Kemarin malam ia datang padaku, katanya
Ingin mencoba mengadu nasip di dunia nyata
“Memangnya kau mampu? Apa senjatamu?” Tanyaku.
“Ya jarimu, apa lagi senjata sajak kalau bukan
pena dan lembar kosong,” katanya.
“Lembar kosong..! Otakmu yang kosong
Kau pikir semudah itu bertarung di dunia nyata.”
Sedikit sewot aku dibuatnya
“Apa salahnya sih coba-coba, sapa tau jadi candu
kan nikmat, tinggal duduk-duduk di depan layar
kutak-katik kata jadi makna, menang, kenyang.
Daripada sepi-sepian sambil mimpi, pusing sendiri
Lirik-lirik gadis impian tapi takut ditinggal sunyi.”
“Hei jak.., kalau soal gadis bukan urusanmu
jangan buka-buka kartu dong, malu nanti dibaca orang!
Tapi, berani kau bertarung dengan sajak-sajak biru
sajak-sajak ungu, sajak kelabu, sajak batu.
Sedangkan kau cuma sajak hijau.”
Tegasku tanpa maksud menyidir, dan pergi
Paginya, aku dibangunkan matahari
yang masuk menembus jendela, hordeng dan kelopak mataku
Katanya, “selamat pagi penyair kesiangan
selamat datang di duniaku.”
Dan aku terbangun tanpa sajak-sajakku di meja
Hanya satu bait saja yang tersisa, “selamat jalan pengangguran, sukses.”
Berminggu-minggu, berbulan-bulan tak ada kabar
Aku merindukannya, kutelepon bu dokter, tak ada
ku tanya pak polisi tak ada, di koran-koran tak ada
di majalah-majalah juga tak ada, buku-buku apalagi
“Ah.., paling-paling dia sudah mati ditikam mantra.”
Satu tahun kemudian, seorang penyair menelponku
Katanya sajak-sajakku terkapar di terasnya, berlumur darah
membawa piala dan senjata. “Sajakmu telah mati dengan tenang
sempurna oleh waktu, tapi bukan di negeri sendiri.”
Nada penyair itu sedikit bangga, sedikit sedih
Dan aku termenung, teringat kata-kata sajakku
“apa salahnya coba-coba, sapa tau jadi candu, menang, kenyang.”
-ruangbisu, 0309-
Aku ingin membacamu dengan khusyuk, bagai sebuah Kitab. Lalu aku akan tinggal diam di dalam hatimu untuk membaca diriku sendiri.
02 Maret 2009
DERMAGA KAYU
Segumpal isyarat yang terlontar dari senyummu, menyala membakar
Bersarang diantara ilalang-ilalang kering diatas tanah yang tandus
Mengobarkan api yang sendiri, menyepi diantara syair-syair membatu
Melampaui pulau-pulau rindu yang menumpuk tersusun waktu
Merayapkan suhu hangat dalam tubuh, memupuk panas membara
Di hari itu malam berkabut gelap mendekapku, mengaburkan pandangmu
Sesatkan pesan-pesan yang ku lepaskan di udara, menuju dermaga kayu
Terhanyut haru laut biru, menantang diterpa angin, tenggelam dalam dunia
Sungguh sesal terlepas liar dari ingatan itu, yang tak mungkin lagi memudar
Sebab segores saja, kan terus membekas sepanjang lembar-lembar sajakku
Di atas aspal telapak tanganmu pernah kugoreskan sebait kata-kata
bukan sebagai perangkap akan duniaku yang penuh isyarat
Di jendela kamarmu pernah ku-sisipkan selendang hitam
bukan warna yang ku mau, tapi kuharap mampu menghangatkanmu
Di lembar hijau daun, di kelopak-kelopak matamu ingin juga kutorehkan
sebuah isyarat bisu;
bukan lagi tentang cinta di bumi, melainkan kasih yang memberi
Di kemudian hari malam menjadi seterang pandang yang nyata
Ada kau disana bersama bayanganmu, aku disini tak terbayangkan
Sepandang, dua pandang cukuplah sudah, isyaratmu kini mati
Dan aku pulang sambil menimbang-nimbang angka kekalahan
Mengorek-ngorek lagi mimpi, membuangnya dari masa lalu
Padamkan api untukmu, mundur-teratur, hilang ditengah ilalang
Mencari-cari pesan yang tersesat, dan ku-ukir di dermaga kayu
Sudutkotak, 0209
Bersarang diantara ilalang-ilalang kering diatas tanah yang tandus
Mengobarkan api yang sendiri, menyepi diantara syair-syair membatu
Melampaui pulau-pulau rindu yang menumpuk tersusun waktu
Merayapkan suhu hangat dalam tubuh, memupuk panas membara
Di hari itu malam berkabut gelap mendekapku, mengaburkan pandangmu
Sesatkan pesan-pesan yang ku lepaskan di udara, menuju dermaga kayu
Terhanyut haru laut biru, menantang diterpa angin, tenggelam dalam dunia
Sungguh sesal terlepas liar dari ingatan itu, yang tak mungkin lagi memudar
Sebab segores saja, kan terus membekas sepanjang lembar-lembar sajakku
Di atas aspal telapak tanganmu pernah kugoreskan sebait kata-kata
bukan sebagai perangkap akan duniaku yang penuh isyarat
Di jendela kamarmu pernah ku-sisipkan selendang hitam
bukan warna yang ku mau, tapi kuharap mampu menghangatkanmu
Di lembar hijau daun, di kelopak-kelopak matamu ingin juga kutorehkan
sebuah isyarat bisu;
bukan lagi tentang cinta di bumi, melainkan kasih yang memberi
Di kemudian hari malam menjadi seterang pandang yang nyata
Ada kau disana bersama bayanganmu, aku disini tak terbayangkan
Sepandang, dua pandang cukuplah sudah, isyaratmu kini mati
Dan aku pulang sambil menimbang-nimbang angka kekalahan
Mengorek-ngorek lagi mimpi, membuangnya dari masa lalu
Padamkan api untukmu, mundur-teratur, hilang ditengah ilalang
Mencari-cari pesan yang tersesat, dan ku-ukir di dermaga kayu
Sudutkotak, 0209
Gila Harga Mati
Ia berjalan tanpa sehelaipun kain selimuti tubuhnya
Melintasi jembatan kokoh yang memotong, melambungi sungai Klayan
Parasnya masih segar terbasuh senja, jalannya tegap peduli setan
dan belalainya seperti tak mampu lagi mengendus, terjulur kaku
“Jangankan pakaian perutku saja sudah mati tertikam malu,
dan sekarang tak ada lagi harga yang harus ku bayar,”
suaranya sungguh tegas
Langkahnya menerawangi waktu, menjelajahi dunia asing di kepalaku
seperti rasa keringat pada telapak kakinya, begitu asin bercampur kerak
Telinganya dengungkan berbagai macam persoalan, tentang hidup
tentang mimpi, tentang nyata dan tiada
Matanya bernyanyi di sepanjang waktu, mengedip-ngedip pada jalan
pada poster-poster pemilu, pada anak-anak sekolah yang mengejeknya
Rambut yang hampir sama dengan warna kulitnya, isyaratkan jarak
yang panjang tak-beraturan, diterpa bau alam
Dan indra lainnya tak mampu lagi kubaca
Diantara lalu-lalang becak, angkot, merzedes-benz, dan aku
Lengannya mengepak berkali-kali dan membawanya pergi
menyusuri lorong-lorong pasar yang berliku, menyapa setiap mata
yang meraba tubuhnya. Mencabuli udara sore yang mulai menguning
“Mungkin menggelikan bagimu, tapi bagiku mengembalikan apa yang bukan padaku
karena tak ada lagi harga yang mampu ku bayar.”
Bisiknya sambil tersenyum kepada angin yang selalu setia menyelimutinya
dan tak-kan pernah tertidur
Dipucuk hijau malam, diguguran syair-syair unggu, diantara tumpukan yang terhempas
punggungnya mendatar pada tanya yang makin menua
Hayalnya mulai menyata, dahinya makin berkerut, dan matanya remuk padam berkaca
Ditemukannya langit yang hilang, bulan yang tenggelam, serta bintang yang pudar
“Setidaknya aku masih memiliki doa malam ini, memohon agar tidak ada lagi harga.”
Dan esok, jarum jam memutar kembali waktu
cairkan sungai yang beku, mengalir pada lembar kaku
-Banjarmasin, 1208-
Melintasi jembatan kokoh yang memotong, melambungi sungai Klayan
Parasnya masih segar terbasuh senja, jalannya tegap peduli setan
dan belalainya seperti tak mampu lagi mengendus, terjulur kaku
“Jangankan pakaian perutku saja sudah mati tertikam malu,
dan sekarang tak ada lagi harga yang harus ku bayar,”
suaranya sungguh tegas
Langkahnya menerawangi waktu, menjelajahi dunia asing di kepalaku
seperti rasa keringat pada telapak kakinya, begitu asin bercampur kerak
Telinganya dengungkan berbagai macam persoalan, tentang hidup
tentang mimpi, tentang nyata dan tiada
Matanya bernyanyi di sepanjang waktu, mengedip-ngedip pada jalan
pada poster-poster pemilu, pada anak-anak sekolah yang mengejeknya
Rambut yang hampir sama dengan warna kulitnya, isyaratkan jarak
yang panjang tak-beraturan, diterpa bau alam
Dan indra lainnya tak mampu lagi kubaca
Diantara lalu-lalang becak, angkot, merzedes-benz, dan aku
Lengannya mengepak berkali-kali dan membawanya pergi
menyusuri lorong-lorong pasar yang berliku, menyapa setiap mata
yang meraba tubuhnya. Mencabuli udara sore yang mulai menguning
“Mungkin menggelikan bagimu, tapi bagiku mengembalikan apa yang bukan padaku
karena tak ada lagi harga yang mampu ku bayar.”
Bisiknya sambil tersenyum kepada angin yang selalu setia menyelimutinya
dan tak-kan pernah tertidur
Dipucuk hijau malam, diguguran syair-syair unggu, diantara tumpukan yang terhempas
punggungnya mendatar pada tanya yang makin menua
Hayalnya mulai menyata, dahinya makin berkerut, dan matanya remuk padam berkaca
Ditemukannya langit yang hilang, bulan yang tenggelam, serta bintang yang pudar
“Setidaknya aku masih memiliki doa malam ini, memohon agar tidak ada lagi harga.”
Dan esok, jarum jam memutar kembali waktu
cairkan sungai yang beku, mengalir pada lembar kaku
-Banjarmasin, 1208-
AYAHKU SAJAK
Hari itu kupaksakan syairku bersenandung
karena sunyi berdiam diri dan sepi entah kemana
sembunyi-sembunyi kunikmat sebatang candu ayahku
Di malam itu kupaksa syairku naik perahu kayu
aku berkata padanya tidak akan tinggal janji
walaupun hanya sebatas awan, asalkan teduh
Malam itu pula aku tidur diatas syairku, kelelahan
setelah lama bercumbu, terbakar nafsu
kini, syairku hamil tujuh bulan
Dua bulan berlalu waktu ditunggu
syairku melahirkan syairku
kutimang tiada ragu, seperti lagu
Syairku sayang jangan jadi malang, suatu saat nanti kau dikenang
Syairku sayang tumbuh mengembang, kelak nanti kau jadi kembang
Syairku sayang, dewasa nanti semoga kau bertemu penyair tampan
yang mampu kendalikan nafsu
dan mencumbumu dalam buku
melahirkan sajak-sajak baru
-ruangbisu, 0209-
karena sunyi berdiam diri dan sepi entah kemana
sembunyi-sembunyi kunikmat sebatang candu ayahku
Di malam itu kupaksa syairku naik perahu kayu
aku berkata padanya tidak akan tinggal janji
walaupun hanya sebatas awan, asalkan teduh
Malam itu pula aku tidur diatas syairku, kelelahan
setelah lama bercumbu, terbakar nafsu
kini, syairku hamil tujuh bulan
Dua bulan berlalu waktu ditunggu
syairku melahirkan syairku
kutimang tiada ragu, seperti lagu
Syairku sayang jangan jadi malang, suatu saat nanti kau dikenang
Syairku sayang tumbuh mengembang, kelak nanti kau jadi kembang
Syairku sayang, dewasa nanti semoga kau bertemu penyair tampan
yang mampu kendalikan nafsu
dan mencumbumu dalam buku
melahirkan sajak-sajak baru
-ruangbisu, 0209-
Bang Jo
Kawanku terhisap ke lorong waktu..
padahal kemarin ia janji, mengarung malam denganku
naik perahu keliling-keliling kota, tanpa lepas jangkar
memancing putri-putri, menghitung jaraknya pagi
kemarin juga, kulihat wajahnya di stasiun-tv
menunggu kereta berjeruji besi
tangannya diikat mati, melangkah pucat-pasi
tapi yang pasti ia akan kembali
kabarnya, telah nyata waktumu, sudah putus
dua bintang kurang dua bulan
Amboy., lama juga semedimu
kelak nanti kau pasti semakin sakti, ber-arti
kawan, jangan ada suka dan duka nanti
hanya saja perhentianmu unik kali ini
berkelambu dinding-dinding sunyi
menerka-nerka masa sambil menyuci tumpukan mimpi
esok, ketika sempurna waktumu
kujemput kau dari sisi nyata
kuajak berlayar lagi
melepas rindu di laut biru
tapi ingat, jangan lupa ke darat lagi..
padahal kemarin ia janji, mengarung malam denganku
naik perahu keliling-keliling kota, tanpa lepas jangkar
memancing putri-putri, menghitung jaraknya pagi
kemarin juga, kulihat wajahnya di stasiun-tv
menunggu kereta berjeruji besi
tangannya diikat mati, melangkah pucat-pasi
tapi yang pasti ia akan kembali
kabarnya, telah nyata waktumu, sudah putus
dua bintang kurang dua bulan
Amboy., lama juga semedimu
kelak nanti kau pasti semakin sakti, ber-arti
kawan, jangan ada suka dan duka nanti
hanya saja perhentianmu unik kali ini
berkelambu dinding-dinding sunyi
menerka-nerka masa sambil menyuci tumpukan mimpi
esok, ketika sempurna waktumu
kujemput kau dari sisi nyata
kuajak berlayar lagi
melepas rindu di laut biru
tapi ingat, jangan lupa ke darat lagi..
Valentin Sudah Lewat
Di suatu bukit yang menjulang diantara puncak-puncak tinggi dunia
penyair itu terduduk merenung diatas batu andesit yang hitam
mengorek-ngorek mimpi dari hidungnya, membuangnya di udara
sepi, sunyi, malam
batu, pohon, awan
hijau, biru, kelabu
duduk, diam, sendiri
lagi, seperti kemarin-kemarin, asin…
dan terlintaslah ingatan tentang hari yang lalu..
hari cinta kasih sayang yang lewat tanpa sempat meninggalkan bunga
sebenarnya bunga apa saja pasti diterimanya..
entah itu bunga bakung, bunga layu, bunga bau, apalagi bunga bank
asalkan ada, nyata, biarpun palsu-palsu deh..
kalau katanya Chairil Anwar sih, “mampus kau dikoyak-koyak sepi”
setelah beberapa lama ia termenung
sebuah rasa tiba-tiba saja datang
dihantar oleh angin yang risau
menyelinap melalui pori-pori
berdiam diri sejenak, kemudian
menyerang seperti perompak
lalu, penyair itu berdiri tegap, sigap
menarik napas panjang
dan berteriak lepas, “Cintaaaaa…brrutt…”
tiba-tiba saja mulut bawahnya ikut berteriak, semburkan air liurnya..
Hehehe..piss.. :-PB-)..
penyair itu terduduk merenung diatas batu andesit yang hitam
mengorek-ngorek mimpi dari hidungnya, membuangnya di udara
sepi, sunyi, malam
batu, pohon, awan
hijau, biru, kelabu
duduk, diam, sendiri
lagi, seperti kemarin-kemarin, asin…
dan terlintaslah ingatan tentang hari yang lalu..
hari cinta kasih sayang yang lewat tanpa sempat meninggalkan bunga
sebenarnya bunga apa saja pasti diterimanya..
entah itu bunga bakung, bunga layu, bunga bau, apalagi bunga bank
asalkan ada, nyata, biarpun palsu-palsu deh..
kalau katanya Chairil Anwar sih, “mampus kau dikoyak-koyak sepi”
setelah beberapa lama ia termenung
sebuah rasa tiba-tiba saja datang
dihantar oleh angin yang risau
menyelinap melalui pori-pori
berdiam diri sejenak, kemudian
menyerang seperti perompak
lalu, penyair itu berdiri tegap, sigap
menarik napas panjang
dan berteriak lepas, “Cintaaaaa…brrutt…”
tiba-tiba saja mulut bawahnya ikut berteriak, semburkan air liurnya..
Hehehe..piss.. :-PB-)..
Doa si Kecil
Tibalah kita di atas sebuah bukit yang terjal seperti Golgota
Ia pun berlutut pada batu besar yang cadas, dan berdoa
Begini bunyinya,
“bapa sudah lama aku tidak makan buah-buah firmanmu
sebab aku kini telah memiliki pokok anggur, berbuah kata-kata
bapa sudah lama aku tidak minum dari cawanmu
sebab aku kini telah memiliki nampan putih, seperti suci
bapa sempurnakanlah aku seperti biji yang mampu memindahkan gunung
seperti tongkat yang membelah lautan, seperti air yang menjadi anggur
bapa., mama mana ya..? Adik ngompol lagi tuh, sedangkan abang lagi asik dengan anggurnya...”
Dan tiba-tiba ibu guru berteriak di dalam kelas,
“Serapim., kamu mengigau lagi ya, sana, cuci mukamu, rambutmu
badanmu juga, mandi saja sekalian biar tak bau satu ruangan.”
Ia pun pergi, dengan penuh tanda tanya..???
(padahal yang lainnya juga tertidur di kelas itu, mendengkur tanpa mimpi..)
“mungkin mulutnya yang terlalu dekat dengan hidung.”
-ruangbisu,0109-
Ia pun berlutut pada batu besar yang cadas, dan berdoa
Begini bunyinya,
“bapa sudah lama aku tidak makan buah-buah firmanmu
sebab aku kini telah memiliki pokok anggur, berbuah kata-kata
bapa sudah lama aku tidak minum dari cawanmu
sebab aku kini telah memiliki nampan putih, seperti suci
bapa sempurnakanlah aku seperti biji yang mampu memindahkan gunung
seperti tongkat yang membelah lautan, seperti air yang menjadi anggur
bapa., mama mana ya..? Adik ngompol lagi tuh, sedangkan abang lagi asik dengan anggurnya...”
Dan tiba-tiba ibu guru berteriak di dalam kelas,
“Serapim., kamu mengigau lagi ya, sana, cuci mukamu, rambutmu
badanmu juga, mandi saja sekalian biar tak bau satu ruangan.”
Ia pun pergi, dengan penuh tanda tanya..???
(padahal yang lainnya juga tertidur di kelas itu, mendengkur tanpa mimpi..)
“mungkin mulutnya yang terlalu dekat dengan hidung.”
-ruangbisu,0109-
Langganan:
Postingan (Atom)