13 Desember 2013

Mimpimu Kelak

Kelak nanti aku akan datang melalui mimpimu
Menyentuhmu lembut dan memelukmu diam
Aku akan membawa mimpimu terbang
Lalu kupecahkan menjadi bintang-bintang
Dan kita saling memandang diam
Mengecup dan hilang

“maaak...nenen!”

Pelangi di Tubuh Sintalmu

Di matamu, di hidungmu, di pipimu
selalu ada pelangi, bahkan di bibirmu!
Jangan-jangan kau t’lah mengambil semuanya
tak ku temukan lagi jejak-jejak pelangi.

Aku juga masih memiliki pelangi
Satu-satunya yang kupunya
Sering kupakai melukis senja
Melukis bukit-bukit dan rerumputan

Pertanyaanku,
boleh kulukis pelangi
di sepanjang tubuh sintalmu?

Cium

Cium yang dulu kau berikan
Hangatnya masih ku simpan dalam kulkas
Jikalau rindu berkunjung ku seduh dalam rintik hujan

Cinta

Ada kata manis
yang ku-larut dalam waktu,
mengendap di dasar kopimu.

-7 Des-

S coret

Puisi dilarang berhenti

P

Tempat parkir Puisi

Awas

Puisi ini bertegangan tinggi

Dilarang

Mempekerjakan puisi dibawah umur

Silat Lidah

Seberkas sinar kecil bersinar malu-malu
Diantara cahaya-cahaya angkuh
Kata-kata menjelma kupu-kupu
Terbang di atas terang

Sinar kecil tumbuh dewasa
Cahaya berguguran di cakrawala
Kata-kata menjelma bunga-bunga
Semerbak gemulai di atas warna

Seberkas sinar tumbuh menjadi cahaya angkuh
Bersinar menerobos jendela waktu
Kata-kata menjelma bahasa
Silat lidah puisilisasier

Asmara Malam

Seperti hujan asmara di pondok malam
Tanpa kompromi dan batasan ia mencurah
Lalu ketika cahaya mulai menghangtkan
Masing-masing berpisah hilang arah

Karam

Kemarin kau pesan segelas
Hari ini sebotol penuh
Tiba-tiba kau karam di meja bar
Dari dalam botol muncul biduanmu
Ya ampun, semua tiba-tiba terbuka
Dan kita pun tenggelam timbul dan tenggelam

Pohon Sunyi

Bibit embun yang kau kirim
kini sudah menjadi pohon sunyi.
Buahnya tak dapat kupetik
sebab pohon menjulang tinggi.
Daun-daunpun tak pernah gugur,
sebab tak ingin kukatakan.
Dahan-dahan sekokoh beton,
seperti ranting-ranting besi.

Yang ingin kukatakan:
Pohon itu tumbuh di pekuburan,
tempat kita dulu melinting sepi:
Bawahnya lancip, atasnya mekar menyala.

UjianMu

Di suatu masa kita saling menguji
antara dosa terberkati dan doa kesiangan
keduanya segunung-segunung, dipisahkan Kesabaran.
Hasilnya? Setitik embun di sudut sunyi.

11 Desember 2013

Anakku Mandi Api

Hari ini kau berangkat untuk mandi api.
Saat pagi ketika ibu sedang menghangatkan hati
untuk bekal masa depanmu,
kau berkata:

Bu, hari ini aku mau mandi api
nanti sore ibu akan lihat di sekujur tubuhku
sudah bersih dan tak ada lagi dosa-dosa,
untuk itu aku butuh doa. Aku tak mampu bu
membersihkan kotor-kotor tubuh ini!
Kotor dari segala penjuru yang sudah karat dalam jiwa.
Seperti tubuh kita ini bu. Karat oleh literatur hidup.
Aku sudah pernah mandi air, mandi petir bahkan mandi getir
tetapi kotor itu tetap ada bu. Mungkin dengan mandi api
semua akan mengerti.

"Anakku sayang pergilah damai mandi api,
bawalah serta doa ibu, air mata hujan,
dan tetesan api di pipi."

-Bintaro, Des 2013-

07 Februari 2013

Inginku

Aku ingin mencintaimu dengan doa
Yang tak sempat diucapkan bibir
Pada sebuah kecup di kening

Aku ingin kamu menjadi cahaya
Di setiap malam penuh gerimis
Yang menghujani luas haus ini

Inginku adalah gelisah yang tak-kan  kunjung selesai

-D-

Ingin Sekali


Di punggung pagi yang masih belia saya termenung diatas bukit yang rimbun
Jiwa belum lengkap masih tertinggal di sudut-sudut mimpi dalam namamu
Daun-daun basah nan hijau ucapkan salam pada merdu cericit anak-anak burung
Wangi tanah, warna bunga, serat-serat cahaya bertebaran disekitar hati yang gelisah
Aku ingin benar-benar yakin masih berada disini, di sebuah entah tanpa cinta

Namamu yang kerap kali mengetuk-ngetuk pintu hayalku seakan mulai tampak pudar
Tersapu angin yang terus-menerus berhembus, menerbangkan sisa-sisa api unggun
Wajahmu yang meneduhkan ingin sekali kuterka isyarat-isyaratnya dalam sunyi kelana
Matamu yang seringkali lembab berbinar, senyummu yang kerap kali terasa hangat
Tak mampu menyimpan rahasia dalam kenangan masa lalu, ingin sekali ku hapuskan

Ingin sekali kulukis sebuah hati yang jujur di keningmu
Dengan warna yang tulus di dalam kanvas waktu yang bening
Seperti sebuah doa dan air mata di malam yang penuh bintang

Inginku adalah cahaya bulan
Yang terjatuh diluas padang sepimu
Diluas hati gelisahku

--D-

08 Januari 2013

penyiar-penyair

kalau kamu mau jadi penyiar mungkin aku mau jadi penyair juga.!

Kacamatamu


dari balik kacamata itu ada rindu
yang tak henti-hentinya bergemericik merdu
disekujur tubuhku yang hampir penuh
penuh dengan kekosongan yang kian melompong

dibalik kacamatamu itu ada rindu
sedang berdiri menunggu
keterbukaanmu yang sungguh

Pertemuan Ketiga


disepanjang hari, jari-jarinya sibuk menindis-nindis mainan barunya
aku jadi canggung, mau bicara padanya atau mainan barunya
aaah., biar sajalah!
toh nanti juga aku menjadi mainan baru baginya..

Pertemuan Kedua


Saya terpanggang bersama ikan-ikan bakar
Dimalam taun baru yang penuh berkat
Disamping ibunya yang sedang berkeringat

Langit merayakan pertemuan itu
Dengan pecahan-pecahan bintang yang diledakkan
Menjadi serpihan-serpihan mimpi yang terberkati
               
--malam taunbaru--

Pertemuan Pertama


semenjak bertemu kamu
saya jadi sering senyum-senyum sendiri

disebuah toko buku tempat janji bertemu
saya menyodorkan segalanya untuk kau simpan
kau menyimpannya dalam dirimu yang paling dalam
segalanya yang aku tau tentang kedalaman

lalu, kita berjalan bersama
mencoba melepaskan jarak yang ada
saling melempar senyum, mengumbar tawa
berusaha santun dipertemuan pertama

sampai akhirnya terlukis sebuah rindu
yang membuatku tersenyum sepanjang waktu

Terlalu Singkat


rasanya waktu terlalu singkat untuk kita
saling membagi warna pada lekuk-lekuk cahaya
memberi makan bersama pada burung-burung pipit di taman gereja
 meniupkan angin pada daun-daun yang ingin terlepas dari tangkainya
untuk menukarkan mimpi-mimpi pada malam-malam penuh doa
dan membisikan kata cemburu pada masing-masing kita

Syal


Selendang itu tanda sesuatu padamu
Yang bergelayut di lehermu itu sesuatu
Yang selalu menjadi sesuatu, sesuatu yang lembut
Hangat, penuh warna seperti kita
sesuatu yang sendiri, terbuka
Yang kan sering terkapar di hangat tubuhmu

Sesuatu itu bisa saja menjadi siapa,
atau bukan. Tak perlu ada yang tau!

Pertemuan Singkat


Rasanya seperti mencuri selendang bidadari
Tapi harus dikembalikan lagi, utuh tak tercela
Bagaimanapun caranya, apapun resikonya
Seperti apa prosesnyapun adalah
Suatu kehormatan tersendiri

Itu.. Itu saja kawan.!
Yang tak pernah bisa ku pahami.

Bulan Biru


Dimatanya kutemukan bulan
Bulan biru yang kenyal
Sintal dan hangat

Sesekali saya mencoba mencurinya
Ketika bertemu pandang sesaat
Tetapi waktu terlalu singkat untuk itu

“Aku yang terlalu atau dia yang tak mau memberi?”
Semuanya boleh saja bertanya-tanya
Tapi mata tak mungkin berbohong

Disuatu Waktu

diwajahnya kutemukan surga;
surga yang elok. 
ada cahaya berpendar disana;
dari rona pipi dan santun senyuman.

Kita terduduk disuatu waktu
Disebuah taman kecil tengah kota
Saling bertutur kisah, berbagi silam
Hingga waktupun terbungkam
Terkesima oleh kedua bola matamu

-Taman Menteng w Deas-

Selembar Malam Tanpa Judul

Tak cukup malam kah, kawan?
Untuk kita saling membongkar masa lalu
Menyusunnya santun di sudut taman
di ujung langkah kita yang tersisa dan terbata

Tak cukup malam kah, kawan?
Untuk sekedar terlena lekuk-lekuk sunyi
Yang menari anggun di dalam hujan
di dalam keramaian yang remang tak bergerak

tak cukup malam kah? Kawan
Kita terduduk di salah satu sudutnya
Terdiam., terpaku. membiarkan mimpi kita terbaca oleh angin
Membiarkan tubuh kita terbaca oleh gerimis
di selembar malam tanpa judul

-Dedicate to: Oik, Doms, Bert, Dri (Taman Menteng)-

Diriku Yang Lain


Saya menunggunya disebuah terminal kata
dengan tubuh setengah terkapar.
Dengan sebongkah puisi padat dan dingin,
dan sekantong janji.
“siapa yang kau tunggu, sahabat.?”
Diriku yang lain.

Kamu


seketika saja kamu menjelma menjadi kata-kata
yang berkelebat-kelebat dalam ingatan bagai kilat
kata-kata anggun yang melekat sungguh memikat
berkecipak-kecipak di dalam penat bagai obat

Peluru


Saya baru saja meletakkan puisi di sudut sini.!
“dimana?”
disini.. dalam sebuah dompet kulit kumuh coklat tua
yang bergambar koboi memegang senjata
puisinya terselip di topinya..
“ahh., puisimu mungkin sudah menjadi peluru.
Yang menembus dada gadis itu.”

Gadis itu tersenyum tersipu ketika peluru menemukannya.

Derai Hujan


Derai hujan tak mau mengerti, antrian panjang roda-roda gelisah
ataupun jejak-jejak sunyi yang sembunyi

Malaria


ibu mendapati saya sedang tenggelam di danau demam yang paling gigil. lalu mencelupkan sebutir embun yang paling manjur. keringatpun bercucuran dari matanya. 

Demam


diam-diam ibu menuai demam di tubuhku, menjadi embun di matanya
embun di mata ibu bisa jadi lebam di matamu

Semakin Hilang


dia memecahkan botol, jauh di lorong mimpinya yang paling sunyi
dia lari menembakan pistol disaat orang-orang telah ramai. Dikuburan
dia menangis sendu merayakan hatinya yang sedang tumbuh mekar
semakin bermekaran  ia menjadi semakin hilang arah kata

Sang Ibu dan Petualang


si petualang itu sedang menunggu datang kekasihnya
sambil menunggu ia putuskan untuk menjelajahi  ceruk bulan
di ceruk bulan sunyi ditemukannya seorang ibu sedang tertidur pulas

tak ingin terperangkap dalam mimpi si ibu sang tualang terus berjalan
memasuki lorong-lorong ceruk bulan yang semakin sunyi
yang semakin gelap,  menjadikannya cahaya bagi mimpi sang ibu

ketika kekasih datang si petualang sudah hilang terlalu dalam
terjebak dalam kepalan waktu membeku, dingin dan sendiri

: seketika saja sang ibu terbangun, dan
membongkar susun kembali mimpi-mimpi menjadi terang terkendali

Ayah


Angannya meluncur ke jaman lalu, lalu
mantul-mantul di pinggir jendela nako
jatuh pecah di atas kepala seorang bocah