04 Agustus 2012

Bagai Injil

Aku akan membacamu dengan khusyuk, bagai buku Injil.
Dari lembar baju pendahuluan, masuk kekulit ayat-ayat sucimu.
Dari kejadian, kisah roh dan dagingmu, tulang belulang mazmurmu,
sampai ke wahyu jiwamu. Lalu aku akan tinggal diam di dalam hatimu,
untuk membaca diriku sendiri. 

Kerumah-Mu

Jalan kerumah-Mu menanjak dan penuh batu
Dan ketika aku terjatuh
Gunung-gunung tertunduk malu

Butuh Cahaya

Kau telah bakar api di jiwaku yang hampir mati
Jangan padamkan sejenak sebab kau dan aku butuh cahaya

Mungkin aku hanyalah sebuah belati yang hampir berkarat
Sendiri dan berbahaya, bila tersayat kau akan hanyut dalam luka
Sedangkan kau, deretan bunga-bunga di bukit sunyi
Indah membentang, elok berwarna, manis di kecup

Sejuta ingin untuk memetikmu lantang dan merdu
Seperti kicau burung di minggu pagi yang agung 
Seperti doa-doa yang diucapkan ibu di semalam suntuk
Dan akan kurangkai dalam vas bunga dalam ruang hatiku

Tetapi,  aku takut tertusuk durimu, atau
Aku yang akan merusak kelopak-kelopakmu

Atau mungkin, kupatahkan saja belati ini
Dan kunyanyikan kidung di bukit sunyimu
Saling menatap api yang tak pernah padam

Danau

Biarkan saya berenang menuju mimpimu. Menjadi ikan terang
dalam lelap tidurmu. Karena kau adalah danau bagi sajak-sajakku. 

Mandi

Saya ingin mandi dalam rintik gerimis senyummu.
Berendam bermain perahu di sunyi air mata itu.
Dan tenggelam dalam hangat tubuhmu.

Deasy

Aku telah menjadi syair lagu, yang berjudul namamu.

Deasy

Aku ingin tidur di bening matamu yang bulat bagai purnama.
Aku ingin lelap di senyum mungil itu yang seputih bunga salju.
Inginku adalah hujan yang tak henti-hentinya bergemericik merdu.!

Sesekali Kunjungi Aku

Tu(h)an, sesekali datanglah kesini, ke kamarku ini.
Nanti akan kubuatkan teh manis dari air mata ibu.
Kubuatkan kue kering yang kugoreng dengan keringatku.
Dan ketika senja tiba, kuajak Kau jalan-jalan keluar rumah.

Kita ke kolong-kolong jembatan, tempat anak-anakmu
tidur beralaskan koran yang berisi berita-berita politik kotor.
Kita ke tempat-tempat pembuangan sampah tempat mereka
mendirikan istana-istana dan mengais rejeki untuk anak-anaknya.
Lalu kita ke Aceh, ke Bantul, ke Maluku, keliling-keliling
lihat tempat-tempat yang pernah dilanda musibah.

Kita ke negara-negara lain seperti Afganistan, India, Afrika, Amerika,
buat perbandingan saja sapa tau ada yang perlu untuk kau benahi kembali.

Setelah itu kembali ke rumahku, atau masuk saja langsung ke dalam jiwaku.
Tata kembali hatiku yang mulai berserakan, sapu isi otakku yang sudah kotor.
Dan jangan lupa seting ulang nasibku, agar cocok untuk jaman sekarang.
Agar bisa menjadi berkat, bahkan sudah mati.

Setelah itu, silahkan lanjutkan perjalanan-Mu,
kunjungi anak-anak-Mu yang lain. 

31 Juli 2012

Rokok

Tak habis-habisnya kau hisap paru-paruku.
Lalu, tinggalkan abu tubuhku dalam asbak waktu.

Celana Baru

Biarpun tampangmu tampak bersih seperti habis bercukur.
Saya tetap merindukan jiwamu yang compang-camping.

Lampu Kamar

Tetaplah menyala, sebelum pagi mengucilkanmu
Terangi anak-anakku menuju lembar-lembar puisiku
Biarkan ibu yang akan mematikanmu nanti
Setelah kita kalah berkelahi dengan kata-kata

Telinga

Dengar suara, tatap nyanyian sunyiku
Laksana doa-doa dari taman Getsmani
Sebelum kupisahkan kau dari kepalamu

Mata

Jaga saya, jaga kata, jaga jari-jarimu.!
Tapi jangan kau jaga pintu-pintu hayalku.

Kawan-Kawan

Teman-teman mengunjungiku
Ada yang membawa pisau belati
Ada yang menggandeng botol minuman
Ada juga yang datang dengan penuh darah
Sebagian lagi membawa kartu dan dadu

Kami berkumpul layaknya keluarga
Bicara ini, itu. Lempar sana, sini
Tendang, pukul, sikut, tusuk
Semua jurus keluar behamburan
Beberapa akhirnya jatuh tersungkur
Sisanya bertempur sampai pagi

Kamarku jadi kotor berantakan
Di sana-sini abu, muntah berserakan, darah berceceran
Keringat mengalir banjir bak air mata
Ayahku hanya tertawa geli
Hanya ibu yang sibuk membersihkan
Sedangkan aku.? Tak pernah ada di rumah.! 

Lemak

Lemak tumbuh subur dibalik bajumu, celanamu.
Tulang-tulang yang dulu sering gigil kedinginan,
kini tampak resah oleh beban yang dipikulnya.
Ketika mandi, air tak lagi riang menyusuri lekuk-lekukmu.
Paling-paling hanya aku yang tak-kan pernah bosan-bosan
memelukmu sepanjang tubuh. 

Mimpi Buruk

Tadi malam saya bermimpi sedang berlari.
Entah lari karena dikejar nasib atau lari mengejar nasib.
Tak ada bedanya, tapi yang pasti ini menyangkut soal nasi.
Yaa., hanya kurang satu huruf lah dengan nasib.
Kalau beruntung nasi bisa jadi sumber tenaga,
kalau tidak yah nasib juga bisa jadi tai.

Saya berlari sendiri seperti tak pernah lelah.
Menyusuri hutan-hutan, meja ke meja yang lain,
dari pintu ke pintu, surat ke surat, lalu tiba di jalan besar.
Di jalan besar saya melihat orang-orang ramai membawa map
yang berisi angka-angka kosong, huruf-huruf buta
yang sudah basah dengan keringat dan air mata.

Kemudian saya lanjut berlari menuju sebuah jembatan kayu.
Dan tanpa sadar saya telah menjatuhkan Hp saya.  “Sial.,
harta satu-satunya kini raib juga ke kolong jembatan.”

 Tiba-tiba saya sudah berada di sebuah pasar. Orang-orang berbisik curiga,
“mungkin dia pencuri tadi malam yang terpisah dari gerombolannya.”
Yang lainnya berkata,
“dia mungkin orang gila baru karena kehilangan pekerjaan, hingga ditinggal istrinya.”
Lalu seseorang yang terlihat seperti juga gila berteriak kepada lainnya,
“bukan, ia hanya seorang penyair yang kehilangan kata-kata, biarkan dia lewat.!”

Saya terus berlari, berlari dan berlari hingga akhirnya saya terjatuh.
Dalam jatuh saya berdoa, “Tuhan setidaknya beri saya sepeda saja,
agar lari saya bisa lebih cepat dan efektif. Tidak usah motor,
nanti repot harus membeli bensin.”

Lalu saya terbangun, dan kudapati Hp diatas meja sedang berdering.
“Hallo selamat siang.”
“Ya selamat siang, bapak telah diterima kerja di perusahaan kami.
Silahkan datang ke kantor kami hari senin nanti, terima kasih.”

Aah.., saya jadi semakin bingung.!
Mau hidup diburu waktu atau hidup berburu kata.?

Kecupan Mesra

Tadi malam saya terjatuh dari ranjang baruku,
hingga benjol di sisi kanan jidad.
Saat bermimpi, kau mengecup keningku mesra.

Senyum Ibu

Kepalaku benjol menubruk lantai tadi malam,
ketika bermimpi tentangmu. Dan saat ku-berkaca dalam kamar,
dalam benjol kulihat ibu sedang tersenyum ranum..

Mimpi Lagi

Semalam aku bermimpi lagi
Setelah benjol aku dibuatnya
Dalam mimpi benjolku meletus
Hingga keluar katakata berhamburan 

"Selamat Mimpi"

Kuucapkan selamat malam pada tubuhku yang sudah layu,
sebelum aku tenggelam dalam ranjang tuaku.
Sebelum ku peluk cium tulang-tulang rangkaku.

“Selamat mimpi pemuda, semoga kau temukan 
jalan menuju rumahku.”

Foto-Mu

Di dinding rumah ada foto Bapaku
sedang berdoa dalam sebuah taman.
Dalam foto Bapaku ada jalan 
menuju taman bunga-Mu.

26 Juli 2012

Sofa Seksi

Sofa seksi di ruang tamumu, menggoda pantatku yang kesepian.
Menjamah punggungku dengan kasih sayang.

Setitik Hujan

Mungkin saya hanya setitik hujan yang tak sampai ke tanah.
Yang tak henti-hentinya merintik perih, di bibir atap rumahmu. 

Genderang Hujan

Kemarin malam hujan turun seperti mau perang.
Kadang bergemuruh mereka menggertak,
“serbuuu..” Lalu kembali merintik susun strategi.
Esok harinya, selokan dan sungai-sungai menyerah tanpa isyarat.

Pak Nasib

Nasib pusing tujuh keliling
Saat keliling kampung dia lihat maling
Sedang jaga ronda di pos kamling

Waktu menunjukan pukul tengah malam
Kentungan di pukul pencuri
Tanda aksi akan dimulai
Bulan sedang lelap-lelapnya melotot
Daun-daun sedang santai-santainya di ranting

Pencuri melompat masuk melalui jendela
Lompat ke dalam mimpi bocah kecil
Bocah kecil tiba-tiba merengek minta susu
Dari balik jendela ayahnya berkata,
“tidurlah nak, papa sedang sibuk bekerja.”

Bermain Bayang-bayang

Saya suka merasa lucu dan senang jika melihat bayang-bayang.
Saat saya kekiri ia ikut kekiri, saya angkat tangan kanan
ia malah angkat tangan kiri. Ketika saya lari kedepan
ia selalu mengikuti dari belakang, kemudian saya lari ke awal
tiba-tiba ia muncul di depan.

Sekali waktu saya di buatnya kesal di depan pagar.
Saya mundur ia ikut juga mundur, saya melompat ia malah berjongkok.
Ketika saya jongkok, ehh.. ia bersembunyi.
Saya lalu lari kedepan, tiba-tiba ia menghadang membesar.
Saya kaget dan langsung memukul wajahnya. Tetapi kok,
yang berdarah malah tangannya.?

Merenungi

Akhir-akhir ini saya sering merenungi nasib.
Kalau di pikir-pikir nasib itu lucu ya!
Kadang ia suka berlari-lari di dalam selokan,
kemudian tiba-tiba saja melompat ke jalanan ramai
lalu tertawa. Kadang ia pergi ke atas pagar batu
membaca buku sepanjang waktu. Sekali waktu ia pulang
membawa wanita dan dibiarkannya menunggu di ruang tamu,
sedangkan ia pergi bersembunyi ke kamar mandi.

Saat ini ia mungkin sedang duduk-duduk sendirian
di bawah pohon pinang belakang pagar.
Wajahnya tampak marah dan bertanya-tanya?
“siapa yang berani-beraninya merenungi aku tanpa ijinku?”

Mimpiku Hangus

Sudah lama saya rindu dengan rumah, karena rumahku kini lupa jalan pulang.
Dulu saya sering tidur di pelukannya sampai air liur mengalir keras.
Saking enaknya tidur kadang matahari yang selalu muncul di jendela merasa malu
dan enggan bersinar. Sampai-sampai disuruhnya awan untuk mengguyur rumahku.

Rumah jadi kedinginan, diguyur sepi sepanjang waktu. Karena gigilnya sungguh dalam
seisi rumah jadi bergetar. Semula kukira gempa, jadi saya lari keluar rumah tanpa baju
tidak tanpa celana. Kemudian saya berlari kedalam mimpi dan kutemukan sebuah pintu.
Di balik pintu kudapati ibu yang sedang menyapu, kukatakan padanya.
“Jangan sapu mimpi-mimpiku bu.”
“Tidak, ibu hanya memindahkannya ke dalam ruang mimpi ibu. ” Lalu ibu seketika 
lenyap begitu saja. 

Tak lama kemudian, ayah menggedor-gedor pintu kamarku sambil berteriak-teriak,  
“bangun-bangun, mimpimu sudah hangus terpanggang waktu.”

Penggoda

“Apa itu, yang sedang mengintai dari balik celana dalammu?”
“Aku tak menyembunyikan apapun milikmu pelacur!” Seru pemuda itu.
“Bukan milikku, tapi aku miliknya.” Lanjut wanita itu.

Dan pemuda itu; merobek-robek jiwanya.

Pramuria

Uang itu robek, saat membayar harga dirimu!

Memaksa

Mimpiku pecah ledak, terserak di tepian malam.
Salah satunya tertusuk di telapak kaki-Nya.
“Maafkan Tuan bila saya terlalu memaksa.!”

Betina

Saya masih belum mampu menulis tentang kamu
Beri saya waktu untuk membacamu terbalik

Tuhan, Ajar Saya

Tuhan, sekali-kali datanglah kemari.!
Ke taman bungaku ini yang penuh dengan pohon-pohon sunyi,
bunga-bunga karat, juga burung-burung bingung.
Sekedar bermain catur tanpa raja, agar tak ada menang dan kalah.
Atau minum dari pecahan gelas mimpi, kuyakin kita takkan mabuk sampai jatuh,
paling-paling hanya saling melempar kata.  
Tuhan, setelah itu ajarkan saya bagaimana memetik bunga.

Mata Dan Telinga

“Mendengarlah dengan Mata-mu”
Sebab matamu tak hanya satu, bukan juga dua
Melainkan lima
Dua diatas kepala, dua dibawah kakimu
Sisanya tepat ditengah-tengah jantung

“Melihatlah dengan Telinga-mu”
Sebab telingamu bukan hanya satu, tak jua dua
Melainkan tak berbatas
Dua padamu, lainnya tak terbaca..

Bunga Dan Belati

Dulu sekali, ia memang hanya seorang gadis kecil
Sedang Belati, sudah bermain dengan pisau dan pecah beling
Mereka bertemu di sebuah gereja mungil
Tanpa bicara, mungkin hanya tatap mata
Lalu pulang dengan segenggam kisah yang belum selesai

Sekian waktu berlalu,
Gadis kecil tumbuh serupa mekar bunga yang bercahaya selengkung pagi
Sekali waktu seekor kumbang hinggap sesaat lalu meninggalkannya
Dalam hati bunga remaja inginkan buah, panas hujan gugurkan impiannya

Sedang Belati,
Selalu bertaruh dengan waktu, bagai batu bergulir dalam rimba kata
Sering kali batu terlempar jauh, hingga hilang ditengah laut mimpi
Tetapi selalu saja kembali dalam doa ibu, dengan pisau dan layang-layang

Mereka lalu bertemu lewat udara, kata demi kata saling berjatuhan
Beberapa jatuh dalam hati, lainnya masih mencari arti
Sebuah belati kecoklatan dan sekuntum bunga cahaya
Kisah yang indah, tajam, wangi dan menyengat

Hari Minggu

Dari sudut jauh luar gereja
Kusaksikan deretan nada menguntai keluar
Melalui pintu dan jendela rumah-Mu
Dengan mataku aku mendengarkan kata-kata
Tentang kebisuan jiwa, doa-doa juga tentang dosa
Hingga cahaya hatiku begitu membatu

Suara Tengah Malam

Gadis mungil yang purnama itu
tiba-tiba saja muncul dari balik jendela kamarku.
Sementara saya sedang sibuk membebaskan mimpi-mimpi nakal
yang tersangkut dilamunan, si gadis lalu nyeletuk;
“Hus., dasar penyair  lebih gila dari orang gila,
Jaman sudah begini masih saja menulis puisi.”   

11 Juli 2012

Topeng

Ini topengmu, itu topengku, di ujung sana topeng dia.
Yang mirip topengmu ini topengnya, di bawah topeng yang lain.
“Loh, yang paling di atas itu topeng siapa.?”
   --Itu topeng Tuhan.

Tamu Penyair

“Selamat hari yang ceria saudara, boleh kita bertukar kata sejenak?” 
Sapa-nya pada si penyair saat datang bertamu.
“Masuklah, tak ada pintu bagimu. Telah kusiapkan kata-kata terbaik untukmu.”
Sang penyair menyambut ramah.

Di dalam, disuguhkannya semangkuk kata hangat yang beraroma senja belia.
“Mmm.. berkualitas tinggi, seperti madu rembulan. Mari, nikmatilah bersamaku saudara!”
Seru si tamu! Dan mereka mulai bercerita, hingga benar-benar hanyut dalam kata.

Dan kalian tau.!?
Mereka mabuk, karena terlalu banyak minum puisi.


Bersiaplah Kawan


Aku tak percaya,
sampai suatu ketika pohon besar di pinggir sungai, yang sejak dulu kokoh itu
tumbang juga, hingga akar-akarnya tercabut dari tanah.

Aku juga tak percaya,
hanya bermasalah dengan angin, buah-buahnya yang manis harus juga kulupakan
tempat anak-anak berteduh mengail ikan, kini tak ada lagi.

Aku masih juga tak percaya,
bahwa di seberang sungai sana, sudah ada villa-villa dan padang-padang golf.
kampung kita berikutnya: Bersiaplah kawan!

Dan kau tak-kan percaya,
sejak si kokoh itu tumbang oleh angin, angin tak lagi memiliki arah..

Dimana

Tidak masalah, bila aku harus belok di persimpangan jalan itu.
Simpang apa tadi katamu?

“Simpang sajak Tuan.! Nah dari situ berbeloklah ke arah barat, tiga ratus meter kemudian
ada gang Puisi di sebelah kiri jalan. Masuklah, orang-orang disana tua,
mereka akan melucutimu dengan mata telanjang, berjalan saja tenang, tunjukkan langkah syairmu.
Diujung gang itu adalah terminal. Terminal Kata namanya. Tanyakan saja disitu.
Mau kemana tadi arahmu?”
--Ke Surga..

“Kalo Surga kelewatan bung.! Ini sudah terlalu jauh, tak ada langit lagi disini.”


Makan Malam

Kau, piring, garpu dan pisau 
berada di atas meja yang sama. Sama-sama lapar.
Hingga ketika malam tiba:
--Piring bertanya; apa yang bisa kita santap sekarang?
--Garpu berkata; biar aku yang menikamnya duluan.
--Pisau bilang; siapa yang akan menyantap daging ini?
--Lalu kau menjadi risau, seperti menunggu, di meja waktu.

Penyair Itu

Di sebuah pasar yang sepi, aku bertemu penyair itu.
Wajahnya pucat berkarat, dihiasi senyum yang hangat.
Dengan seikat sajak di tangan kirinya.
Segenggam mimpi di saku kanan celana.

Tatap matanya seruncing pensil yang di serut waktu.
Kata-kata di sekelilingnya, menyusun maknanya sendiri.
Di seluruh tubuhnya seperti sebuah cermin.
Memantulkan cahayanya sendiri.

29 Juni 2012

Percakapan Tentang Hari rabu

hey, Rabu..
simpan dulu yang menurutmu tabu, 
yang aku butuh hanyalah abu.


"dasar Rabu.!
aromanya selalu baru,

tapi tak pernah ganti baju.!"


iya, memang Rabu..! 
awalnya pemalu, lama-lama jadi pecandu!

"begitulah Rabu, suka main sabun.
hobinya naik perahu, memadat sepanjang waktu.!"

Percakapan 2

jadi, beginilah kita. aku menjadi cahaya dalam sepi, 
sedang engkau; kekasih paling setia sebelum puisi.


"ah tidak, tidak..
mungkin saja sebaliknya."


mungkin saja, dunia memang sudah terbalik!

"dibalik dunia! ada pak Tua 
yang sedang menimbang-nimbang Waktu.
berteman sebungkus kata dan secangkir puisi.!"

Percakapan

memoriku berhamburan,
remahnya terhisap paru-paru,
sampai lalu tangisku pecah;
dalam kepala kupeluki mereka satu persatu.



"hatikupun retak kawan, cahayanya pecah padam
bunga-bunga tampak layu pada pucuknya
sedang malam mengikatku erat.."



Percakapan Dua penyair 2

tabahlah sedihku, sebentar lagi pedihmu akan berlalu; 
aku, yang sedang mendustai rindu.. 

"engkaukah itu.?
yang melesat di setiap mimpi-mimpiku."

aku hanyalah aku, 
berkelana lewat pikiran-pikiran dan imaji saja.
tidak melesat meninggalkanmu.

"Aku berkelana mencarimu dalam sunyi, 
arungi imaji tak bertepi. 
Dan yang kutemukan hanya cermin tua disemak belukar.."

rindu itu bosan. dipersalahkan, diperalat. 
dia menghilang selama-lamanya. tak berjejak. 
semua orang kelimpungan... 

"rindu itu buah, ditunggu sampai masak dipohon.
yang tak sabar makan mentah..
yang sabar kalah cepat dgn pencuri.." 

Percakapan Dua Penyair

Soreku adalah air panas di dalam cangkir bening. Pucuk-pucuk teh menari dan mewarnainya.
Soreku adalah teh hangat di dalam cangkir bening. Jasmine merasuk dan memberinya aroma.
Soreku adalah cangkir bening yang kosong. Itu saja..

"Sore itu, sebatang rumput bercerita tentang cangkir kosong yang dibuang tuannya.
Si tuan marah karena isinya yang tak lagi manis.
Hingga suatu saat cangkir itu ditumbuhi sekuntum bunga mawar.
Semenjak itu, si tuan tak pernah lepas dahaganya.
Itu dulu.."


ah, mengingatmu serupa bumerang, 
selalu kembali pada kepedihan yang telah kukenang, 
sebagai bahagia yang telah menghilang..
cepat pulang..

"untuk sementara saya hilang arah kawan, 
jejak terhapus dan lupa jalan pulang. 
serupa bumerang yang tertabrak dahan, patah disatu sisi. 
kelak nanti, seorang wanita cantik akan menemukannya 
dan membentuknya menjadi baling-baling. 
hingga bebaslah saya kesana-kmari."

28 Juni 2012

Politik bola

Saya tau kawan,
Tentang politik diujung sana
Mereka saling melempar waktu

Kalau saja waktu seperti bola
Negara kita pasti pemenang piala dunia

Takutku

Aku tak pernah takut
Biarpun merah nasibku
Bahkan berdarah kakiku

Yang aku takut
Sunyi tinggalkanku, dan
Kekasih baru tak hampiriku

“Bukan maksudku berkeluh kesah
tentang cinta diujung sana! Tetapi,
sudah waktunya, langkah ini dituai..”

26 Juni 2012

Nasib

hey,.. siapa yang mengambil  nasibku.?
Padahal tadi pagi kujemur disamping pohon mangga.

Semalaman saya jalan-jalan keliling kampung.
Mencari puisi di tempat-tempat sepi.
Tapi, berhubung malam minggu, tak ada puisi kutemui.
Paling-paling, hanya beberapa kata tak lengkap., disela-sela keramaian!
Malahan, turun hujan tepat ditengah-tengah malam,
nasib.., nasib.!

Karena itu nasibku jadi basah,
dan entah kenapa aku pulang sempoyongan.
Apalagi aku lupa jalan pulang, terpaksa tidur di emperan.

Setelah pagi, aku pulang, cuci nasib,
lalu kujemur bersama celana dalam.
Siangnya nasib hilang, sorenya!
kutemukan koyak di tempat sampah..

Kehilangan

Aku kehilangan doa
Yang kupungut dari halaman gereja
Mungkin sudah nasibku
Karena sering mengukur waktu

Ahh., Maaf

Kau masih mengingatku
Angin beku yang mengganggu tidurmu
Aku masih mengingatmu
Bagai kunang-kunang dalam mimpimu
“ahh maaf.,!!
aku terlalu memaksakan kata malam ini.”

Sayap buatan ibu

Ibu selalu menjahitkan doa untukku.
Sebelumnya, ibu akan mengukur tubuhku.
Sebelumnya lagi, aku harus telanjang,
 “supaya pas doa yang akan kubuatkan,”
kata ibu!
Sesudahnya, aku akan mimpi sepanjang waktu.
Terbang dengan sayap buatan ibu.

Si Nasib

Ayo maju bangsat,.!
Semakin suram kau bawa aku
Semakin kuat aku berontak
Dan makin keras aku terbahak..

Pencuri

mencuri kata tak lebih buruk dari sekedar pencuri
tetapi, silahkan saja bila itu untuk bertahan hidup 

Tunggu saja

bila tiba waktu ajalmu Pinorbo,
Damono.! Maka, waktunya bagiku meracau..

Penyair

Hantumu hantuku juga
Tuhanmu belum tentu Tuhanku

Pejuang Syair

darah itu merah penyair.! dan bau anyir..
dimataku.,
anyir seperti syair.!
dan merah adalah sajak. 

Dikutuk

Aku bersembunyi disemak-semak bulan
mengintip bumi yang sedang mandi
Tuhan marah dan mengutukku, “bimsalabim
jadilah engkau sekedar bunga.!”

Terjaga

Malam ini aku kehabisan kata
tak mampu menemukan puisi
tetapi satu buatku tetap terjaga
yang kuharap bukan Sunyi..

Apulia

ada apa penyair?
Tengah malam bolong
Menggedor-gedor pintu sunyi
Ada galau disitu?
Atau? Kau sedang rindu?
Pada kekasih yang telah lupa?

13 Juni 2012

Melayang

aku sedang melayang
melupakan badani
sangat tinggi 
hingga mampu melihat dunia
dari segala arah

kurasa
ada yang salah
entah putaran bumi
atau karena
asap dunia yang meresap
atau mungkin
karena hujan semalaman

Sayang, Ijinkan Aku


Puisiku sayang, ijinkan aku
untuk menyentuh bibir mungilmu
dan meremas bokong seksimu

agar tak ada lagi rahasia
yang tersembunyi diantara buah dadamu

bila senjataku terpaksa menikam
aku akan melepaskan bibit terbaikku

agar kelak nanti lahirlah sajak-sajak gagah
yang berlarian di halaman-halaman buku

Kunang-kunang Dalam Tidurmu


Sebentar lagi aku akan tiba di pucuk matamu
Lalu jatuh di halus pipimu, hinggap dilumat bibirmu

Kemudian aku akan merangkak dari lehermu
Perlahan penuh tegang menuju puncak dada itu

Lalu aku akan meluncur bebas
Mencucupi  lautan hangat tubuhmu

Sementara kau sedang diujung nikmat
Dan mengharapku masuk ke ruang rahim itu

Aku telah kembali,
Menjadi kunang-kunang dalam tidurmu 

Gadis berjubah malam


Gadis berjubah malam
Jual suara dibawah rembulan
Mimpinya tak besar
Hanya cukup untuk makan

Binatang malam sering memburunya
Membawa tombak dalam celana

Gadis berjubah malam tak pernah menyerah
Dipersenjatai dirinya dengan karet sarung tinju

Gadis dan binatang jadi sering berkelahi
Gadis demi makan, binatang demikian

Pengembara Kata


Sudah sangat lama si pemuda mengembara
Naik turun gunung, sebrangi lautan demi untuk mengasah kata

Kata selalu melekat di pinggangnya, untuk mencari kayu
Berburu binatang, mencukur bulu-bulu di wajahnya

Kata sia-sia tanpa pemuda itu, begitpun sebaliknya
Mengembara sia-sia tanpa kata yang diasah tajam

“suatu hari nanti akan kulepaskan kata dari pinggangku,
sebagai tanda usai sudah pengembaraanku
dan kutancapkan kata diatas buku.”

“apabila sudah tiba waktuku
aku akan memotong nadiku dengan kata.”  

Rayuan Sunyi


Sunyi tak pernah menyerah
Memaksaku tidur satu ranjang
Tapi aku takpernah mau
Meskipun itu dengan imbalan

“Aku akan membayarmu dengan cinta
Melebihi cinta bidadari, bahkan kugandakan
Dengan tubuh molek Cleopatra,” rayu Sunyi.

 “maaf, hatiku sudah kandas dan tak bisa lagi digoyah.”
Aku tetap menolak, karena sudah intim dengan Sepi
 : Saudara kembar Sunyi

Doa Ibu


Ibu.!!
Aku sekarang sudah gagal
Gagal menjadi orang gagal
Itu berkat doa-doamu.!!
Ibu.!
Kau ingatkah ketika anakmu bermain lumpur dulu?
Seluruh tubuh menjadi kotor, dan kau
Membilasnya dengan air mata

Ibu.!
Ibu masih ingat ketika anakmu bermain lempar Waktu?
Dan Waktu melayang masuk kedalam lubang jalanan
Hingga ibu bersedih, melihatku terjun bersama Waktu
Ibu.!
Saya masih ingat, ketika kau menamparku dengan doa?
Doa yang sekeras lutut kaki, doa dimalam suntuk
Awalnya sakit sekali bu, tapi lama-lama jadi candu

Tapi ibu, sekarang anakmu gagal lagi!
Kali ini gagal menjadi orang gagal
Doa-doamu sungguh mujarab bu!
Selalu kubawa dalam saku
Kuminum tiga kali sehari

Pengembara


Seorang pengembara sedang duduk-duduk dibawah pohon pinus.
Sekedar melepas lelah dari sunyi yang memburunya.
Sambil beristirahat, hayalnya melayang tak menentu.
Ada yang tersangkut di daun-daun,
ada yang terjatuh kedalam botol minuman dibawah kakinya.
Dan banyak yang terbang melesat bagai peluru. 
Entah kemana ia pun tak tahu!

Hari itu matahari sedang menggantung di cakrawala.
Angin yang semilir memeluk tubuhnya bagai kekasih.
Hingga terlelaplah ia bersama bayang-bayang pepohonan.

Dalam tidurnya ia memimpikan sang ibu.
Ibu yang sedang memasang kancing bajunya ketika masa kecil.
“kalo besar nanti kamu mau jadi apa?” Tanya ibu.
“jadi burung bu,” jawabnya.
“Kenapa burung anakku,?” Tanya ibu penasaran.
“aku ingin melihat dunia dari segala arah!”
Jawabnya sekenanya..

“kalau begitu ibu akan menjadi langitmu, dan menjaga sayap-sayapmu.
Walaupun kau tersesat nanti, ibu akan selalu mendoakanmu.
Agar kau tak lupa jalan pulang.” Jawab ibu dengan mata berkaca.

Dan ketika malam melompat masuk dari rimbun pepohonan
Pengembara terbangun, menemukan kotoran burung
yang sudah kering  menempel di dahinya.
“ah, rupanya ibu sudah rindu, hingga mengecup keningku!”  

Uban


Uban yang dulu penyendiri, kini mulai berontak
Makin hari pengikutnya makin banyak
Mereka sering mengadakan rapat, merencanakan sesuatu

“kampung kita mulai tak nyaman, kutu-kutu makin tersingkirkan
Tumbuhan sudah tak rimbun lagi, mari kita berjuang untuk kemerdekaan.”
Pemimpin uban berorasi!
“Merdeka..merdeka..,” sahut para pengikutnya!

Tak lama setelah itu, kampung uban terkena musibah
Pohon-pohon rubuh, binatang-binatang terpanggang matahari
Dan uban-uban kembali kerdil ,. 

26 Mei 2012

Penyair tanpa tanda jasa

Tidak peduli orang mau bilang apa
saya tetap saya, penyair tanpa tanda jasa.
Kutak-kutik kata jadi makna
aduk-aduk makna jadi kalimat.
Kelak nanti akan datang polisi kata
yang mengurungku dalam buku..


Gadis Beruntung

I
gadis, sorot matamu sungguh tajam
tapi tak kunjung kau menikam
sedangkan Api tak ingin padam
II
gadis yang dulu mencuri itu
kini kembali beraksi; hendak membakar dadaku
gawat, kapan Aku bisa menyekam hatiku!
III
jangan..!!
jangan padamkan yang telah menyala
karena Cahaya: kita semua butuh
IV
kalau sudah tiba waktunya
katakan saja lewat isyarat bibirmu
sebab yang beruntung kau; sedangkan aku?
hanya Spesial bagimu; atau mungkin
semua sebaliknya!!


Balada Bandar

I
Bukan tak ada lagi peduliku Ja.!!
Hanya saja lelah menampar nyaliku.
Sedangkan mimpi masih menatap arahnya.

Jalan keatas semakin berliku Ja..!!
Batu-batu makin besar menghadang.
Kau tau aku mampu, tapi tak bersamamu.

Ja.. pergilah dulu, tinggalkan saja aku..
Lupakan cerita kita yang lalu, aku mulai muak Ja.!!
Biar aku saja yang akan mencarimu nanti...

Jangan marah ya Ja..,
Situasi sedang mengincar kita Ja..
Selamatkan diri sendiri.
Walau tertanam tumbuh di hati,
tak perlu kau ingat aku lagi...

(dan ia pun pergi, membawa setumpuk setoran)

II
Siapa lagi itu Ja.??
yang kau ringkus seperti pencuri
kau ikat dengan sunyi, tuk menghitung jeruji

Mereka hanya sahabat ja.!!
yang terhimpit hari-hari tak pasti
membongkar nasib, tuk disusun kembali

Mereka semua teman Ja.!!
yang penuh dengan tanyanya sendiri
hanya ingin menghibur diri, melabuhkan mimpimimpi

Ja., kelak nanti
kau akan tau tentang segala warna
bukan lagi hitam dan putih yang mulai pudar

Segala warna ja...
warna pelangi kehidupan

(kau tetap diam berselimut kain kavan)

III.
Ganja selalu merindu saudara!!
Klik, terbakar. Asap membumbung mengudara
Api menjadi abu, tawa membara
Ketenangan yang sungguh sempurna
Seperti percintaan di musim penghujan
Petualangan imajinasi ruang dan waktu
Mempertaruhkan mimpi dan kenyataan

Bayangan


Bayangan menarikku keluar rumah, katanya
“Di luar aku lebih tampak lebih gagah, ayo kita jalan-jalan kearah barat.”
Aku dibawa ke pasar, ke restoran, ke pegunungan, ke sudut-sudut halaman
Lewati pekuburan, gang-gang sempit, di antara gedung-gedung, membuntuti burung-burung
Sampai ketika siang lewat, giliranku yang memimpin di depan

Aku menyeretnya kearah pantai, tempat yang paling kusuka
Tapi, sesampainya disana ia malah mengajakku pulang. Katanya
“Aku takut bang bertemu senja, dia sering menatapku dalam-dalam dan lama
Kemudian memelukku dengan sunyi, lalu membawaku pergi bersembunyi
Pulang saja bang, lebih baik habiskan waktu di jalan, penuh warna-warni.”

Aku tak mau di perintah bayang-bayang
Aku juga tak mau kehilangan bayang-bayang
Saat senja datang, kuijinkan bayangan bersembunyi di belakangku
Kemudian senja menatap mataku dalam-dalam, memelukku dengan sunyi
Diam-diam bayanganpun masuk ke dalamku, dan senja bersembunyi dibalik gelap

Balada di balik jeruji

I
Kau sungguh sahabat bagi jejak langkahku
Bahkan saat terhempas oleh waktu
Walau terkikis jiwa, tenggelam dalam tanya
Melangkah pasti, menapak pada luka membuka

Kau tatap aku dengan arah menantang
Hiraukan jarak yang seakan mati sementara
Ya.., sementara bagiMu
Tapi bagiku,
jarak hanya ilusi dalam dunia tirai jeruji

Hanya bagiku;
Menghitung satu persatu kata yang datang penuh makna
meski terkurung di antara cerita perkara
Menorehkannya pada dinding-dinding sunyi yang menjulang
hingga terlelap dalam keheningan tertinggi

Entah apa menanti siapa?
Ada ekor ada kepala, pintu masuk juga pintu keluar
Begitu semboyan disini
Penuh dendam pada jarak dan waktu

Jangan hitung setiap tetesan doa dari mimpi buruk ini
Menunggu lembar demi lembar angka berganti
Satu persatu sahabat berpaling, saudaraku hanya langkah
Dan kawan-kawanku kini, tak mungkin lagi kau kenal

Entah siapa menanti apa?
Langkahku diantara petapa

II
Berapa lamamu saudara?
“tak mungkin kau hitung”
Siapa temanmu saudara?
“tak ada yang ingin mengenalku”
Kenapa ada disini saudara?
“sama seperti dirimu”

Kami bersama dalam keheningan tak bertepi
Sekilas mimpi-mimpi melesat, tapi tak mampu lagi diraih
Kami tertawa karena tersayat hari-hari bersama
Ketika malam tiba, kami kembali tak bertepi

Siapa namamu saudara?
“bukan siapa, tapi apa”
Apakah kau saudaraku?
“bukan, aku penyesalan, hukuman bagimu!”

III.
Rinduku;
Memandang terbit matahari
Ketika lengkung cahayanya berlari-lari di lautan luas
Tenggelamkanku dalam kehangatan pagi
Rinduku;
Cericau burung diantara lalu-lalang udara
Membentuk nada harmonis diantara kemilau dedaunan
Basuhkan luka mata dan telinga
Oh jemari;
Kepadamu kuserahkan hari-hari diam yang mengakar
Untuk menyusun gugusan bintang di angkasa malam
Agar jiwa ini melayang sebebas tarian kata telanjang

IV
Bapa,
Aku hanya diam berteriak
Senyap dalam hening halilintar
Terbelenggu luka kebebasan
Bapa,
Aku sedang padam membara
Menghitung doa-doa lama
Mencium keningMu; saat jatuh berdarah

25 Mei 2012

Gabriel (Malaikat kudus dari Surga)


Gabriel namanya,
Tak sempat melihat dunia,
Menjadi bunga di tanah tandus,
Jawaban akan doa-doa kudus.

Matahari tak sempat menyapa tubuh mungilnya,
Waktunya yang singkat tak sempat menjadi buah yang matang,
Pemberian yang indah namun tak sempat memberi warna pada garis-garis pelangi,
Pada lengkung-lengkung senja, pada sinar bulan yang seharusnya menuntunnya ketika malam.

Ia datang kedunia sebelum waktunya,
Karena itu alam raya menolaknya,
Diserahkannya kembali kepada bumi untuk disemai,
Menunggu waktunya untuk kembali bereinkarnasi,
Menjadi sesuatu yang tak terkatakan oleh sekedar manusia,
Karena ia adalah malaikat bagi ayah ibunya..

"Gabriel,.!!  
Bukan maksud kami tak mengijinkanmu,
untuk tumbuh berkembang dalam kasih sayang,
untuk belajar jalan dengan tuntun kami,
untuk berlari mengejar kupu-kupu di taman mimpi,
menjadi buah manis dari pohon anggur Tuhan,
sebab kami pun manusia, yang tak sanggup memberi nyawa.

Tetapi,.
Biarlah kau tetap menjadi Engkau, Sang Malaikat Kudus dari Surga.

Kepala Penyair


semakin hari semakin
menumpuk abu di asbak kepala
waktu yang dibakar sunyi
terbangkan sisa-sisa asap mimpi
tertinggal di langit-langit jaman

Malam Bagiku


Begitulah malam kawan,
kadang berbunga-bunga, 
kadang penuh bisa dan taring.
Namun seringkali tak bertuan.!

Rindu tak sampai


Aku sering mengirim rindu untukmu, sayang.!
dari batas awan tempatku mendulang sepi.

Menerobos pohon-pohon beku, 
telusuri gunung-gunung angkuh,
seringkali terjebak diantara senja dan adjan magrib.

Lalu melesat dan angin membawanya jauh ke atas.
Hingga melayang rasa jiwaku..

Kemudian, ketika hujan tiba..
Tiba-tiba saja aku terasa ditaburi ribuan balasan rindumu.
Rindu yang sungguh hangat dan jujur, wangi penuh warna.
Hingga berbunga rasa jiwaku.

Tetapi, ini seperti rindu yang selalu kukirimkan kepadamu. 
Sama persis, bagai cermin?
Hingga akhirnya aku tau, bahwa ini adalah rinduku sendiri.. 

Melawan Rindu


waktuku tak mampu membalas,
setiap kata-katamu yang menikam,
sebab situasi mengikatku erat.

setidaknya, aku tetap melawan.!!
setiap terjangan rindumu..


                                     

Pernahkah Kau?


Kau dan aku selalu sama kawan,
 : nikmat didekap sunyi dan begitu dicintai malam.

pernahkah kau memuja-muja bulan sahabat.?
saat aurat sunyinya benar-benar intim memelukmu,
mencucupi tubuhmu hingga ke daerah yang paling rahasia.

dan tanpa sadar kau telah terbujur kaku.!
sementara Bulan,
 : meninggalkanmu bagai pelacur..

Namun kau masih nikmat,
berburu sepi bagai binatang..


                                                                   --Oik Jonathan--

Setiap sayatanmu adalah warna (Oik Jonatan)

Jiwaku kini mulai luntur, Sahabat..
Kata-kataku tak lagi terdengar nyaring
Seringkali hayalku memberontak jaman
Namun situasi mengikatku erat

Dan kau,
terus menikamku dengan kata
yang selalu kau asah dalam sunyi
hingga seruncing taring malam

Tapi,
setiap sayatanmu adalah warna
yang mampu melukis kembali
jiwaku yang tampak pudar..

19 April 2012

Suara

-kesunyian adalah milikku, dan tak ada yang bisa meredamnya--

Ampas Kopi

akulah ampas kopi,
yang kerap kau sesap,
disetiap harimu yang hitam..