Kami ini denyut nadi Negeri ini,
jika kau sungguh jantung..
Detak-kan lagi waktu,
hingga ke ujung-ujung satu..
(sebab kami seperti sama dan tak beda)
Mari,
sempurnakan nyata
pada dada yang sama..
Jika kau memang ada
Bersama..
(karena kami anak dari ibu pertiwi)
Kemudikan mimpi kami
kearah tujunya
seperti pasti
mengaca pada Pencipta..
(kami merah dan putih penjaga tiangmu)
Mampu,
kan pasti terjadi
Disini..
di sajak-sajak kami
Ada denyut Negrimu..
(tempat darah kami mengalir)
Aku ingin membacamu dengan khusyuk, bagai sebuah Kitab. Lalu aku akan tinggal diam di dalam hatimu untuk membaca diriku sendiri.
27 April 2009
16 April 2009
AIR
bah, tak sempat kau bangunkan aku dulu
bah, begitu cepat kau lumat saat senyap
bah, kugulung kau nanti: seperti kau gulung kami
-situgintung-
bah, begitu cepat kau lumat saat senyap
bah, kugulung kau nanti: seperti kau gulung kami
-situgintung-
12 April 2009
SEPERTI RINDU
Dingin ingin membunuhku
Menyerang dari segala penjuru
Kini melekat sungguh di tubuh
Aku terperangkap hujan yang menyerbu
Di tempat asing kini ku berteduh
Berhayal hangat sesosok tubuh
Yang mungkin datang untuk berlalu
Ini seperti rindu;
yang hinggap di bulu matamu
-babel-
Menyerang dari segala penjuru
Kini melekat sungguh di tubuh
Aku terperangkap hujan yang menyerbu
Di tempat asing kini ku berteduh
Berhayal hangat sesosok tubuh
Yang mungkin datang untuk berlalu
Ini seperti rindu;
yang hinggap di bulu matamu
-babel-
KEPADA SEBUAH CINTA
Karena melihat kau juga seperti buta
dan mendengar menjadikanmu tuli
Hingga bicaramu tak lagi penuh arti
ada waktu yang berenkarnasi, berlalu
Saat malam berganti, tiada lagi rindu
luka yang meliau kini berbuah tahir
Pada cinta yang terbelah, membias
Meleburkan diri di-diamnya sunyi
Menanti anak panah menikam lagi
-lalu-
dan mendengar menjadikanmu tuli
Hingga bicaramu tak lagi penuh arti
ada waktu yang berenkarnasi, berlalu
Saat malam berganti, tiada lagi rindu
luka yang meliau kini berbuah tahir
Pada cinta yang terbelah, membias
Meleburkan diri di-diamnya sunyi
Menanti anak panah menikam lagi
-lalu-
KAU PUISIKU
aku ingin memilikimu seperti jantung;
dalam detaknya terasa,
menghidupkan
aku ingin menyentuhmu ke dalam hati;
selembut selimut awan,
menyejukkan hari
aku ingin kamu;
seperti pagi dan mentari
-ail-
dalam detaknya terasa,
menghidupkan
aku ingin menyentuhmu ke dalam hati;
selembut selimut awan,
menyejukkan hari
aku ingin kamu;
seperti pagi dan mentari
-ail-
ABU-ABU
yang telah memudar karena tindak,
juga ada dalam kelam,
menjadi duri akan warna.
yang telah hina untuk tumbuh,
juga kotor karena malu,
menjadi musuh oleh tabu.
seseorang mengaduk warna dalam hidup,
antara hitam dan putih,
menjadikannya abu-abu.
-abu-
juga ada dalam kelam,
menjadi duri akan warna.
yang telah hina untuk tumbuh,
juga kotor karena malu,
menjadi musuh oleh tabu.
seseorang mengaduk warna dalam hidup,
antara hitam dan putih,
menjadikannya abu-abu.
-abu-
KEKASIH YANG MATI
Ada apa di hatimu,kekasih
saat malam berbisik pada bulan purnama
kau telah lupa
Kenapa ada ragumu, kekasih
saat perlahan jelajah suciku menyergap
kau hilang dalam senyap
Kekasih, baca jiwamu dikala sunyi
dalam kenang aku hadir tiada lagi rasa
karena kau seharum melati..
-lalu-
saat malam berbisik pada bulan purnama
kau telah lupa
Kenapa ada ragumu, kekasih
saat perlahan jelajah suciku menyergap
kau hilang dalam senyap
Kekasih, baca jiwamu dikala sunyi
dalam kenang aku hadir tiada lagi rasa
karena kau seharum melati..
-lalu-
SELAMAT PAGI
Hari lalu lagi
Hayal terus bernyanyi
Merdu disapa sunyi
Angan harus lari
Kicau burung temani hari
Siul pagi hinggap di sisi
Menanti fajar tumbuh di hati
Dalam intip matahari
-pagi-
Hayal terus bernyanyi
Merdu disapa sunyi
Angan harus lari
Kicau burung temani hari
Siul pagi hinggap di sisi
Menanti fajar tumbuh di hati
Dalam intip matahari
-pagi-
MALAM
Malamku yang pilu
Damai sunyi bersenandung
Membungkam segala sepi
Menari diatas irama suci
Menanti dicengkram pagi
-rk-
Damai sunyi bersenandung
Membungkam segala sepi
Menari diatas irama suci
Menanti dicengkram pagi
-rk-
AKU
Aku
Tak ingin sepi tiada arti, ketika berdiri terkadang sendiri, seperti mati tertumpuk melati
aku menggenggam masa pada mimpi, kuasa padam saat terang berganti, ingin pasti menjadi inti. Terpasung mimpi-mimpi.
Aku
Tak ingin diam dalam syair, bersembunyi ditengah kabut sunyi, ingin menyibak dan pergi
aku seperti menanti kesejatian tertinggi, menutup mata dan berkaca kepada doa-doa lama
menanti diri, disucikan jari-jari…
Aku
Tak ingin ada akhir, yang datang seperti martir, berkorban kepada ramai pedang api
menahan merah garang, menggapai langit padam. Aku tengah mengukir tingkap dunia
bait demi bait…
Tak ingin sepi tiada arti, ketika berdiri terkadang sendiri, seperti mati tertumpuk melati
aku menggenggam masa pada mimpi, kuasa padam saat terang berganti, ingin pasti menjadi inti. Terpasung mimpi-mimpi.
Aku
Tak ingin diam dalam syair, bersembunyi ditengah kabut sunyi, ingin menyibak dan pergi
aku seperti menanti kesejatian tertinggi, menutup mata dan berkaca kepada doa-doa lama
menanti diri, disucikan jari-jari…
Aku
Tak ingin ada akhir, yang datang seperti martir, berkorban kepada ramai pedang api
menahan merah garang, menggapai langit padam. Aku tengah mengukir tingkap dunia
bait demi bait…
Cinta..
Berduyun-duyun akan datang menjumputmu
Membawa senjata-senjata rayu, dan belenggu
Sebagai pencipta sekaligus pembunuh
Membawa senjata-senjata rayu, dan belenggu
Sebagai pencipta sekaligus pembunuh
NYATA (terwujud)
Ini seperti mimpi yang menjelma nyata…
Tentang se-pasukan burung perkasa yang terbang jauh tinggi diatas kepala
Kulepaskan busur panah pangharapan, dengan tulus melesat senyap, tepat
Mengena pada jantung panglima angkasa…
Ini seperti mimpi, seperti juga nyata
Sungguh, perbedaan yang sempurna…
-terwujud-
Tentang se-pasukan burung perkasa yang terbang jauh tinggi diatas kepala
Kulepaskan busur panah pangharapan, dengan tulus melesat senyap, tepat
Mengena pada jantung panglima angkasa…
Ini seperti mimpi, seperti juga nyata
Sungguh, perbedaan yang sempurna…
-terwujud-
Patah
Karenamu, kemarau mencair di pangkuan bumi
Mengusap sepi dari mata yang menggigil
Merendah berserah patah
Mengaduh di telapak kaki ibu
Tentang ketiadaan yang menghujam
Mengusap sepi dari mata yang menggigil
Merendah berserah patah
Mengaduh di telapak kaki ibu
Tentang ketiadaan yang menghujam
PUISI PEMAKAMAN
Kami mengenalmu seperti lahir bersama dari perut bumi
Kami mengenalmu seperti saudara dalam suka maupun duka
Kami mengenalmu karena kau ada, dan akan selalu ada
Kami mengenalmu, mengenangmu, selalu
Kami mengantarmu dan melepasmu kembali
KepadaNya atas segala kuasaNya
-toing-
Kami mengenalmu seperti saudara dalam suka maupun duka
Kami mengenalmu karena kau ada, dan akan selalu ada
Kami mengenalmu, mengenangmu, selalu
Kami mengantarmu dan melepasmu kembali
KepadaNya atas segala kuasaNya
-toing-
LELAH
tak-kan lari gunung kukejar
tiada habisnya laut ku-kuras
seakan gila aku kau buat
menerka-nerka isyarat samarmu
mencari tanda di dinding malam
menjadi tersesat hilang pandang
terkapar lelah di ujung tanduk
-tuktem-
tiada habisnya laut ku-kuras
seakan gila aku kau buat
menerka-nerka isyarat samarmu
mencari tanda di dinding malam
menjadi tersesat hilang pandang
terkapar lelah di ujung tanduk
-tuktem-
DIA
Matanya
Pancarkan sejuta tanya tentang rindu
Langkah kakinya
Gemulai melambai menyibak sunyi
Panjang rambutnya
Menjulur damai hanyut dalam kalbu
Aku menunggunya di batas cakrawala
Aku menanti datangnya awan teduh
Yang sejuk dan tumbuh diatas pelangi
-kau-
Pancarkan sejuta tanya tentang rindu
Langkah kakinya
Gemulai melambai menyibak sunyi
Panjang rambutnya
Menjulur damai hanyut dalam kalbu
Aku menunggunya di batas cakrawala
Aku menanti datangnya awan teduh
Yang sejuk dan tumbuh diatas pelangi
-kau-
PARAS mu
tingginya melambai-semampai
berambut ombak hingga ke pundak
dalam hutan seperti bunga anggrek kunang
sinar matanya selengkung pagi
beraroma senja yang menunggu di bibir pantai
kuning bajumu ketika bertemu, bercahaya mentari
bibir merah, putih kulitmu
detakkan jantung, getarkan pita suaraku
sentuh matamu membungkam seisi duniaku
berambut ombak hingga ke pundak
dalam hutan seperti bunga anggrek kunang
sinar matanya selengkung pagi
beraroma senja yang menunggu di bibir pantai
kuning bajumu ketika bertemu, bercahaya mentari
bibir merah, putih kulitmu
detakkan jantung, getarkan pita suaraku
sentuh matamu membungkam seisi duniaku
-untuk AIL-
“puisi yang baru ingin kutulis
telah hinggap di bulu matamu
bergelayut bimbang dan terjatuh
di reruntuhan embun pagi”
telah hinggap di bulu matamu
bergelayut bimbang dan terjatuh
di reruntuhan embun pagi”
SIHIR PRAMUGARI
Kutatap matanya dalam-dalam
Coba alirkan rasa, sekejap saja
Seperti gigitan bibir yang menyihir
Senyum palsumu begitu menggoda
-bandara-
Coba alirkan rasa, sekejap saja
Seperti gigitan bibir yang menyihir
Senyum palsumu begitu menggoda
-bandara-
SERUPA
Kerut keningnya sedatar bumi.
cerlang mata seluas hati.
langit pikir yang membiru..
adakah lelah itu sejenak.?
yang tak bergerak juga tak diam
di semua warna, setiap sudut
kau, aku, entah..
tiada batas…
serupa rumit jiwa
yang padat sempurna
-penyairbiru-
cerlang mata seluas hati.
langit pikir yang membiru..
adakah lelah itu sejenak.?
yang tak bergerak juga tak diam
di semua warna, setiap sudut
kau, aku, entah..
tiada batas…
serupa rumit jiwa
yang padat sempurna
-penyairbiru-
NOSTALGIA (to immanuel)
Kau nikmat sisa batang milikku
hembuskan asap seputih salju
Kau tegukkan aku mimpi sucimu
melayangkan nyata diambang waktu
hembuskan asap seputih salju
Kau tegukkan aku mimpi sucimu
melayangkan nyata diambang waktu
KUINGIN JALAMU NYATA
Kukatakan padamu, jangan ragu untuk melemparkan jala walau takkan ada ikan di danauku. Mungkin hanya ada sepasang mata yang suka berenang disana diantara batu-batu dan akar-akar pohon.
Terkadang ia suka tenggelam mencari jejak-jejak alam hingga terlupa dan tersesat. Menyusuri akar-akar malam yang menjalar menuju pagi yang tak pernah dikenal. Inginnya jalamu nyata.
Walau kadang meninggalkan hari-hari untuk waktu yang seperti terhenti. Mencarimu diantara para pengail. Tapi tak cukup mampu mereka menarikku kedalam dunianya.
Terkadang ia suka tenggelam mencari jejak-jejak alam hingga terlupa dan tersesat. Menyusuri akar-akar malam yang menjalar menuju pagi yang tak pernah dikenal. Inginnya jalamu nyata.
Walau kadang meninggalkan hari-hari untuk waktu yang seperti terhenti. Mencarimu diantara para pengail. Tapi tak cukup mampu mereka menarikku kedalam dunianya.
-Rasa-
Tak ku sangka, ada rasa yang lebih melekat dari malam yang padat
Kini menikam tiba-tiba di dasar terdalam, hal yang sungguh ganjil
meski juga tak mustahil. Sesuatu yang telah tumbuh karena senyum sapa
Harusnya kubenamkan saja rasa ini di ruang bisu, seperti sebelum-sebelumnya
Merangkaikannya kata seindah bunga, kubaringkan di taman kupu-kupu
Membungkusnya dengan janji dan biarkan berkaca pada jernih mtahari
bermainkan seni-seni mimpi
Tapi ini begitu berbeda;
seperti mengoyak-ngoyak kesendirian
mengombang-ambingkan telaga malam
menumbuk-numbuk waktu yang malang
menghalau liar nyatanya hampa
menuju dermaga waktu
diatas sampan jinakkan badai
melaju, me-lagu, hentakkan ragu
mengetuk-ngetuk kelopak mata
bangunkanku dari tidur yang panjang
Mengapa diam yang ada padamu menghujani hari-hariku
begitu deras, ciptakan pelangi di kulit senja
semakin keras menggenggam tanya
yang tersembunyi dibalik matamu
Apabila boleh kata berkaca;
sungguh mati aku sungguh sepi
Kini menikam tiba-tiba di dasar terdalam, hal yang sungguh ganjil
meski juga tak mustahil. Sesuatu yang telah tumbuh karena senyum sapa
Harusnya kubenamkan saja rasa ini di ruang bisu, seperti sebelum-sebelumnya
Merangkaikannya kata seindah bunga, kubaringkan di taman kupu-kupu
Membungkusnya dengan janji dan biarkan berkaca pada jernih mtahari
bermainkan seni-seni mimpi
Tapi ini begitu berbeda;
seperti mengoyak-ngoyak kesendirian
mengombang-ambingkan telaga malam
menumbuk-numbuk waktu yang malang
menghalau liar nyatanya hampa
menuju dermaga waktu
diatas sampan jinakkan badai
melaju, me-lagu, hentakkan ragu
mengetuk-ngetuk kelopak mata
bangunkanku dari tidur yang panjang
Mengapa diam yang ada padamu menghujani hari-hariku
begitu deras, ciptakan pelangi di kulit senja
semakin keras menggenggam tanya
yang tersembunyi dibalik matamu
Apabila boleh kata berkaca;
sungguh mati aku sungguh sepi
SYAIR KEPADA LANGIT
Kami memohon satu bintang saja, dari sekian banyak yang selimuti malam
bila kau tak berkenan kapada kata-kami yang berlebih, maka aku-pun mampu
merawatnya menjadikan milik para petapa
Kepada halilintar boleh-lah jika sebatas menerangi gelap jalan menuju peluk ibu
agar rindu yang menggumpal, mencair di pangkuannya
untuk merendah berserah padam
Langkah ini makin gemetar dipaksa usia, meski tapak tak cukup gentar menghadap
jaman. Ketika hari makin sempurna dan lahir di tepi laut
Memulai kembali pencarian jejak-jejak masa depan, yang kadang terhempas di keramaian dan tersapu ombak masa lalu
Kadang menyudut pada dinding udara yang diam, kelabui mata karna bentuk
tersamar dalam sepi
Kami berdiri di padang-pandang yang sunyi, memuaskan makna yang luas
yang semakin liar seperti masih liar
Menunggu hujan yang ramah menjamah getir tubuh, sisa-kan sejuk pada pundi
pundi yang terbentuk dari tawa dan jerih, yang tersimpan untuk dahaga nanti
untuk dahaga ibu dan anak-anakmu
ketika nanti, saat terik bertamu
Kami terduduk dalam perahu, diatas bukit yang kau tunjukkan
Kami berlari tanpa tengok, menghindari petaka sucimu
seperti yang kau katakan, kami bertumbuh di tanah subur
seperti yang kau katakan, kami menui taburan rindu
seperti dalam buku, seperti syair lagu, seperti telah berlalu
Bila kata-kami terdengar berlebih, maka;
Aku memohon satu bintang saja
untuk menerangi perjalanan ini
temani aku dan perahuku
-perahukayu-
bila kau tak berkenan kapada kata-kami yang berlebih, maka aku-pun mampu
merawatnya menjadikan milik para petapa
Kepada halilintar boleh-lah jika sebatas menerangi gelap jalan menuju peluk ibu
agar rindu yang menggumpal, mencair di pangkuannya
untuk merendah berserah padam
Langkah ini makin gemetar dipaksa usia, meski tapak tak cukup gentar menghadap
jaman. Ketika hari makin sempurna dan lahir di tepi laut
Memulai kembali pencarian jejak-jejak masa depan, yang kadang terhempas di keramaian dan tersapu ombak masa lalu
Kadang menyudut pada dinding udara yang diam, kelabui mata karna bentuk
tersamar dalam sepi
Kami berdiri di padang-pandang yang sunyi, memuaskan makna yang luas
yang semakin liar seperti masih liar
Menunggu hujan yang ramah menjamah getir tubuh, sisa-kan sejuk pada pundi
pundi yang terbentuk dari tawa dan jerih, yang tersimpan untuk dahaga nanti
untuk dahaga ibu dan anak-anakmu
ketika nanti, saat terik bertamu
Kami terduduk dalam perahu, diatas bukit yang kau tunjukkan
Kami berlari tanpa tengok, menghindari petaka sucimu
seperti yang kau katakan, kami bertumbuh di tanah subur
seperti yang kau katakan, kami menui taburan rindu
seperti dalam buku, seperti syair lagu, seperti telah berlalu
Bila kata-kami terdengar berlebih, maka;
Aku memohon satu bintang saja
untuk menerangi perjalanan ini
temani aku dan perahuku
-perahukayu-
MAHKOTA HIJAU
Di hari yang masih subuh benar, ketika kelahiran akan tiba dengan setianya.
Kutemukan sepucuk Cinta tergeletak, terjatuh di reruntuhan embun pagi.
Melepaskan pandangnya ke ruang angkasa yang nampak semakin sunyi.
Dengan tatapan meredup pada waktu, yang lewat tanpa sempat menyapa
Menghentikan langkah kaki ini, mengukir jejak dalam syair…
Ah.. seperti Cinta yang kukenal dulu, ketika tercipta di ujung masa…
dia yang menempati dasar terdalam, menjadi inti kehidupan sempurna
dia yang menghangatkan dan juga membekukan semesta raya
dia yang dulu penuh kehijauan, begitu murni menyelimuti rasa
tapi kini begitu pucat tampak pada jubahnya…
lalu tiba-tiba saja, matanya memancarkan bait kata-kata:
“aku telah tiba diujung jarimu penyair hijau,
bawakan sekotak coklat untuk kekasihmu
dan bibit bunga sejati yang hampir layu
untuk tumbuh di dataran jiwamu”
“Bukan kuasa ini atas cintamu, Cinta. Melainkan sebaliknya.
Bila layu harus tumbuh tegar, maka indahlah pada nyata itu.
Diatas segala bermakna, biar kukibaskan kembali jubah hijaumu”
Dan ketika pagi telah lahir, ku-sisipkan Ia di buratan cahayanya.
Menari-nari lentik pada dinding udara, menemani senja ke laut biru.
Kemudian kepada hari-hari lagi, dibenamkannya Mahkota Hijau…
Mahkota Cinta Hijau nan lestari…
-pesertalombapuisihijau-
Kutemukan sepucuk Cinta tergeletak, terjatuh di reruntuhan embun pagi.
Melepaskan pandangnya ke ruang angkasa yang nampak semakin sunyi.
Dengan tatapan meredup pada waktu, yang lewat tanpa sempat menyapa
Menghentikan langkah kaki ini, mengukir jejak dalam syair…
Ah.. seperti Cinta yang kukenal dulu, ketika tercipta di ujung masa…
dia yang menempati dasar terdalam, menjadi inti kehidupan sempurna
dia yang menghangatkan dan juga membekukan semesta raya
dia yang dulu penuh kehijauan, begitu murni menyelimuti rasa
tapi kini begitu pucat tampak pada jubahnya…
lalu tiba-tiba saja, matanya memancarkan bait kata-kata:
“aku telah tiba diujung jarimu penyair hijau,
bawakan sekotak coklat untuk kekasihmu
dan bibit bunga sejati yang hampir layu
untuk tumbuh di dataran jiwamu”
“Bukan kuasa ini atas cintamu, Cinta. Melainkan sebaliknya.
Bila layu harus tumbuh tegar, maka indahlah pada nyata itu.
Diatas segala bermakna, biar kukibaskan kembali jubah hijaumu”
Dan ketika pagi telah lahir, ku-sisipkan Ia di buratan cahayanya.
Menari-nari lentik pada dinding udara, menemani senja ke laut biru.
Kemudian kepada hari-hari lagi, dibenamkannya Mahkota Hijau…
Mahkota Cinta Hijau nan lestari…
-pesertalombapuisihijau-
Langganan:
Postingan (Atom)