau terlalu intim dengan sepi
Terlihat gagah, petualang, tapi tak yakin diri

Ada apa dengan diri ini
Emosi lautan mengancam diri
Getaran urat bumi menggoncang mimpi
Aku rapuh, tua tak ter-urus, hilang jati diri

Waktu Di Stasiun Tugu

Di stasiun tugu, seorang pedagang tahu menyapaku.
Katanya, “langit berwarna abu-abu, matahari juga malu-malu
Kupikir, kau perlu tahu.”
Setelah memberi sebungkus tahu ia kembali menggoreng waktu.

Kereta unggu tiba dari jauh, sementara ia tak mau menunggu.
Sepatu-sepatu berhamburan diatas batu. Tapi, bukan tujuanku.
Setelah siap ia melaju, pak masinis kembali menjalankan waktu.

Hei..,
tiba-tiba saja ada wanita cantik disampingku.
Terasa sayang bila berlalu, maka kusapa dengan merdu.“Hai..,”
Ia membalas dengan segaris senyum yang ranum, lalu pergi.
Ia mematikan waktu sesaat.
Lalu, kembali kulangkahkan kaki waktu

Bayangan Berekor

Dan malam kembali tiba, melompat begitu saja setelah padam cahaya.
Sebuah bayang berkelebat tanpa sebab, gelap dan berekor panjang.
“Ikut aku,” katanya, “ada pesta diluar sana. Tepat di bawah bulan yang
sedang remuk.”

“Tidak ah,” kataku.
Lebih baik disini bersama bayanganku sendiri,
Meskipun kadang bertanduk.