22 Maret 2010

Rahasia Daun-daun

Daun-daun tumbuh lima jari, berbatang cabang beranting-ranting.
Tumbuh liar bak semak belukar menunggu hari siap panen.
“mungkin tiga atau empat bulan lagi” katamu.
Pak tani terserang paceklik, akibat mimipi kemarau sang anak.
“waktunya sekolah lagi,” kata ibu.

Entah lugu entah perlu, semak belukar dituai. “Sudah saatnya,” jawab penadah.
Petani bekerja lagi selundupkan daun ke kota. “Lumayan,” katanya
mimpi anak terpenuhi untuk merantaui dunia pendidikan.

Daun-daun tiba di kota, tersusun rapih seperti bata.
Berpindah tempat dari tangan ke tangan.
Hingga tiba lagi musim kemarau.

Kini sang anak terserang paceklik, kering diujung mimpi.
Daun itu rahasia ayah, ibupun tak pernah tau.
“Buah jatuh tak jauh dari pohonnya,” kata ibu guru dulu.

Orang-orang mencari daun, di desa-desa terlebih di kota-kota.
Setiap kebutuhan harus terpenuhi, sang anak melihat celah.
Dipaketkannya daun-daun hingga tepat pada harganya.
Sembunyi-sembunyi ia berkeliling, menukar daun dengan uang.
Sebata, dua bata, lima bata cukuplah sudah. Nanti benjol jika berlebih

Mimpi tergenapkan, sang anak pulang membawa berita.
“Aku sudah lulus ayah,” katanya dengan sedikit rahasia.
“kenapa lama sekali kau pulang,” tanya ibu.
“Begitulah ibu kota bu, banyak persinggahan yang harus dilalui.”
Rahasia tetap terjaga, antara ayah dan anak.
Rahasia daun, dari waktu ke waktu..

Ada Apa

Ada apa dengan diri ini
Sudah sunyi masih juga bersembunyi
Begitu akibatnya kalau terlalu intim dengan sepi
Terlihat gagah, petualang, tapi tak yakin diri

Ada apa dengan diri ini
Emosi lautan mengancam diri
Getaran urat bumi menggoncang mimpi
Aku rapuh, tua tak ter-urus, hilang jati diri

Waktu Di Stasiun Tugu

Di stasiun tugu, seorang pedagang tahu menyapaku.
Katanya, “langit berwarna abu-abu, matahari juga malu-malu
Kupikir, kau perlu tahu.”
Setelah memberi sebungkus tahu ia kembali menggoreng waktu.

Kereta unggu tiba dari jauh, sementara ia tak mau menunggu.
Sepatu-sepatu berhamburan diatas batu. Tapi, bukan tujuanku.
Setelah siap ia melaju, pak masinis kembali menjalankan waktu.

Hei..,
tiba-tiba saja ada wanita cantik disampingku.
Terasa sayang bila berlalu, maka kusapa dengan merdu.“Hai..,”
Ia membalas dengan segaris senyum yang ranum, lalu pergi.
Ia mematikan waktu sesaat.
Lalu, kembali kulangkahkan kaki waktu

Bayangan Berekor

Dan malam kembali tiba, melompat begitu saja setelah padam cahaya.
Sebuah bayang berkelebat tanpa sebab, gelap dan berekor panjang.
“Ikut aku,” katanya, “ada pesta diluar sana. Tepat di bawah bulan yang
sedang remuk.”

“Tidak ah,” kataku.
Lebih baik disini bersama bayanganku sendiri,
Meskipun kadang bertanduk.