Segumpal isyarat yang terlontar dari senyummu, menyala membakar
Bersarang diantara ilalang-ilalang kering diatas tanah yang tandus
Mengobarkan api yang sendiri, menyepi diantara syair-syair membatu
Melampaui pulau-pulau rindu yang menumpuk tersusun waktu
Merayapkan suhu hangat dalam tubuh, memupuk panas membara
Di hari itu malam berkabut gelap mendekapku, mengaburkan pandangmu
Sesatkan pesan-pesan yang ku lepaskan di udara, menuju dermaga kayu
Terhanyut haru laut biru, menantang diterpa angin, tenggelam dalam dunia
Sungguh sesal terlepas liar dari ingatan itu, yang tak mungkin lagi memudar
Sebab segores saja, kan terus membekas sepanjang lembar-lembar sajakku
Di atas aspal telapak tanganmu pernah kugoreskan sebait kata-kata
bukan sebagai perangkap akan duniaku yang penuh isyarat
Di jendela kamarmu pernah ku-sisipkan selendang hitam
bukan warna yang ku mau, tapi kuharap mampu menghangatkanmu
Di lembar hijau daun, di kelopak-kelopak matamu ingin juga kutorehkan
sebuah isyarat bisu;
bukan lagi tentang cinta di bumi, melainkan kasih yang memberi
Di kemudian hari malam menjadi seterang pandang yang nyata
Ada kau disana bersama bayanganmu, aku disini tak terbayangkan
Sepandang, dua pandang cukuplah sudah, isyaratmu kini mati
Dan aku pulang sambil menimbang-nimbang angka kekalahan
Mengorek-ngorek lagi mimpi, membuangnya dari masa lalu
Padamkan api untukmu, mundur-teratur, hilang ditengah ilalang
Mencari-cari pesan yang tersesat, dan ku-ukir di dermaga kayu
Sudutkotak, 0209
Tidak ada komentar:
Posting Komentar