Ia berjalan tanpa sehelaipun kain selimuti tubuhnya
Melintasi jembatan kokoh yang memotong, melambungi sungai Klayan
Parasnya masih segar terbasuh senja, jalannya tegap peduli setan
dan belalainya seperti tak mampu lagi mengendus, terjulur kaku
“Jangankan pakaian perutku saja sudah mati tertikam malu,
dan sekarang tak ada lagi harga yang harus ku bayar,”
suaranya sungguh tegas
Langkahnya menerawangi waktu, menjelajahi dunia asing di kepalaku
seperti rasa keringat pada telapak kakinya, begitu asin bercampur kerak
Telinganya dengungkan berbagai macam persoalan, tentang hidup
tentang mimpi, tentang nyata dan tiada
Matanya bernyanyi di sepanjang waktu, mengedip-ngedip pada jalan
pada poster-poster pemilu, pada anak-anak sekolah yang mengejeknya
Rambut yang hampir sama dengan warna kulitnya, isyaratkan jarak
yang panjang tak-beraturan, diterpa bau alam
Dan indra lainnya tak mampu lagi kubaca
Diantara lalu-lalang becak, angkot, merzedes-benz, dan aku
Lengannya mengepak berkali-kali dan membawanya pergi
menyusuri lorong-lorong pasar yang berliku, menyapa setiap mata
yang meraba tubuhnya. Mencabuli udara sore yang mulai menguning
“Mungkin menggelikan bagimu, tapi bagiku mengembalikan apa yang bukan padaku
karena tak ada lagi harga yang mampu ku bayar.”
Bisiknya sambil tersenyum kepada angin yang selalu setia menyelimutinya
dan tak-kan pernah tertidur
Dipucuk hijau malam, diguguran syair-syair unggu, diantara tumpukan yang terhempas
punggungnya mendatar pada tanya yang makin menua
Hayalnya mulai menyata, dahinya makin berkerut, dan matanya remuk padam berkaca
Ditemukannya langit yang hilang, bulan yang tenggelam, serta bintang yang pudar
“Setidaknya aku masih memiliki doa malam ini, memohon agar tidak ada lagi harga.”
Dan esok, jarum jam memutar kembali waktu
cairkan sungai yang beku, mengalir pada lembar kaku
-Banjarmasin, 1208-
Tidak ada komentar:
Posting Komentar