21 Desember 2009

Setelah Hujan

udara malam yang pekat begitu tenang menyimpan rahasia hujan
tentang cericau burung esok hari, tentang warna wangi lengkung pagi
tentang putaran jari-jari waktu, tentang keceriaan anak-anak remaja

setelah dimandikannya sisa-sisa cahaya yang penuh sesak
setelah disapunya semua jejak bersama hujan

“ah.. brengsek!
aku jadi lupa jalan pulang”

Desember Ini

Desember ini tak ada puisi untukmu,
sayang...
Hanya beberapa kata yang terlintas
begitu saja.
“Seekor merpati terbang rendah.”

Kurasa itu cukup, walau tak tau
kepada siapa syair ini kutuju.

Hanya Kata

Kata-kataku menabrak langit dan masuk rumah sakit
Jantungnya melemah, kata dokter lukanya parah
Bicaranya tak lagi memiliki suara, hatinya penuh darah

Sahabat-sahabat menjenguknya
Para penyair mengirimkan bunga
Kekasihnya hanya duduk dan berdoa

Di nafas terakhirnya ia menulis sebuah puisi:
“Tadinya, ingin kuruntuhkan langit untukmu
ingin kuambil cahaya itu, untukmu
Tapi aku hanyalah kata, yang melanggar lampu merah”

18 November 2009

Si Hati Besi

Gadis, sudah sering ku kirim gerimis di pintu kamarmu
bunga-bunga mekar di halamanmu dan cahaya senja yang jingga
Ada juga kata-kata mungil yang purnama dengan sepotong hati tanpa nama
Tetapi,
kenapa kau simpan dalam kulkas itu, dalam lemari dari cairan besi itu

Kapan hati itu akan kau cincang, kau potong-potong seperti acar, lalu
kau masak, kau rebus jadi seikat kembang mawar
Atau kau masih akan terus menunggu, sampai
kata-kata menabrak langit dan masuk rumah sakit
(**)

Tukang

Di Negara ini ada tukang sihir, tukang cuci dan tukang tidur, lainnya tak masuk hitungan
Tukang sihir kerjanya menyulap uang, tukang cuci kerjanya menyetrika kotoran
Tukang tidur kerjanya menulis puisi, lainnya menghitung posisi

Hukum

Di kepala Jaksa yang bertubuh kerdil, ada jalan ke kanan yang lurus dan penuh lumpur
Di kepala Pengacara tampan tapi telanjang, ada jalan ke kiri yang berkelok-kelok
Di kepala Saksi yang buta, ada mulut bercakap-cakap bohong
Di kepala Terdakwa yang kemaluannya besar, ada kesal, bukan sesal
Di kepala Hakim yang jenggotnya bekas terbakar, ada rakyat membawa senjata hampa
Tapi, kenapa kau seperti tak memiliki kepala?

Indonesiaku Ingin Menjadi Kupu-Kupu

sayap-sayapnya mulai keluar, sudah waktunya dewasa
keluar dari cangkang, dari kepompongnya yang sempit
dan terbang, terbang menjadi Kupu-kupu

Penguasa Masih Buta

Hei penguasa !!
Tak getar juga lututmu kini, ketika tercium bau bangkaimu di hadapan Mahkamah
Ketika warna jubahmu mulai pudar, hingga hampir saja kau tampak telanjang
Dengan kemaluanmu yang besar dan kau bangga-banggakan

Kami, telah lama menunggu
Saat-saat langit terbuka perlahan dan menampakkan cahayanya
Cahaya sebenarnya, yang bersinar masuk menembus ke ruang sidang
Ke ruang rakyat, juga ke ruang Agung

Kami tak mau terang itu sementara
Sebab jiwa sudah lapar, sudah pekak juga telinga, bosan akan negeri
Yang menumpuk sampah-sampah, yang kami bakar diam-diam
Yang kami daur diam-diam

Kamu, aku, juga mereka harus mau
Bahwa dunia telah berubah warna, kulitnya mulai terkelupas dan terbakar
Karena waktu telah makin dewasa, suara semakin lantang, dan bendera harus berkibar

Dan Indonesiamu, juga Indonesiaku
Mulai keluar dari kepompongnya
Untuk menjadi kupu-kupu

Demi Negeri

Tangan-tangan kami terbakar tuan
Kobarkan semangat muda ini, demi kerangka-kerangka tubuh Negeri
Yang kurus hatinya, penuh luka suap, bohong bernanah, dan buta saat berjalan
Tangan-tangan kami juga terbuka tuan
Untuk hujan diluar sana, yang turun menyirami tubuh Negeri
Yang kotor, penuh noda, selain gagah dan kuat
Tangan-tangan kami masih disini tuan
Memberi arti pada diri

Mafia Peradilan

Kejujuran di tangan jaksa, pengacara ikut skenario
kebenaran ada di tangan hakim, tapi yang menang
tetap yang punya uang

Lukislah Negeri

Negeri ini bukan tempat sampah, penyair!!
Bukan cuma untuk caci-maki saja
Negeri ini seperti selembar kanvas, penyair!!
Yang bebas kau lukiskan

Indonesia Anakku

Pagi-pagi sekali Nesia sudah terbangun, tak biasanya
Seperti ada yang sedang mengganggu dipikirannya
Setelah berdoa, bereskan kasur mandi makan
Lalu, bersiap-siap untuk pergi entah kemana
Dengan membawa daftar belanjaan dari ibu berangkatlah
Nesia, entah kemana. “Pamit bu..,” katanya
“Hati-hati di jalan sayang..,” kata ibu

Dalam daftar belanjaan ada ditulis;
Jangan kemalaman, sayur kangkung tiga ikat, dewasa
Berantas korupsi, hapus kemiskinan, damai bawang putih
Jujur cabe rawit, tomat merah benar, maju dan berkembang,
berpendidikan, senja warna-warni, makmur dan bersatu

Nesia kini masih berjalan entah dimana
Entah kemana daftar ditulis, demikian pula jalan dicarinya
Dan sepeda waktu yang biasa dikendarainya, juga entah kenapa

Tetapi, Ibu Nesia yang pertiwi
Tetap setia menunggu Nesia pulang
Dengan belanjaannya ataupun tanpa apa-apa

Bayangan

Bayangan menarikku keluar rumah, katanya
“Di luar aku lebih tampak lebih gagah, ayo kita jalan-jalan kearah barat.”
Aku dibawa ke pasar, ke restoran, ke pegunungan, ke sudut-sudut halaman
Lewati pekuburan, gang-gang sempit, di antara gedung-gedung, membuntuti burung-burung
Sampai ketika siang lewat, giliranku yang memimpin di depan

Aku menyeretnya kearah pantai, tempat yang paling kusuka
Tapi, sesampainya disana ia malah mengajakku pulang. Katanya
“Aku takut bang bertemu senja, dia sering menatapku dalam-dalam dan lama
Kemudian memelukku dengan sunyi, lalu membawaku pergi bersembunyi
Pulang saja bang, lebih baik habiskan waktu di jalan, penuh warna-warni.”

Aku tak mau di perintah bayang-bayang
Aku juga tak mau kehilangan bayang-bayang
Saat senja datang, bayangan bersembunyi di belakangku
Kemudian senja menatap mataku dalam-dalam, memelukku dengan sunyi
Setelah kubiarkan bayangan masuk ke dalamku, senja pun bersembunyi dibalik gelap

Kekasih Hujan

Hujan, aku tau kau dendam pada matahari yang serakah
aku tau rindumu menggebu pada rumput dan bebatuan
aku juga tau kau ganas bila sedang marah
Hujan, sabar ya, jangan emosi
nanti cintamu sedih dan pergi

Hujan, kamu kok ajak-ajak Banjir sih?
Kan orang-orang tak suka padanya
Kalo ngomong suka besar, berlebihan
Suka bikin mecet lagi, bikin sebel

Hujan, denger gak sih.!
kalo kamu gak bisa dibilangin
Ya udah, kita putus..

Curhat Kemarau

Ketika itu hujan berlari-lari kearahku, ingin mengatakan bahwa gadis itu butuh gerimis
Karena senangnya ia terpeleset sebelum sempat turun
Kepalanya benjol hingga amarahnya menjadi berbondong-bondong
Sepertinya ia gegar otak, karena itu muntahnya membabi-buta
Sejak itu, kami berjalan sendiri-sendiri

Jujurkah Penulis

Penulis memang harus jujur
Hanya saja, seberapa jauh kau mampu
memahami kejujuran itu

29 Oktober 2009

Sajakmu

seperti matahari melangkah cakrawala
menatap bumi di angkasa raya. Cerah
adalah kata yang menyala-nyala

Ingin Itu

Aku ingin miliki itu
Dimana liuk sungai itu, yang tiada henti
Seperti bara gunung itu, yang api abadi

Aku ingin miliki itu
Yang warna biru itu, seperti selimut angkasa
Seperti bunga itu, yang indah tak bersuara

Aku ingin itu
Ketika kemarau yang terlupa musim itu
Seperti milik kau itu, yang menunggu disitu

Langkah Kemarau

Pegunungan, tebing-tebing, tempat kemarau melangkah
Tanah basah, ladang-ladang rerumputan, batu-batu tinggi
Arus sungai hingga pesisir pantai

Getah pinus dan wangi cemara membeku di kulit kayu
api malam yang menyala membakar sunyi kelana
Batu andesit sangkar elang, tali tinggi terpasak mati
mengikat jiwa yang tualang dengan cinta yang sederhana
Deras air menuju hulu, seliuk pinggul ratu sejagat
mencium wangi gerimis senja di muka muara yang bertemu

Dan masih
Kemarau masih melangkah

Saat Fajar

Harum angin dari timur
Hinggap di pucuk daun pandan
Wanginya.! Sewangi bunga matahari

Doa Kemarau

Di rentan musim ini, juga di sudut waktu ini
Ketika malam sedang mengigil. Gerimis doa jatuh merintik

Sejak kemarau itu
Aroma bumi tertidur, warna bunga tertunduk
Sejak kemarau yang keras itu
Udara malam berlarian, luka-luka pohon terkelupas
Sejak kemarau yang lupa itu
Uap air mengancam lagi. Dari balik awan yang teduh

Di garis-garis cahaya yang purnama
Lolongan doa merambat udara
Kepada hujan yang menatap liar
Dengan taringnya yang menyala

25 Oktober 2009

Di Taman Bunga

I
Aku tau kau indah
Kau juga tau aku pecinta
Tapi waktu belum memihak kita
Apa itu salahku?
Ingin ini ada, untuk memetikmu
Kurasa kau juga tau disitu
Tapi, kenapa ada ragu-ragu
Apa itu salahmu?
Pikirku, bila dipetik, apakah kau mau, dipandang setiap saat
Disentuh setiap pagi, disiram setiap sore, dikecup setiap malam
Jujur saja, warnamu unik, dan aromamu semerbak

II
Di tamanku ini tak ada bunga, yang dulu itu sudah layu, kusam
Bukan tak pernah kusiram, tapi, karena tak tahan cuaca
Dan kemarin, sudah diambil orang, mau dirawat katanya
Ditanam lagi, dipupuk lagi, untuk dikawinkan dengan bunga impor

Tapi kau, seketika saja tumbuh tanpa terpaksa, mengagumkan pula
Tak pernah kulihat yang sepertimu, bertangkai panjang, sedikit berdaun
Kelopak-kelopakmu tersusun rapih, meskipun tampak berduri, tapi anggun
Jujur saja, siapapun tak-kan mampu mengabaikanmu

06 Agustus 2009

Angin

Angin datang, meringsut masuk
melalui celah-celah jendela.
Merayapi dinding-dinding udara. Hening.
Tak ada suara.
Selimuti seisi ruang. Dari sepi yang menggigil.

Berapa

“berapa waktu, harga cinta itu Bang?”
Yang mana?
“yang warna merah jambu.”
Setengah kali waktunya.
“kapan tibanya?”
Ketika datangmu.

“kalau cinta yang biru berapa?”
Tiga puluh waktu.
“agak murah!”
Yang itu bekas.

Penyair Jalanan

Di jalan yang tampak lenggang, ketika terik lapar membayang-bayangi.
Ia terlihat sedang mengorek sampah di belakang sebuah toko buku.
“apa hendak di cari tuan?” --Kau bertanya.

“Sebait sajak; hanya sebait saja; sudah cukup untuk hari ini.”

Galau

Sebenarnya telah kutuliskan sajak cinta:
Untukmu, bukan, untukku, bukan
“lalu untuk siapa?”
Pembaca, pendengar
“apa ada ?”

Tapi aku telah lupa apa itu cinta
Kau mau, ingatkan dia
“kenapa dia?”
Dialah sajak itu
“dimana?”
Di bait pertama

-Sekepal Duka Untuk Teroris-

Kau..
Kembali menoreh luka
Luka dalam dan di tempat yang sama
Juga luka bagi dunia
Kau.
Bermain dengan duka
Duka lama dan kau ulang kembali
Yang meledak di jantung pagi
Kau..
Ingin kupinjam matamu
Untuk kuletakkan pada dada yang terluka
Agar kau, kenal juga duka
Kau..
Menjadi bagian dari semua ini
Yang menggetarkan Jakarta lagi, Kuningan lagi
Kuacungkan sekepal duka


-Bom di JW Mariot dan Ritz Calton -

Rayuan Rumit

Aku ingin mengenalmu, seperti kau ingin mengenalku
Tapi kenapa tampak begtiu rumit
Baiklah, kucoba ungkapkan lewat puisi
Dari sisi pandangku

Kau:
Sepasang burung perkutut diatas loteng
Suara anak-anak kecil bermain di taman
Kendaraan bermotor lalu-lalang
Aku:
Satu dari tersisa, dengan gerimis di hati
Mengetuk pintu cahaya, antarkan bunga padam
Terbakar di kepala, duri retak menyala

“Ah., dasar pemabuk. Terlalu banyak minum puisi.”

Pertengkaran

Aku dan puisi pernah bertengkar, tentang apa yang harus berlari.
“Kaki,“ kataku, “jari,” katanya!
Kami terkadang tak searah dalam berpandangan, berbeda sisi.
Hingga suatu hari ketika ia sedang sekarat, aku terpaksa menyetujuinya;
bahwa yang berlari adalah jari.
Ia pun menjawab, “masih bodoh saja kau, kakipun memiliki jari.
Hanya saja aku tak memiliki kaki.”

Kutikam Puisi

kuasah kata-kataku perlahan penuh dendam
hingga runcing dan mengkilap; tapi untuk apa?
--ingin kutikam puisi

kenapa?
-disetubuhinya jari-jariku-
-kau siapa?-
aku ibu puisi
-ah, biar kusetubihi kau-

Komet

tentang sebuah komet yang melompat bagai cahaya
kutangkap dengan mata telanjang, sedetik saja
kulayangkan sisa-sisa mimpi; yang ku-tau takkan pernah kembali

Kuancam Neraka

Pistol yang ku acung-acungkan
meletus tanpa sengaja; atau sengaja
--ketika kuancam neraka

Kena Kau

Seandainya kau ada suatu saat nanti
Akan kurangkai pendar-pendar cahaya dari raut wajah itu
Menjadi purnama sempurna yang memantulkan warna-warna ceria

Sudah semestinya kau tetap terlihat diam
Anggun entah angkuh, bukan lagi perdebatan
Hanya saja, sajakku kali ini sungguh memaksa hati

Seandainya aku seakan-akan lupa nanti
: kena kau! -dalam dekapanku

Di Depan Kaca

Ketika ku pandang matamu
Tajam ramah mengepal
Ingin kukatakan; kau berbeda aku
Tapi kau sudah membantah sesaat sebelumnya

Baru ingin kukatakan
Tiba-tiba: Prraang…
Seseorang memecahkan diri hingga berkeping

Tingkahmu; atau Ulahku?
Tak perlu ada yang tau

Kumbang Malam 2

Dia datang lagi, benar-benar tanpa isyarat
hinggap di genangan malam tanpa bintang

Tak ada tanda pada sayapnya yang terbelah
Putih jernih dihiasi warna-warna indah
Dia diam lagi, bertanya-tanya dengan diri sendiri

“ah., kau sama saja dengan kupu-kupu
Masuklah dan bermain di taman bungaku,
yang sedang tumbuh.“

Dia masuk melalui pintu yang terbuka
Terbuka lebar, hingga tiada lagi dinding
yang terlihat
Dan isyarat, kini tak lagi punya arti

Penawaran

Aku hanya ingin menghitung jejak luka itu
Bila ada ijin, dan sebelum tiba sia-sia
Ingin kubalut dengan kehangatan pagi
Agar tak ada lagi pertanyaan disitu

Kumbang Malam

Kau datang lagi
Tanpa isyarat yang pasti
Hinggap di tirai jendela malam

Ada tanda pada sayapnya yang terbelah
Patah di ujung ketiak, berbekas namun indah

Kau diam dalam bahasa, bercanda dengan tanya?

“Maaf kawan, tak ada bunga dalam ruangku ini
Datanglah nanti, bersama Musim Semi dan Kupu-kupu”

Tapi dia memilih terjun kedalam segelas kopi susu
Tenggelam dalam pahit-manis kata

26 Juni 2009

ISTIRAHAT

Gemulai sudah langkah mata ini
Terbeban tunas pada pelupuknya
Yang kan tumbuh menjadi mimpi

Padam dulu cerita kita
Untuk waktu sesaat
Dan bangunku ketika fajar menyala

Antarkan kata tak bertuan
Bersama gemericik embun pagi
Saat basuh kelopak bunga berduri

LIAR (koboi)

Pistolku dalam genggamanmu
Pemuda berkarat, batu berlumut
Pemecah kaca, terburailah warna
Mengarah lepas

Langit biru seluas samudera angkasa
tak ada lagi batas diraih
Kebebasan yang sempurna
mengambang di permukaan udara

Rembulan senja yang mulai menipis
tertembus kepal kedua mata
Sekedip, menjadi malam yang padat
sepadat hujan di dasar laut

Jarimu tak berdaya tanpa senjata yang menjaga
Peluru menjadi tanya pelatuk
Siapa membaca dengan mengira-ngira
Katakataku sengaja liar tak ber-arah

-abstraktisme-

DILUAR RUMAH

Memandang-mandang malam yang bercahaya
Anganku bertumpu pada kaki-kaki yang papah
Sementara kerlip bintang padam satu persatu
Sempurnakan gelap bagi bulan purnama
Langkahku semakin berat
: seberat lelah jemari

Inti diri yang paling lugu
Kini dewasa tampak gagah
Bermain intim dengan hamparan cahaya
luas, dalam, di dalam mimpi yang meninggi
: setinggi gapai jemari

Buah-buah yang masih belum sempurna
Terjatuh di tanah
Rerumputan yang selalu saja cemburu
Serukan angin yang diam
Untuk memandu langkah mata kaki
Melepas genggaman jemari waktu

MUSIM SEMI

Dari bibir jendela kamar, kusapa pagi
yang tampak malu-malu
Merah pipinya, permainkan warna cahaya
Hingga berjatuhan musim berganti

Burat-burat sayu pancar matanya
Memendam guguran rindu dedaunan
Serupa tirai gerimis; yang datang bertamu

MENDUNG

Dalam dekapan itu menetes bau rindu awan
Dari mata angin timur yang liar menuju barat
Antarkan gerimis pagi untuk menyangkal matahari

SEGITIGA

Malam sungguh tersenyum memandangmu kawan
Karena Cinta di sebelah bahumu
Dan biarlah bulan yang bersembunyi
Menanti hadir matahari

Saat pagi mengecupmu, aku tengah bertengkar dengan luka jemari
Tikam itu berdarah kawan, tapi kata-kata bernanah
Di mata para bintang, ada arah angin membawa
Rasa yang ada, hanya padanya

Biar kulenyapkan saja malam kawan
Karena Cinta itu, kini menepuk bahuku

EMOSI

Mana
Mana emosimu
Biar kuajak melayang jatuh

Di kepak sayap rajawali pusaka
Miskin kata tiada tara, tak bernyawa
Luka-luka cinta terbuka hampa suara
Di kaca wajah berdarah, pada mata air mata

Belum cukup;
Lihat ibumu, menangisi puisimu
Dalam jeruji peti besi

Kurang, sini
Kupatah jemarimu
:atas nama emosi

-dedicate to penyair kambuhan-

SOEHARTO

Kau kejutkan kami dengan kilat orde baru
Menyambar tumpukan jerami; pejuang runcing bambu
Memercik api di makam tuan; terbakar harta sejarah

Kau curi kenangan wangi bunga pertiwi
Teriak menang atas penjajah; percuma di tanda di dadah
Jika tandu di bahumu memikul jasat Negara

-ApriliA-

April lewat, tergesa-gesa
Pedang salamku pada merpati hitam
Hilang dalam temaram cahaya dunia
Oleh luluh ksatria muda, tersamar janji matahari
Lalu, apa pesan dinginnya udara?
Intim bersama langit tak bertepi
Aku melupa cinta

TERLUPA

Bunga yang akan mekar esok musim
Telah kusimpan di pangkuanmu
Jauh sebelum cuaca dingin bertamu

TELAGAMU

Telaga suci dalam dirimu
Jangan biarkan susut oleh waktu dan ragu

Dahaga ini sebesar bumi
Tetesan embun dari wajahmu, bilas keringat di hati

Gemuruh busur yang kulepaskan pada sang mentari
Nyalakan cinta yang padam

SEHELAI DAUN

Kini, tiba giliranmu untuk gugur
terlepas dari tubuh yang telah rapuh
menuju pangkuan telanjang bumi
menghadap bintang-bintang angkasa
jerjerat datar antara tanah dan udara
diam tiada arti..
Hingga pagi menjelang
mendapati embun yang menetes
pada telaga musim kemarau
detakkan kembali, jantung matahari..

KECUPAN MEI

Malam mengajakku berdansa
Mengitari sudut-sudut sunyi bumi
Ketika langkahnya yang ke seribu
Digenggam erat dingin jemariku
Menjelma senyum rembulan Mei
Didaratkannya sebuah kecup berduri
Yang hangat, mengejutkan di bibir utara
Melekat sungguh, dalam bisikan demokrasi
Membunuh kegelisahan musim penghujan

LELAH

Lentera waktu makin meredupkan malam
Bayang-bayang bintang tercecer di rerumputan
Ramai-riuh jalanan terdampar dalam sunyi selokan
Wangi bunga melati tersamar dari taman makam sebelah
Ah.. kurebahkan saja jemariku disisi jemari waktu

Tawa malam begitu nyaring terdengar
mengusik jemari untuk berlari
kemana? Entah..
mungkin ingin kucuci dengan getah bunga zaitun
atau, kubungkus saja dengan lembar kain kafan

Gemerik Hujan Di Bulan Juli

Kurindu Gemericik hujan
di bulan juli
Yang datang mengurung diri
Pada malam tak bertepi

Kurindu Gemericik riang
di bulan juli
Ketika tiba-tiba saja hadir
Bangunkan hangat bumi

Kurindu Gemericikmu
di bulan juli
Sejuk, pendiam, penuh cinta
Dan pergi seperti pencuri

DEKAPAN MALAM

Saat Malam membuka matanya lebar-lebar
Udara yang diam bersembunyi di bawah pohon rindang
Sesuatu diantara rumput-rumput liar memandangku penuh curiga
Ketika kupalingkan pandang; lenyap dalam dekapannya..

PELUKIS

Pagi yang malu-malu
Terlukis begitu kaku
Pada selembar kanvas lusuh

Pelukis di ujung jalan itu
Meletakkan hatinya di atas pelangi
Mempermainkan warna cahaya

27 April 2009

KEPADA RI 1 (dari luka 98)

Kami ini denyut nadi Negeri ini,
jika kau sungguh jantung..
Detak-kan lagi waktu,
hingga ke ujung-ujung satu..

(sebab kami seperti sama dan tak beda)

Mari,
sempurnakan nyata
pada dada yang sama..
Jika kau memang ada
Bersama..

(karena kami anak dari ibu pertiwi)

Kemudikan mimpi kami
kearah tujunya
seperti pasti
mengaca pada Pencipta..

(kami merah dan putih penjaga tiangmu)

Mampu,
kan pasti terjadi
Disini..
di sajak-sajak kami
Ada denyut Negrimu..

(tempat darah kami mengalir)

16 April 2009

AIR

bah, tak sempat kau bangunkan aku dulu
bah, begitu cepat kau lumat saat senyap
bah, kugulung kau nanti: seperti kau gulung kami

-situgintung-

12 April 2009

SEPERTI RINDU

Dingin ingin membunuhku
Menyerang dari segala penjuru
Kini melekat sungguh di tubuh

Aku terperangkap hujan yang menyerbu
Di tempat asing kini ku berteduh
Berhayal hangat sesosok tubuh
Yang mungkin datang untuk berlalu

Ini seperti rindu;
yang hinggap di bulu matamu


-babel-

KEPADA SEBUAH CINTA

Karena melihat kau juga seperti buta
dan mendengar menjadikanmu tuli
Hingga bicaramu tak lagi penuh arti

ada waktu yang berenkarnasi, berlalu
Saat malam berganti, tiada lagi rindu
luka yang meliau kini berbuah tahir

Pada cinta yang terbelah, membias
Meleburkan diri di-diamnya sunyi
Menanti anak panah menikam lagi


-lalu-

KAU PUISIKU

aku ingin memilikimu seperti jantung;
dalam detaknya terasa,
menghidupkan

aku ingin menyentuhmu ke dalam hati;
selembut selimut awan,
menyejukkan hari

aku ingin kamu;
seperti pagi dan mentari


-ail-

ABU-ABU

yang telah memudar karena tindak,
juga ada dalam kelam,
menjadi duri akan warna.

yang telah hina untuk tumbuh,
juga kotor karena malu,
menjadi musuh oleh tabu.

seseorang mengaduk warna dalam hidup,
antara hitam dan putih,
menjadikannya abu-abu.


-abu-

KEKASIH YANG MATI

Ada apa di hatimu,kekasih
saat malam berbisik pada bulan purnama
kau telah lupa

Kenapa ada ragumu, kekasih
saat perlahan jelajah suciku menyergap
kau hilang dalam senyap

Kekasih, baca jiwamu dikala sunyi
dalam kenang aku hadir tiada lagi rasa
karena kau seharum melati..


-lalu-

SELAMAT PAGI

Hari lalu lagi
Hayal terus bernyanyi
Merdu disapa sunyi
Angan harus lari

Kicau burung temani hari
Siul pagi hinggap di sisi
Menanti fajar tumbuh di hati
Dalam intip matahari


-pagi-

MALAM

Malamku yang pilu
Damai sunyi bersenandung
Membungkam segala sepi
Menari diatas irama suci
Menanti dicengkram pagi

-rk-

AKU

Aku
Tak ingin sepi tiada arti, ketika berdiri terkadang sendiri, seperti mati tertumpuk melati
aku menggenggam masa pada mimpi, kuasa padam saat terang berganti, ingin pasti menjadi inti. Terpasung mimpi-mimpi.

Aku
Tak ingin diam dalam syair, bersembunyi ditengah kabut sunyi, ingin menyibak dan pergi
aku seperti menanti kesejatian tertinggi, menutup mata dan berkaca kepada doa-doa lama
menanti diri, disucikan jari-jari…

Aku
Tak ingin ada akhir, yang datang seperti martir, berkorban kepada ramai pedang api
menahan merah garang, menggapai langit padam. Aku tengah mengukir tingkap dunia
bait demi bait…

Cinta..

Berduyun-duyun akan datang menjumputmu
Membawa senjata-senjata rayu, dan belenggu
Sebagai pencipta sekaligus pembunuh

NYATA (terwujud)

Ini seperti mimpi yang menjelma nyata…

Tentang se-pasukan burung perkasa yang terbang jauh tinggi diatas kepala
Kulepaskan busur panah pangharapan, dengan tulus melesat senyap, tepat
Mengena pada jantung panglima angkasa…

Ini seperti mimpi, seperti juga nyata
Sungguh, perbedaan yang sempurna…


-terwujud-

Patah

Karenamu, kemarau mencair di pangkuan bumi
Mengusap sepi dari mata yang menggigil
Merendah berserah patah
Mengaduh di telapak kaki ibu
Tentang ketiadaan yang menghujam

PUISI PEMAKAMAN

Kami mengenalmu seperti lahir bersama dari perut bumi
Kami mengenalmu seperti saudara dalam suka maupun duka
Kami mengenalmu karena kau ada, dan akan selalu ada

Kami mengenalmu, mengenangmu, selalu
Kami mengantarmu dan melepasmu kembali
KepadaNya atas segala kuasaNya


-toing-

LELAH

tak-kan lari gunung kukejar
tiada habisnya laut ku-kuras
seakan gila aku kau buat

menerka-nerka isyarat samarmu
mencari tanda di dinding malam
menjadi tersesat hilang pandang

terkapar lelah di ujung tanduk


-tuktem-

DIA

Matanya
Pancarkan sejuta tanya tentang rindu
Langkah kakinya
Gemulai melambai menyibak sunyi
Panjang rambutnya
Menjulur damai hanyut dalam kalbu

Aku menunggunya di batas cakrawala
Aku menanti datangnya awan teduh
Yang sejuk dan tumbuh diatas pelangi


-kau-

PARAS mu

tingginya melambai-semampai
berambut ombak hingga ke pundak
dalam hutan seperti bunga anggrek kunang

sinar matanya selengkung pagi
beraroma senja yang menunggu di bibir pantai
kuning bajumu ketika bertemu, bercahaya mentari

bibir merah, putih kulitmu
detakkan jantung, getarkan pita suaraku
sentuh matamu membungkam seisi duniaku

-untuk AIL-

“puisi yang baru ingin kutulis
telah hinggap di bulu matamu
bergelayut bimbang dan terjatuh
di reruntuhan embun pagi”

SIHIR PRAMUGARI

Kutatap matanya dalam-dalam
Coba alirkan rasa, sekejap saja
Seperti gigitan bibir yang menyihir
Senyum palsumu begitu menggoda

-bandara-

SERUPA

Kerut keningnya sedatar bumi.
cerlang mata seluas hati.
langit pikir yang membiru..

adakah lelah itu sejenak.?
yang tak bergerak juga tak diam
di semua warna, setiap sudut

kau, aku, entah..
tiada batas…
serupa rumit jiwa
yang padat sempurna


-penyairbiru-

NOSTALGIA (to immanuel)

Kau nikmat sisa batang milikku
hembuskan asap seputih salju
Kau tegukkan aku mimpi sucimu
melayangkan nyata diambang waktu

KUINGIN JALAMU NYATA

Kukatakan padamu, jangan ragu untuk melemparkan jala walau takkan ada ikan di danauku. Mungkin hanya ada sepasang mata yang suka berenang disana diantara batu-batu dan akar-akar pohon.

Terkadang ia suka tenggelam mencari jejak-jejak alam hingga terlupa dan tersesat. Menyusuri akar-akar malam yang menjalar menuju pagi yang tak pernah dikenal. Inginnya jalamu nyata.

Walau kadang meninggalkan hari-hari untuk waktu yang seperti terhenti. Mencarimu diantara para pengail. Tapi tak cukup mampu mereka menarikku kedalam dunianya.

-Rasa-

Tak ku sangka, ada rasa yang lebih melekat dari malam yang padat
Kini menikam tiba-tiba di dasar terdalam, hal yang sungguh ganjil
meski juga tak mustahil. Sesuatu yang telah tumbuh karena senyum sapa

Harusnya kubenamkan saja rasa ini di ruang bisu, seperti sebelum-sebelumnya
Merangkaikannya kata seindah bunga, kubaringkan di taman kupu-kupu
Membungkusnya dengan janji dan biarkan berkaca pada jernih mtahari
bermainkan seni-seni mimpi

Tapi ini begitu berbeda;
seperti mengoyak-ngoyak kesendirian
mengombang-ambingkan telaga malam
menumbuk-numbuk waktu yang malang
menghalau liar nyatanya hampa
menuju dermaga waktu
diatas sampan jinakkan badai
melaju, me-lagu, hentakkan ragu
mengetuk-ngetuk kelopak mata
bangunkanku dari tidur yang panjang

Mengapa diam yang ada padamu menghujani hari-hariku
begitu deras, ciptakan pelangi di kulit senja
semakin keras menggenggam tanya
yang tersembunyi dibalik matamu

Apabila boleh kata berkaca;
sungguh mati aku sungguh sepi

SYAIR KEPADA LANGIT

Kami memohon satu bintang saja, dari sekian banyak yang selimuti malam
bila kau tak berkenan kapada kata-kami yang berlebih, maka aku-pun mampu
merawatnya menjadikan milik para petapa
Kepada halilintar boleh-lah jika sebatas menerangi gelap jalan menuju peluk ibu
agar rindu yang menggumpal, mencair di pangkuannya
untuk merendah berserah padam

Langkah ini makin gemetar dipaksa usia, meski tapak tak cukup gentar menghadap
jaman. Ketika hari makin sempurna dan lahir di tepi laut
Memulai kembali pencarian jejak-jejak masa depan, yang kadang terhempas di keramaian dan tersapu ombak masa lalu
Kadang menyudut pada dinding udara yang diam, kelabui mata karna bentuk
tersamar dalam sepi

Kami berdiri di padang-pandang yang sunyi, memuaskan makna yang luas
yang semakin liar seperti masih liar
Menunggu hujan yang ramah menjamah getir tubuh, sisa-kan sejuk pada pundi
pundi yang terbentuk dari tawa dan jerih, yang tersimpan untuk dahaga nanti
untuk dahaga ibu dan anak-anakmu
ketika nanti, saat terik bertamu

Kami terduduk dalam perahu, diatas bukit yang kau tunjukkan
Kami berlari tanpa tengok, menghindari petaka sucimu
seperti yang kau katakan, kami bertumbuh di tanah subur
seperti yang kau katakan, kami menui taburan rindu
seperti dalam buku, seperti syair lagu, seperti telah berlalu

Bila kata-kami terdengar berlebih, maka;
Aku memohon satu bintang saja
untuk menerangi perjalanan ini
temani aku dan perahuku


-perahukayu-

MAHKOTA HIJAU

Di hari yang masih subuh benar, ketika kelahiran akan tiba dengan setianya.
Kutemukan sepucuk Cinta tergeletak, terjatuh di reruntuhan embun pagi.
Melepaskan pandangnya ke ruang angkasa yang nampak semakin sunyi.
Dengan tatapan meredup pada waktu, yang lewat tanpa sempat menyapa
Menghentikan langkah kaki ini, mengukir jejak dalam syair…

Ah.. seperti Cinta yang kukenal dulu, ketika tercipta di ujung masa…
dia yang menempati dasar terdalam, menjadi inti kehidupan sempurna
dia yang menghangatkan dan juga membekukan semesta raya
dia yang dulu penuh kehijauan, begitu murni menyelimuti rasa
tapi kini begitu pucat tampak pada jubahnya…

lalu tiba-tiba saja, matanya memancarkan bait kata-kata:
“aku telah tiba diujung jarimu penyair hijau,
bawakan sekotak coklat untuk kekasihmu
dan bibit bunga sejati yang hampir layu
untuk tumbuh di dataran jiwamu”

“Bukan kuasa ini atas cintamu, Cinta. Melainkan sebaliknya.
Bila layu harus tumbuh tegar, maka indahlah pada nyata itu.
Diatas segala bermakna, biar kukibaskan kembali jubah hijaumu”

Dan ketika pagi telah lahir, ku-sisipkan Ia di buratan cahayanya.
Menari-nari lentik pada dinding udara, menemani senja ke laut biru.
Kemudian kepada hari-hari lagi, dibenamkannya Mahkota Hijau…
Mahkota Cinta Hijau nan lestari…


-pesertalombapuisihijau-

02 Maret 2009

SAJAKKU SANG PETARUNG

Kemarin malam ia datang padaku, katanya
Ingin mencoba mengadu nasip di dunia nyata
“Memangnya kau mampu? Apa senjatamu?” Tanyaku.
“Ya jarimu, apa lagi senjata sajak kalau bukan
pena dan lembar kosong,” katanya.
“Lembar kosong..! Otakmu yang kosong
Kau pikir semudah itu bertarung di dunia nyata.”
Sedikit sewot aku dibuatnya

“Apa salahnya sih coba-coba, sapa tau jadi candu
kan nikmat, tinggal duduk-duduk di depan layar
kutak-katik kata jadi makna, menang, kenyang.
Daripada sepi-sepian sambil mimpi, pusing sendiri
Lirik-lirik gadis impian tapi takut ditinggal sunyi.”

“Hei jak.., kalau soal gadis bukan urusanmu
jangan buka-buka kartu dong, malu nanti dibaca orang!
Tapi, berani kau bertarung dengan sajak-sajak biru
sajak-sajak ungu, sajak kelabu, sajak batu.
Sedangkan kau cuma sajak hijau.”
Tegasku tanpa maksud menyidir, dan pergi

Paginya, aku dibangunkan matahari
yang masuk menembus jendela, hordeng dan kelopak mataku
Katanya, “selamat pagi penyair kesiangan
selamat datang di duniaku.”
Dan aku terbangun tanpa sajak-sajakku di meja
Hanya satu bait saja yang tersisa, “selamat jalan pengangguran, sukses.”


Berminggu-minggu, berbulan-bulan tak ada kabar
Aku merindukannya, kutelepon bu dokter, tak ada
ku tanya pak polisi tak ada, di koran-koran tak ada
di majalah-majalah juga tak ada, buku-buku apalagi
“Ah.., paling-paling dia sudah mati ditikam mantra.”

Satu tahun kemudian, seorang penyair menelponku
Katanya sajak-sajakku terkapar di terasnya, berlumur darah
membawa piala dan senjata. “Sajakmu telah mati dengan tenang
sempurna oleh waktu, tapi bukan di negeri sendiri.”
Nada penyair itu sedikit bangga, sedikit sedih
Dan aku termenung, teringat kata-kata sajakku
“apa salahnya coba-coba, sapa tau jadi candu, menang, kenyang.”

-ruangbisu, 0309-

DERMAGA KAYU

Segumpal isyarat yang terlontar dari senyummu, menyala membakar
Bersarang diantara ilalang-ilalang kering diatas tanah yang tandus
Mengobarkan api yang sendiri, menyepi diantara syair-syair membatu
Melampaui pulau-pulau rindu yang menumpuk tersusun waktu
Merayapkan suhu hangat dalam tubuh, memupuk panas membara

Di hari itu malam berkabut gelap mendekapku, mengaburkan pandangmu
Sesatkan pesan-pesan yang ku lepaskan di udara, menuju dermaga kayu
Terhanyut haru laut biru, menantang diterpa angin, tenggelam dalam dunia
Sungguh sesal terlepas liar dari ingatan itu, yang tak mungkin lagi memudar
Sebab segores saja, kan terus membekas sepanjang lembar-lembar sajakku

Di atas aspal telapak tanganmu pernah kugoreskan sebait kata-kata
bukan sebagai perangkap akan duniaku yang penuh isyarat
Di jendela kamarmu pernah ku-sisipkan selendang hitam
bukan warna yang ku mau, tapi kuharap mampu menghangatkanmu
Di lembar hijau daun, di kelopak-kelopak matamu ingin juga kutorehkan
sebuah isyarat bisu;
bukan lagi tentang cinta di bumi, melainkan kasih yang memberi



Di kemudian hari malam menjadi seterang pandang yang nyata
Ada kau disana bersama bayanganmu, aku disini tak terbayangkan
Sepandang, dua pandang cukuplah sudah, isyaratmu kini mati
Dan aku pulang sambil menimbang-nimbang angka kekalahan
Mengorek-ngorek lagi mimpi, membuangnya dari masa lalu
Padamkan api untukmu, mundur-teratur, hilang ditengah ilalang
Mencari-cari pesan yang tersesat, dan ku-ukir di dermaga kayu

Sudutkotak, 0209

Gila Harga Mati

Ia berjalan tanpa sehelaipun kain selimuti tubuhnya
Melintasi jembatan kokoh yang memotong, melambungi sungai Klayan
Parasnya masih segar terbasuh senja, jalannya tegap peduli setan
dan belalainya seperti tak mampu lagi mengendus, terjulur kaku
“Jangankan pakaian perutku saja sudah mati tertikam malu,
dan sekarang tak ada lagi harga yang harus ku bayar,”
suaranya sungguh tegas

Langkahnya menerawangi waktu, menjelajahi dunia asing di kepalaku
seperti rasa keringat pada telapak kakinya, begitu asin bercampur kerak
Telinganya dengungkan berbagai macam persoalan, tentang hidup
tentang mimpi, tentang nyata dan tiada
Matanya bernyanyi di sepanjang waktu, mengedip-ngedip pada jalan
pada poster-poster pemilu, pada anak-anak sekolah yang mengejeknya
Rambut yang hampir sama dengan warna kulitnya, isyaratkan jarak
yang panjang tak-beraturan, diterpa bau alam
Dan indra lainnya tak mampu lagi kubaca

Diantara lalu-lalang becak, angkot, merzedes-benz, dan aku
Lengannya mengepak berkali-kali dan membawanya pergi
menyusuri lorong-lorong pasar yang berliku, menyapa setiap mata
yang meraba tubuhnya. Mencabuli udara sore yang mulai menguning
“Mungkin menggelikan bagimu, tapi bagiku mengembalikan apa yang bukan padaku
karena tak ada lagi harga yang mampu ku bayar.”
Bisiknya sambil tersenyum kepada angin yang selalu setia menyelimutinya
dan tak-kan pernah tertidur

Dipucuk hijau malam, diguguran syair-syair unggu, diantara tumpukan yang terhempas
punggungnya mendatar pada tanya yang makin menua
Hayalnya mulai menyata, dahinya makin berkerut, dan matanya remuk padam berkaca
Ditemukannya langit yang hilang, bulan yang tenggelam, serta bintang yang pudar
“Setidaknya aku masih memiliki doa malam ini, memohon agar tidak ada lagi harga.”
Dan esok, jarum jam memutar kembali waktu
cairkan sungai yang beku, mengalir pada lembar kaku

-Banjarmasin, 1208-

AYAHKU SAJAK

Hari itu kupaksakan syairku bersenandung
karena sunyi berdiam diri dan sepi entah kemana
sembunyi-sembunyi kunikmat sebatang candu ayahku

Di malam itu kupaksa syairku naik perahu kayu
aku berkata padanya tidak akan tinggal janji
walaupun hanya sebatas awan, asalkan teduh

Malam itu pula aku tidur diatas syairku, kelelahan
setelah lama bercumbu, terbakar nafsu
kini, syairku hamil tujuh bulan

Dua bulan berlalu waktu ditunggu
syairku melahirkan syairku
kutimang tiada ragu, seperti lagu

Syairku sayang jangan jadi malang, suatu saat nanti kau dikenang
Syairku sayang tumbuh mengembang, kelak nanti kau jadi kembang
Syairku sayang, dewasa nanti semoga kau bertemu penyair tampan
yang mampu kendalikan nafsu
dan mencumbumu dalam buku
melahirkan sajak-sajak baru

-ruangbisu, 0209-

Bang Jo

Kawanku terhisap ke lorong waktu..
padahal kemarin ia janji, mengarung malam denganku
naik perahu keliling-keliling kota, tanpa lepas jangkar
memancing putri-putri, menghitung jaraknya pagi

kemarin juga, kulihat wajahnya di stasiun-tv
menunggu kereta berjeruji besi
tangannya diikat mati, melangkah pucat-pasi
tapi yang pasti ia akan kembali

kabarnya, telah nyata waktumu, sudah putus
dua bintang kurang dua bulan
Amboy., lama juga semedimu
kelak nanti kau pasti semakin sakti, ber-arti

kawan, jangan ada suka dan duka nanti
hanya saja perhentianmu unik kali ini
berkelambu dinding-dinding sunyi
menerka-nerka masa sambil menyuci tumpukan mimpi

esok, ketika sempurna waktumu
kujemput kau dari sisi nyata
kuajak berlayar lagi
melepas rindu di laut biru
tapi ingat, jangan lupa ke darat lagi..

Valentin Sudah Lewat

Di suatu bukit yang menjulang diantara puncak-puncak tinggi dunia
penyair itu terduduk merenung diatas batu andesit yang hitam
mengorek-ngorek mimpi dari hidungnya, membuangnya di udara

sepi, sunyi, malam
batu, pohon, awan
hijau, biru, kelabu
duduk, diam, sendiri
lagi, seperti kemarin-kemarin, asin…

dan terlintaslah ingatan tentang hari yang lalu..
hari cinta kasih sayang yang lewat tanpa sempat meninggalkan bunga
sebenarnya bunga apa saja pasti diterimanya..
entah itu bunga bakung, bunga layu, bunga bau, apalagi bunga bank
asalkan ada, nyata, biarpun palsu-palsu deh..
kalau katanya Chairil Anwar sih, “mampus kau dikoyak-koyak sepi”

setelah beberapa lama ia termenung
sebuah rasa tiba-tiba saja datang
dihantar oleh angin yang risau
menyelinap melalui pori-pori
berdiam diri sejenak, kemudian
menyerang seperti perompak

lalu, penyair itu berdiri tegap, sigap
menarik napas panjang
dan berteriak lepas, “Cintaaaaa…brrutt…”
tiba-tiba saja mulut bawahnya ikut berteriak, semburkan air liurnya..

Hehehe..piss.. :-PB-)..

Doa si Kecil

Tibalah kita di atas sebuah bukit yang terjal seperti Golgota
Ia pun berlutut pada batu besar yang cadas, dan berdoa

Begini bunyinya,
“bapa sudah lama aku tidak makan buah-buah firmanmu
sebab aku kini telah memiliki pokok anggur, berbuah kata-kata
bapa sudah lama aku tidak minum dari cawanmu
sebab aku kini telah memiliki nampan putih, seperti suci
bapa sempurnakanlah aku seperti biji yang mampu memindahkan gunung
seperti tongkat yang membelah lautan, seperti air yang menjadi anggur
bapa., mama mana ya..? Adik ngompol lagi tuh, sedangkan abang lagi asik dengan anggurnya...”

Dan tiba-tiba ibu guru berteriak di dalam kelas,
“Serapim., kamu mengigau lagi ya, sana, cuci mukamu, rambutmu
badanmu juga, mandi saja sekalian biar tak bau satu ruangan.”

Ia pun pergi, dengan penuh tanda tanya..???
(padahal yang lainnya juga tertidur di kelas itu, mendengkur tanpa mimpi..)
“mungkin mulutnya yang terlalu dekat dengan hidung.”


-ruangbisu,0109-

12 Februari 2009

PUISIKU

Puisiku menggema di relung waktu..
Puisiku terhempas ke sudut-sudut..
Padat dan mencair di udara..

Puisiku terkepal memukul waktu..
Puisiku cahya tahir mewarna sudut..
Padat menjelma segala..

Puisiku bukan tinggi diatas dunia..
Puisiku meluas di lautan jiwa..
Padat menjamah makna..

Puisiku damai tumbuh bersenandung..
Diserap bumi dan lahir kembali..

10 Februari 2009

-Untuk Yang Ditinggalkan-

Ada puisi yang ingin kutulis untukmu
kini tiba disudut matamu, dan menetes
di antara guguran embun pagi...

tentang ketiadaan yang datang tiba-tiba
tentang segala terima atas kuasa-Nya

tentang kesedihan yang terjatuh dari mata indah itu
ke dasar hati yang menyimpan sisa kenangan
tentang duka maha tuan bertahta
dan tak-ku tahu setinggi itu atas debu...

tentang kemutlakan yang hadir begitu saja
tegarkan tulusnya kerelaan anak surga
tentang duka atas debu di sisi-Nya

tentang luka sekaligus cinta...

29 Januari 2009

HUJAN 2

Sayang., hari ini riakmu terlihat riuh..
Membangunkan mimpi..
Nanti nyata juga terbangun loh, dan disuruhnya kau menjaga malam..

Sayang..! kamu sedih ya..
Semakin deras rintihmu ku dengar
Kamu kesepian ya.. dibohongi waktu..

Ia memang selalu begitu sayang..
Semakin tua.. langkahnya makin lambat..
Hingga kemarau jadi datang terlambat..

Sayang.. air matamu terlalu berharga nanti..
Ketika kemarau malas pulang, siapa yang menangisi aku..
Menyirami tubuh kotor ini

Sayang..! makin hari aku menjadi semakin suka tangismu
Daripada semangatnya api.. api pertikaian yang menggetarkan malam..
disana itu loh.. di pucuk timur..

Tapi rintihmu terlalu riuh malam ini..
Kalau nyata tersadar pasti dipukulnya kau..
Karena banjir diwajahnya., meski kau tau aku akan membelamu..

Sayang., lagipula esok aku ada janji.. ada kencan..
Untuk bertemu pengganti ayahmu..

Sayang, kamu jangan pulang larut lagi besok ya..
Jangan suka mandi malam-malam ah..
Nanti kamu sakit lagi..

Kalau kemarau sudah pulang, titipkan pesan ibu ya..
Untuk siram bunga di taman, bersihkan bak mandi,
Dan bilang padanya jangan main terlalu jauh, agar ia tak-lupa pulang...

-terinspirasi oleh Joko. P-

KEPADA PARTAI

Bicaramu seperti kentut, busuk
dilahap lalat yang melarat
pada dasar tertinggal terasa semakin bejat

pantatmu penuh borok
terduduk diatas jerit luka
dimeja kami ber-lagu seperti tinggi

pikirmu mudah
menebar janji dan sedekah
menginjak-injak datarnya pedih

bodohmu kekalahan
kamilah pemenang malang
atas manismu, atas bujuk-rayu palsu

PENGAKUAN 3

gemuruh sunyi seru menjumput
berarak-arak kepal berderu
bertanya panjang pada jalan
bertemu sepi di dua jiwa
berbagi kisah dan kaidah

ini siapa punya merdu
pada lalunya waktu berliku
pantas ada galau itu bermula
pancar-berpancar ketika pandang
pupuk-memupuk dirasa kenang

seserabut lembut awan perawan
semerbak pagi sekuncup malam
sepucuk maut mampu kau redup
sabatas atas segala bermakna
memang ada cari itu, padamu

yang datang pada pagi
yang tersenyum pada waktu
yang terbenam di laut biru

PENGAKUAN 2

yang tampak diremang senja
bayang terdalam menggenang
ingin kukecap sebuah senyum
yang menanti dirembang hati

tiba juga tetes embun yang pagi
dinanti liar rumput jenaka
dicembungnya melekat lagi
yang mengoyak remuk berkaca

bukan petang sembunyikan bintang
janji yang sebatas awan
siang juga terangi jalan
berbatas pandang yang nyata

rasa ini ada
membuka pada luka
agar berhenti pada tanya
untuk lapang segala terima

23 Januari 2009

RUANG BISU

Seperti pena raksasa
yang menoreh dinding udara
hadirmu bergema dilangit jiwa...
dan mengajak rinduku
tuk menghujan ke ruang bisu
hingga sempurna oleh waktu...

15 Januari 2009

PENGAKUAN

Ingin kau;
bagai tetes embun pertama
yang mendekap rumput liar

Semerbak bunga-bunga
menebar pelangi dalam nyata
dengan durinya yang menyengat di hati

(waktu yang tiba-tiba menghantarmu
menyihirku dengan sapa,
meskipun hanya diam padaku
ada kugenggam isyaratmu)

Awan tebal yang mengganggu hari
jadikan biru berubah unggu
curahkan sejuk dikuning senja

dan kau, juga aku;
seperti warna di kanvas waktu
tintaku Hitam dan kau lembar Putih

SURAT DARI BARAT (kpd israel palestina)

tidakkah kalian lihat;
wajah anak-anak itu,
yang berselimut dendam
pada saudaranya sendiri

pada api pertikaian tak berujung
yang membakar mimpi-mimpi
menggetarkan diamnya malam

SURAT DARI TIMUR

didarah kami…
mengalir butir-butir peluru
yang membatu disepanjang waktu
titipan ayah dan ibu dari masa yang lampau

bila terdengar keras dihatimu
ledakan itu memang alarm bagi kami
sebagai tanda telah dimulainya hari

menarik pelatuk dan melempar batu
cara kami bertegur sapa
saling memberi api pada teman dan musuh

retak gigi kehilangan juga teriakan kemenangan
tentang perang yang menggetarkan jiwa
seperti nafas dan ada berganti diantara kami

jangan bakar negrimu dengan cerita ini
sebab didalam bukumu ada tertulis
tentang kami yang tiada akhir

SUARA ALAM (di Gaza)

Bumi berbisik pada angin
yang tertiup dari pusat timur
tentang darah yang mengalir
membentuk telaga dihatinya

“disana semua mimpi dan nyata telah menguap
memadat seperti kristal menyatu di awan permai
menunggu waktu tuk curahkan kebisuan”

(lirih tangis yang menggema ledakan
pada dinding-dinding laras senjata
menjemput gumpalan asap mesiu
untuk membungkus anak manusia
mengantar dendam pada tidur yang kekal)

“disana ada kobaran membakar hari-hari
ada pertikaian tak berujung, ada korban perjuangan,
juga diam yang mengerti”

Hentikan..,
sebelum kukirim penyesalan
dari ruang hampa udara
jadikan segalanya berakhir

SENONOH

dilenggang kasur kata menegang
bantal telanjang, menerjang
ada ngilu, panas, mengerang

meja dan kursi kaki renggang
nyamankan posisi, bergoyang
atas bawah, depan belakang, berulang

seperti duduk, seperti jongkok, terlentang

SAJAK HITAM

Pergilah...
dan bubarkan semangat itu…
Sebab disini tak ada lagi nyata
Hanya mimpi yang tak pernah terpejam

Palingkan pandangmu
Bawa pergi lembar-lembar itu
Tapi tinggalkan sebuah pena
untuk kutoreh pada dinding udara

Mereka seperti patung bagiku
yang tua bernapas, dan ada saat berakhir
yang telah masam, dan mulai membatu
yang mengakar dilangit jingga

“dan mereka mulai betanya-tanya”

Ooo…
Seperti tinggi, sombong
bukan suatu keinginan
Menjadi rendah, terasing
bukan pula tujuan
yang lebih bukan untukmu
tapi kalah tak ada di kita

“yang tertunduk terlihat seperti ragu”

maka,
Adakah rajut warnamu
atau langkahmu serupa angin
dan mata yang tertancap dalam
mungkin bisik alam dilangit pikirmu
Adakah baramu…

“beberapa ada yang mulai beranjak”

Ooo…
Kulihat amarah diwajahmu
Kepal yang tampak meruncing
Seperti sinis pandangmu
mengecam dan menuduh kejam
Pada sajakku yang hitam

“dan yang sadar kembali pulang
yang mimpi tetap terpasung”

CERITA SAHABAT

Jalan ini panjang sobat
Penuh batu dan berlubang
Kadang serakah pada umur
Dan kau pun tau tentang debu

Tapi, semua terlihat jalan
yang papah, yang bosan,
yang luka, yang tegap
Hanya saja likunya melelahkan

Disepanjang sisinya
ada jendela-jendela mengintip
pintu-pintu yang menganga
dan juga tiada atap

Semua bisa ada padamu
Itupun jika kau mau
menambah sedikit tanya

Dan sebelum kepastian tiba
dengarkanlah dulu…
(Hei.. dengarkan dulu..)
Apakah nasib cerita tanpa telinga
seperti ditikam sahabat
Apakah nasib telinga tanpa cerita
seperti cetek, dangkal

Tak ada pilihan untuk berjalan
hanya saja jalan mana lalumu
yang terus mengulur pada umur

Dalam jejak terkumpul
jangan hentikan selain waktu
Karena jarak selalu ada
Dan setiap tuju tiada akhir

Di bayang jiwamu
Kulihat lelah menjadi tua
yang kelabu menerka jarak
dan, tiada sisa untuk melangkah
“Cukup” katamu
“untuk kepastian yang tertunda
kukembalikan pada waktu”

Dan akupun menjadi tau,
Agar esok kutinggalkan
kain dan doa padamu..

07 Januari 2009

KEPADA SYAIR UNGGU

Kerut keningnya sedatar bumi.

cerlang mata seluas hatinya.

langit pikir yang membiru

selimuti laut kami…

Kata-katamu berbicara.

Entah... (bisa-kah itu ada?)


Kita semua berbicara.

ada waktu ada henti,

lingkaran,

pun isi dan luas…

yang tumbuh,

tiada batas…

“serupa rumit jiwa”


adakah lelah itu sejenak.?

-yang tak bergerak juga tak diam,

semua warna-

kita…

kau…

entah… (bisa ini benar ada.!)


indahlah pada dasarnya

bermula air

mengalir..

seliuk ular

tubuh semesta..

mengkristal di awan,

dan diam…

“yang padat sempurna”


juga kosong

mengintai.

menjadi deras…

dingin…

liar…

sejuk… (bisa ini berbisa…)

-yang tak bergerak juga tak diam,

setiap sudut-

02 Januari 2009

SYAIR BIRU

Dan aku percaya,
hal ini bukan untukmu,
tidak juga kepadaku.
Kita..

hingga jadilah sebuah syair:

dengan sepuas matanya
dengan seluas jiwanya
dan sejernih hati
se-semesta

dan seketika itu;
kita berdiri dibibirnya
memandangi laut,
biru.
serupa langit
seperti satu

seperti sebuah kelahiran;
yang indah sekaligus mengancam,
mati.

25des..