30 September 2010

Timika

Hari ini biasa saja, seperti siang yang rutin berkunjung.
Pohon-pohon yang melambai-lambai dan menggugurkan daun-daun tuanya.
Untaian jemuran yang berbaris-baris seperti murid-murid yang akan memasuki kelas.
Suara kokok ayam yang bergantian memanggil anak-anaknya untuk makan, atau pun hanya sekedar berkokok kosong.

Sesekali gerimis datang lalu pergi terbawa angin,
seakan-akan tak mau kuterka isyaratnya.
Begitulah pemandangan siang yang selalu menghantui disini.
Di sebuah kota kecil pulau papua yang luas,
tepat di bawah leher burung cendrawasih.
Dimana tempatku mengistirahatkan langkah sejenak,
untuk menghitung jarak dan tenaga..

Sepi

Sependok sepi, dua bongkah hayal, kuaduk dalam segelas air hujan
rasanya seperti petir yang menyambar-nyambar.

Kubakar sebatang rokok, asapnya menggumpal dilangit-langit
rasanya hambar seperti sayur tanpa garam.

Dikamar aku melamun sendiri, rencanakan masa depan yang cerah
meski cuaca jauh dari cerah di sore yang tak merah.

Yang kunanti seorang dewi cantik menawan
penyingkir kabut dari pandangan.

Agar esok tak lagi menunggu arahnya.

Hilang Arah

apa jadinya bila hidup seperti tak bernyawa
ada dan bernapas namun hampa dan kosong
seperti berjalan di tengah hujan lebat tanpa payung, dingin tapi tak basah
seperti berada sendiri di atas gunung dengan makanan berlimpah, tapi hilang arah
kau berdiri di persimpangan dengan badan tegap, sehat, tapi tak tau mau kemana

seandainya disuatu pagi kau terbangun dan lupa akan namamu sendiri
kurasa itu lebih baik dari pada kau kehilangan arah hidup..

Pesta

Ini pesta yang kesekian kali
Semua berkumpul seperti awan liar
Tak ada mendung dan gelisah
Tak ada muram dimuka bulan
Seceria bintang diatas sana

Jangan akhiri dulu semeraut ini
Biarkan kaki lepas tak terkendali
Jangan ada marah disana
Juga kesal tersenggol panah
Semua hanya tawa bersama

Mereka Ditengah mengangkat gelas
Di Pojok-pojok pemilin rokok
Bebaskan saja. Lepaskan saja
Resiko ditanggung pembaca..

Sampai Ketemu

Hey.., sebentar saja
Aku akan hilang di kesunyin malam
Melepaskan langkah ke tanah asing
Tempat matahari bersinar lebih dahulu

Sendiri.., sebab itu ku kembali sendiri
Cukup banyak yang harus ditinggalkan
Untuk banyak itu sendiri

Mungkin memang begitu sebuah belati
Tak perlu sepasang..satu cukup
Seperti juga pena, menulis hingga ke dalam

Sampai ketemu di sebuah taman…

14 September 2010

Tanah Papua

Hitam lebam kulit badan
Keriting pikiranku
Keras batu keras watak
Keras pula perjuanggan
Hidup bukan Cuma emas
Roti, ubi, keju sama dimakan
Hanya saja rasa berbeda
Begitu juga hidup
Penuh mimpi berbuah-buah

Bukan salah nasib tak memihak
Bila usaha tak ada
Katamu, “ini tanah kami kaya, subur”
Percuma bila tak terdidik putra daerah
Bila tak maju pemikiran, jadi budak di tanah sendiri
Hitam lebam kau punya badan
Keriting pikiranmu

Lapar jiwamu, Lapar pengetahuanmu
diperjalanan yang terik demi mencari sekeranjang makanan
Makan dan minum demi hari depanmu
Seperti seorang sarjana yang keroncongan
Habis tenagamu menimba-nimba ilmu
Tak dapat tempat di perkotaan yang sesak
Kau putuskan untuk merantau
Kata orang tua “dikampung masih banyak tanah kosong
Masih banyak orang bodoh, kau akan lebih dihargai nanti”
Nyatanya sama tanah, sama laut, luas tak terkira

Musim hujan tiba
Dingin sekujur tubuh
Tulang-tulangmu beku
Tidur jadi terganggu
Malam semakin gelap
Tanpa pijakan kau menunggu
Hingga hujan mereda
Jiwa tetap beku

Kau bermimpi karena terpaksa harus bermimpi
Sebab hanya itu teman yang kau punya
Jalan-jalan semakin lenggang
kendaraan mulai sepi
Hidupmu penuh dengan lika-liku
Menunggu tak lagi berguna untuk bertahan
Walaupun kaki terbakar panas aspal
Biarpun kepala di hujani asam laut
Tubuh tetap kokoh, tinggal dalam doa
DaN kulit menjadi pekat ketat
Tangan tetap mengepal
Otot harus menyala
Terangi jalan menuju kebebasan
Bebas menentukan tujuan

Hitam lebam kau punya badan
Keriting pikiranku
Kutinggalkan semua teman
Semua yang tersisa dari masa muda
Sebab Tantangan tak lagi bertaring

Kini aku di timur indonesia
Hanya karena hidup yang tak mau menunggu

Bintang

Disini ada bintang yang jatuh!
Jatuh menimpa kepalaku.
Kepalaku yang keras dan berkilau!
Berkilau akan pertanyaan dan harapan.
Harapan tanpa ekor dan kepala!
Pasti kau sedang mencari bintang?
Bintang yang jatuh.
Jatuh karena hilang kilaunya!

05 September 2010

Perjalanan

Langkah ke depan satu-satunya jalan..
Samar. Penuh keraguan dan harapan.
Selalu menyimpan pertanyaan di kemudian hari.

Tentang Perjuangan., menuju jalan pulang.!

Menyerah

Aku angkat tangan.
Menyerah di titik ini.
Habis tenaga.
Terlalu banyak arah.
Terlalu letih perjalanan.

Langkah selanjutnya,
Lurus kedepan.

Aku Tidak

Kau percaya..
Kalau bintang jatuh mengabulkan doa
Kau percaya..
Di bulan sabit sana duduk seorang putri
Kau percaya..
Satu tangkai bunga bisa wangi seisi ruang
Kau percaya..
Kalau sendiri terlalu sunyi

Aku tidak.!
Semenjak menulis tak lagi perlu pena

02 September 2010

Gelas

Aku titip gelas ya
Isinya cinta, memabukkan
Jangan kau teguk
Nanti kau gila
Mencariku hingga ke pelosok
Simpan saja di kolong tidurmu
Agar tak kau pandang setiap waktu

Ini gelas antik. Unik
Meskipun aneh katamu
Sering kubuat minum bersama sahabat
Sebatas mabuk dan tertawa
Menang kalah, jatuh bangun
Kami tetap bersulang
Agar semangat tetap menyala

Gelas itu
Berisi cinta sekarang
Hanya Satu teguk
Simpan ya..
Gelasnya ku ambil lagi nanti
Airnya.! buat siram bunga di hatimu..

Perpisahan Musisi

Sudah jauh perjalanan kita
Hingga tak ada lagi kata ragu
Dari pintu ke pintu
Kota ke kota

Dari gelas ke gelas
Hutan ke hutan yang lain

Mencuri seteguk waktu
Demi sebungkus makan bersama

Sudah cukup jauh
Sampai tiba kita disini
Di persimpangan lainnya
Arah kita berbeda
Walau lagu kita sama

Aku akan selalu meniup seruling
Agar kau mainkan gitarnya
Menabung nada untuk masa nanti

Seketemunya lagi semua tinggal di rajut
Jadi irama keras yang menggoyang...

Sampai Ketemu

Hey.., sebentar saja
Aku akan hilang di kesunyin malam
Melepaskan langkah ke tanah asing
Tempat matahari bersinar lebih dahulu

Sendiri.., sebab itu ku kembali sendiri
Cukup banyak yang harus ditinggalkan
untuk banyak itu sendiri

Mungkin memang begitu sebuah belati
Tak perlu sepasang..satu cukup
Seperti juga pena, menulis hingga ke dalam

Sampai ketemu di sebuah taman…