Aku ingin membacamu dengan khusyuk, bagai sebuah Kitab. Lalu aku akan tinggal diam di dalam hatimu untuk membaca diriku sendiri.
08 Januari 2013
Kacamatamu
dari balik kacamata itu ada rindu
yang tak henti-hentinya bergemericik merdu
disekujur tubuhku yang hampir penuh
penuh dengan kekosongan yang kian melompong
dibalik kacamatamu itu ada rindu
sedang berdiri menunggu
keterbukaanmu yang sungguh
Pertemuan Ketiga
disepanjang hari, jari-jarinya sibuk menindis-nindis mainan
barunya
aku jadi canggung, mau bicara padanya atau mainan barunya
aaah., biar sajalah!
toh nanti juga aku menjadi mainan baru baginya..
Pertemuan Kedua
Saya terpanggang bersama ikan-ikan bakar
Dimalam taun baru yang penuh berkat
Disamping ibunya yang sedang berkeringat
Langit merayakan pertemuan itu
Dengan pecahan-pecahan bintang yang diledakkan
Menjadi serpihan-serpihan mimpi yang terberkati
--malam taunbaru--
Pertemuan Pertama
semenjak bertemu kamu
saya jadi sering senyum-senyum sendiri
disebuah toko buku tempat janji bertemu
saya menyodorkan segalanya untuk kau simpan
kau menyimpannya dalam dirimu yang paling dalam
segalanya yang aku tau tentang kedalaman
lalu, kita berjalan bersama
mencoba melepaskan jarak yang ada
saling melempar senyum, mengumbar tawa
berusaha santun dipertemuan pertama
sampai akhirnya terlukis sebuah rindu
yang membuatku tersenyum sepanjang waktu
Terlalu Singkat
rasanya waktu terlalu singkat untuk kita
saling membagi warna pada lekuk-lekuk cahaya
memberi makan bersama pada burung-burung pipit di taman
gereja
meniupkan angin pada
daun-daun yang ingin terlepas dari tangkainya
untuk menukarkan mimpi-mimpi pada malam-malam penuh doa
dan membisikan kata cemburu pada masing-masing kita
Syal
Selendang itu tanda sesuatu padamu
Yang bergelayut di lehermu itu sesuatu
Yang selalu menjadi sesuatu, sesuatu yang lembut
Hangat, penuh warna seperti kita
sesuatu yang sendiri, terbuka
Yang kan sering terkapar di hangat tubuhmu
Sesuatu itu bisa saja menjadi siapa,
atau bukan. Tak perlu ada yang tau!
Pertemuan Singkat
Rasanya seperti mencuri selendang bidadari
Tapi harus dikembalikan lagi, utuh tak tercela
Bagaimanapun caranya, apapun resikonya
Seperti apa prosesnyapun adalah
Suatu kehormatan tersendiri
Itu.. Itu saja kawan.!
Yang tak pernah bisa ku pahami.
Bulan Biru
Dimatanya kutemukan bulan
Bulan biru yang kenyal
Sintal dan hangat
Sesekali saya mencoba mencurinya
Ketika bertemu pandang sesaat
Tetapi waktu terlalu singkat untuk itu
“Aku yang terlalu atau dia yang tak mau memberi?”
Semuanya boleh saja bertanya-tanya
Tapi mata tak mungkin berbohong
Disuatu Waktu
diwajahnya kutemukan surga;
surga yang elok.
ada cahaya berpendar disana;
dari rona pipi dan santun senyuman.
Kita terduduk disuatu waktu
Disebuah taman kecil tengah kota
Saling bertutur kisah, berbagi silam
Hingga waktupun terbungkam
Terkesima oleh kedua bola matamu
-Taman Menteng w Deas-
-Taman Menteng w Deas-
Selembar Malam Tanpa Judul
Tak cukup malam kah, kawan?
Untuk kita saling membongkar masa lalu
Menyusunnya santun di sudut taman
di ujung langkah kita yang tersisa dan terbata
Tak cukup malam kah, kawan?
Untuk sekedar terlena lekuk-lekuk sunyi
Yang menari anggun di dalam hujan
di dalam keramaian yang remang tak bergerak
tak cukup malam kah? Kawan
Kita terduduk di salah satu sudutnya
Terdiam., terpaku. membiarkan mimpi kita terbaca oleh angin
Membiarkan tubuh kita terbaca oleh gerimis
di selembar malam tanpa judul
-Dedicate to: Oik, Doms, Bert, Dri (Taman Menteng)-
-Dedicate to: Oik, Doms, Bert, Dri (Taman Menteng)-
Diriku Yang Lain
Saya menunggunya disebuah terminal kata
dengan tubuh setengah terkapar.
Dengan sebongkah puisi padat dan dingin,
dan sekantong janji.
“siapa yang kau tunggu, sahabat.?”
Diriku yang lain.
Kamu
seketika saja kamu menjelma menjadi kata-kata
yang berkelebat-kelebat dalam ingatan bagai kilat
kata-kata anggun yang melekat sungguh memikat
berkecipak-kecipak di dalam penat bagai obat
Peluru
Saya baru saja meletakkan puisi di sudut sini.!
“dimana?”
disini.. dalam sebuah dompet kulit kumuh coklat tua
yang bergambar koboi memegang senjata
puisinya terselip di topinya..
“ahh., puisimu mungkin sudah menjadi peluru.
Yang menembus dada gadis itu.”
Gadis itu tersenyum
tersipu ketika peluru menemukannya.
Derai Hujan
Derai hujan tak mau mengerti, antrian panjang roda-roda
gelisah
ataupun jejak-jejak sunyi yang sembunyi
Malaria
ibu mendapati saya sedang tenggelam di danau demam yang
paling gigil. lalu mencelupkan sebutir embun yang paling manjur. keringatpun
bercucuran dari matanya.
Demam
diam-diam ibu menuai demam di tubuhku, menjadi embun di
matanya
embun di mata ibu bisa jadi lebam di matamu
Semakin Hilang
dia memecahkan botol, jauh di lorong mimpinya yang paling
sunyi
dia lari menembakan pistol disaat orang-orang telah ramai. Dikuburan
dia menangis sendu merayakan hatinya yang sedang tumbuh
mekar
semakin bermekaran ia
menjadi semakin hilang arah kata
Sang Ibu dan Petualang
si petualang itu sedang menunggu datang kekasihnya
sambil menunggu ia putuskan untuk menjelajahi ceruk bulan
di ceruk bulan sunyi ditemukannya seorang ibu sedang
tertidur pulas
tak ingin terperangkap dalam mimpi si ibu sang tualang terus
berjalan
memasuki lorong-lorong ceruk bulan yang semakin sunyi
yang semakin gelap, menjadikannya cahaya bagi mimpi sang ibu
ketika kekasih datang si petualang sudah hilang terlalu
dalam
terjebak dalam kepalan waktu membeku, dingin dan sendiri
: seketika saja sang ibu terbangun, dan
membongkar susun kembali mimpi-mimpi menjadi terang
terkendali
Ayah
Angannya meluncur ke jaman lalu, lalu
mantul-mantul di pinggir jendela nako
jatuh pecah di atas kepala seorang bocah
Langganan:
Postingan (Atom)