02 Maret 2009

SAJAKKU SANG PETARUNG

Kemarin malam ia datang padaku, katanya
Ingin mencoba mengadu nasip di dunia nyata
“Memangnya kau mampu? Apa senjatamu?” Tanyaku.
“Ya jarimu, apa lagi senjata sajak kalau bukan
pena dan lembar kosong,” katanya.
“Lembar kosong..! Otakmu yang kosong
Kau pikir semudah itu bertarung di dunia nyata.”
Sedikit sewot aku dibuatnya

“Apa salahnya sih coba-coba, sapa tau jadi candu
kan nikmat, tinggal duduk-duduk di depan layar
kutak-katik kata jadi makna, menang, kenyang.
Daripada sepi-sepian sambil mimpi, pusing sendiri
Lirik-lirik gadis impian tapi takut ditinggal sunyi.”

“Hei jak.., kalau soal gadis bukan urusanmu
jangan buka-buka kartu dong, malu nanti dibaca orang!
Tapi, berani kau bertarung dengan sajak-sajak biru
sajak-sajak ungu, sajak kelabu, sajak batu.
Sedangkan kau cuma sajak hijau.”
Tegasku tanpa maksud menyidir, dan pergi

Paginya, aku dibangunkan matahari
yang masuk menembus jendela, hordeng dan kelopak mataku
Katanya, “selamat pagi penyair kesiangan
selamat datang di duniaku.”
Dan aku terbangun tanpa sajak-sajakku di meja
Hanya satu bait saja yang tersisa, “selamat jalan pengangguran, sukses.”


Berminggu-minggu, berbulan-bulan tak ada kabar
Aku merindukannya, kutelepon bu dokter, tak ada
ku tanya pak polisi tak ada, di koran-koran tak ada
di majalah-majalah juga tak ada, buku-buku apalagi
“Ah.., paling-paling dia sudah mati ditikam mantra.”

Satu tahun kemudian, seorang penyair menelponku
Katanya sajak-sajakku terkapar di terasnya, berlumur darah
membawa piala dan senjata. “Sajakmu telah mati dengan tenang
sempurna oleh waktu, tapi bukan di negeri sendiri.”
Nada penyair itu sedikit bangga, sedikit sedih
Dan aku termenung, teringat kata-kata sajakku
“apa salahnya coba-coba, sapa tau jadi candu, menang, kenyang.”

-ruangbisu, 0309-

2 komentar:

Anonim mengatakan...

walking, ketemu blog puitis.. :) nongkrong dulu sebentar ah..

@neze mengatakan...

Telah berbaring dengan senang
Sajak pemadat kata,
yang lahir kedunia
sebagai karunia
lewat rahim akal pena