Di suatu bukit yang menjulang diantara puncak-puncak tinggi dunia
penyair itu terduduk merenung diatas batu andesit yang hitam
mengorek-ngorek mimpi dari hidungnya, membuangnya di udara
sepi, sunyi, malam
batu, pohon, awan
hijau, biru, kelabu
duduk, diam, sendiri
lagi, seperti kemarin-kemarin, asin…
dan terlintaslah ingatan tentang hari yang lalu..
hari cinta kasih sayang yang lewat tanpa sempat meninggalkan bunga
sebenarnya bunga apa saja pasti diterimanya..
entah itu bunga bakung, bunga layu, bunga bau, apalagi bunga bank
asalkan ada, nyata, biarpun palsu-palsu deh..
kalau katanya Chairil Anwar sih, “mampus kau dikoyak-koyak sepi”
setelah beberapa lama ia termenung
sebuah rasa tiba-tiba saja datang
dihantar oleh angin yang risau
menyelinap melalui pori-pori
berdiam diri sejenak, kemudian
menyerang seperti perompak
lalu, penyair itu berdiri tegap, sigap
menarik napas panjang
dan berteriak lepas, “Cintaaaaa…brrutt…”
tiba-tiba saja mulut bawahnya ikut berteriak, semburkan air liurnya..
Hehehe..piss.. :-PB-)..
Tidak ada komentar:
Posting Komentar