Lalu, tinggalkan abu tubuhku
dalam asbak waktu.
Aku ingin membacamu dengan khusyuk, bagai sebuah Kitab. Lalu aku akan tinggal diam di dalam hatimu untuk membaca diriku sendiri.
31 Juli 2012
Celana Baru
Biarpun tampangmu tampak bersih
seperti habis bercukur.
Saya tetap merindukan jiwamu yang
compang-camping.
Lampu Kamar
Tetaplah menyala, sebelum pagi
mengucilkanmu
Terangi anak-anakku menuju
lembar-lembar puisiku
Biarkan ibu yang akan mematikanmu
nanti
Setelah kita kalah berkelahi
dengan kata-kata
Telinga
Dengar suara, tatap nyanyian
sunyiku
Laksana doa-doa dari taman
Getsmani
Sebelum kupisahkan kau dari
kepalamu
Kawan-Kawan
Teman-teman mengunjungiku
Ada yang membawa pisau belati
Ada yang menggandeng botol minuman
Ada juga yang datang dengan penuh darah
Sebagian lagi membawa
kartu dan dadu
Kami berkumpul layaknya keluarga
Bicara ini, itu. Lempar sana, sini
Tendang, pukul, sikut, tusuk
Semua jurus keluar behamburan
Beberapa akhirnya jatuh tersungkur
Sisanya bertempur sampai pagi
Kamarku jadi kotor berantakan
Di sana-sini abu, muntah berserakan, darah berceceran
Keringat mengalir banjir bak air mata
Ayahku hanya tertawa geli
Hanya ibu yang sibuk membersihkan
Sedangkan aku.? Tak pernah ada di rumah.!
Lemak
Lemak tumbuh subur dibalik bajumu, celanamu.
Tulang-tulang yang dulu sering gigil kedinginan,
kini tampak resah oleh beban yang dipikulnya.
Ketika mandi, air tak lagi riang menyusuri lekuk-lekukmu.
Paling-paling hanya aku yang tak-kan pernah bosan-bosan
memelukmu sepanjang tubuh.
Mimpi Buruk
Tadi malam saya bermimpi sedang berlari.
Entah lari karena dikejar nasib atau lari mengejar nasib.
Tak ada bedanya, tapi yang pasti ini menyangkut soal nasi.
Yaa., hanya kurang satu huruf lah dengan nasib.
Kalau beruntung nasi bisa jadi sumber tenaga,
kalau tidak yah nasib juga bisa jadi tai.
Saya berlari sendiri seperti tak pernah lelah.
Menyusuri hutan-hutan, meja ke meja yang lain,
dari pintu ke pintu, surat ke surat, lalu tiba di jalan
besar.
Di jalan besar saya melihat orang-orang ramai membawa map
yang berisi angka-angka kosong, huruf-huruf buta
yang sudah basah dengan keringat dan air mata.
Kemudian saya lanjut berlari menuju sebuah jembatan kayu.
Dan tanpa sadar saya telah menjatuhkan Hp saya. “Sial.,
harta satu-satunya kini raib juga ke kolong jembatan.”
Tiba-tiba saya sudah
berada di sebuah pasar. Orang-orang berbisik curiga,
“mungkin dia pencuri tadi malam yang terpisah dari
gerombolannya.”
Yang lainnya berkata,
“dia mungkin orang gila baru karena kehilangan pekerjaan,
hingga ditinggal istrinya.”
Lalu seseorang yang terlihat seperti juga gila berteriak
kepada lainnya,
“bukan, ia hanya seorang penyair yang kehilangan kata-kata,
biarkan dia lewat.!”
Saya terus berlari, berlari dan berlari hingga akhirnya saya
terjatuh.
Dalam jatuh saya berdoa, “Tuhan setidaknya beri saya sepeda
saja,
agar lari saya bisa lebih cepat dan efektif. Tidak usah
motor,
nanti repot harus membeli bensin.”
Lalu saya terbangun, dan kudapati Hp diatas meja sedang berdering.
“Hallo selamat siang.”
“Ya selamat siang, bapak telah diterima kerja di perusahaan
kami.
Silahkan datang ke kantor kami hari senin nanti, terima
kasih.”
Aah.., saya jadi semakin bingung.!
Mau hidup diburu waktu atau hidup berburu kata.?
Kecupan Mesra
Tadi malam saya terjatuh dari ranjang baruku,
hingga benjol di sisi kanan jidad.
Saat bermimpi, kau mengecup keningku mesra.
Senyum Ibu
Kepalaku benjol menubruk lantai tadi malam,
ketika bermimpi tentangmu. Dan saat ku-berkaca dalam kamar,
dalam benjol kulihat ibu sedang tersenyum ranum..
Mimpi Lagi
Semalam aku bermimpi lagi
Setelah benjol aku dibuatnya
Dalam mimpi benjolku meletus
Hingga keluar katakata berhamburan
"Selamat Mimpi"
Kuucapkan selamat malam pada tubuhku yang sudah layu,
sebelum aku tenggelam dalam ranjang tuaku.
Sebelum ku peluk cium tulang-tulang rangkaku.
“Selamat mimpi pemuda, semoga kau temukan
jalan menuju rumahku.”
Foto-Mu
Di dinding rumah ada foto Bapaku
sedang berdoa dalam sebuah taman.
Dalam foto Bapaku ada jalan
menuju taman bunga-Mu.
26 Juli 2012
Sofa Seksi
Sofa seksi di ruang tamumu, menggoda pantatku yang kesepian.
Menjamah punggungku dengan kasih sayang.
Setitik Hujan
Mungkin saya hanya setitik hujan yang tak sampai ke tanah.
Yang tak henti-hentinya merintik perih, di bibir atap
rumahmu.
Genderang Hujan
Kemarin malam hujan turun seperti mau perang.
Kadang bergemuruh mereka menggertak,
“serbuuu..” Lalu kembali merintik susun strategi.
Esok harinya, selokan dan sungai-sungai menyerah tanpa isyarat.
Pak Nasib
Nasib pusing tujuh keliling
Saat keliling kampung dia lihat maling
Sedang jaga ronda di pos kamling
Waktu menunjukan pukul tengah malam
Kentungan di pukul pencuri
Tanda aksi akan dimulai
Bulan sedang lelap-lelapnya melotot
Daun-daun sedang santai-santainya di ranting
Pencuri melompat masuk melalui jendela
Lompat ke dalam mimpi bocah kecil
Bocah kecil tiba-tiba merengek minta susu
Dari balik jendela ayahnya berkata,
“tidurlah nak, papa sedang sibuk bekerja.”
Bermain Bayang-bayang
Saya suka merasa lucu dan senang jika melihat bayang-bayang.
Saat saya kekiri ia ikut kekiri, saya angkat tangan kanan
ia malah angkat tangan kiri. Ketika saya lari kedepan
ia selalu mengikuti dari belakang, kemudian saya lari ke
awal
tiba-tiba ia muncul di depan.
Sekali waktu saya di buatnya kesal di depan pagar.
Saya mundur ia ikut juga mundur, saya melompat ia malah berjongkok.
Ketika saya jongkok, ehh.. ia bersembunyi.
Saya lalu lari kedepan, tiba-tiba ia menghadang membesar.
Saya kaget dan langsung memukul wajahnya. Tetapi kok,
yang berdarah malah tangannya.?
Merenungi
Akhir-akhir ini saya sering merenungi nasib.
Kalau di pikir-pikir nasib itu lucu ya!
Kadang ia suka berlari-lari di dalam selokan,
kemudian tiba-tiba saja melompat ke jalanan ramai
lalu tertawa. Kadang ia pergi ke atas pagar batu
membaca buku sepanjang waktu. Sekali
waktu ia pulang
membawa wanita dan dibiarkannya menunggu di ruang tamu,
sedangkan ia pergi bersembunyi ke kamar mandi.
Saat ini ia mungkin sedang duduk-duduk sendirian
di bawah pohon pinang belakang pagar.
Wajahnya tampak marah dan bertanya-tanya?
“siapa yang berani-beraninya merenungi aku tanpa ijinku?”
Mimpiku Hangus
Sudah lama saya rindu dengan rumah, karena rumahku kini lupa
jalan pulang.
Dulu saya sering tidur di pelukannya sampai air liur
mengalir keras.
Saking enaknya tidur kadang matahari yang selalu muncul di
jendela merasa malu
dan enggan bersinar. Sampai-sampai disuruhnya awan untuk mengguyur
rumahku.
Rumah jadi kedinginan, diguyur sepi sepanjang waktu. Karena
gigilnya sungguh dalam
seisi rumah jadi bergetar. Semula kukira gempa, jadi saya
lari keluar rumah tanpa baju
tidak tanpa celana. Kemudian saya berlari kedalam mimpi dan
kutemukan sebuah pintu.
Di balik pintu kudapati ibu yang sedang menyapu, kukatakan
padanya.
“Jangan sapu mimpi-mimpiku bu.”
“Tidak, ibu hanya memindahkannya ke dalam ruang mimpi ibu. ”
Lalu ibu seketika
lenyap begitu saja.
Tak lama kemudian, ayah menggedor-gedor pintu kamarku sambil berteriak-teriak,
“bangun-bangun, mimpimu sudah hangus terpanggang waktu.”
Tak lama kemudian, ayah menggedor-gedor pintu kamarku sambil berteriak-teriak,
“bangun-bangun, mimpimu sudah hangus terpanggang waktu.”
Penggoda
“Apa itu, yang sedang mengintai dari balik celana dalammu?”
“Aku tak menyembunyikan apapun milikmu pelacur!” Seru pemuda itu.
“Bukan milikku, tapi aku miliknya.” Lanjut wanita itu.
Dan pemuda itu; merobek-robek jiwanya.
“Aku tak menyembunyikan apapun milikmu pelacur!” Seru pemuda itu.
“Bukan milikku, tapi aku miliknya.” Lanjut wanita itu.
Dan pemuda itu; merobek-robek jiwanya.
Memaksa
Mimpiku pecah ledak, terserak di tepian malam.
Salah satunya tertusuk di telapak kaki-Nya.
“Maafkan Tuan bila saya terlalu memaksa.!”
Tuhan, Ajar Saya
Tuhan, sekali-kali datanglah kemari.!
Ke taman bungaku ini yang penuh dengan pohon-pohon sunyi,
bunga-bunga karat, juga burung-burung bingung.
Sekedar bermain catur tanpa raja, agar tak ada menang dan
kalah.
Atau minum dari pecahan gelas mimpi, kuyakin kita takkan
mabuk sampai jatuh,
paling-paling hanya saling melempar kata.
Tuhan, setelah itu ajarkan saya bagaimana memetik bunga.
Mata Dan Telinga
“Mendengarlah dengan
Mata-mu”
Sebab matamu tak hanya satu, bukan juga dua
Melainkan lima
Dua diatas kepala, dua dibawah kakimu
Sisanya tepat ditengah-tengah jantung
“Melihatlah dengan
Telinga-mu”
Sebab telingamu bukan hanya satu, tak jua dua
Melainkan tak berbatas
Dua padamu, lainnya tak terbaca..
Bunga Dan Belati
Dulu sekali, ia memang hanya seorang gadis kecil
Sedang Belati, sudah bermain dengan pisau dan pecah beling
Mereka bertemu di sebuah gereja mungil
Tanpa bicara, mungkin hanya tatap mata
Lalu pulang dengan segenggam kisah yang belum selesai
Sekian waktu berlalu,
Gadis kecil tumbuh serupa mekar bunga yang bercahaya selengkung
pagi
Sekali waktu seekor
kumbang hinggap sesaat lalu meninggalkannya
Dalam hati bunga remaja inginkan buah, panas hujan gugurkan
impiannya
Sedang Belati,
Selalu bertaruh dengan waktu, bagai batu bergulir dalam
rimba kata
Sering kali batu terlempar jauh, hingga hilang ditengah laut
mimpi
Tetapi selalu saja kembali dalam doa ibu, dengan pisau dan
layang-layang
Mereka lalu bertemu lewat udara, kata demi kata saling
berjatuhan
Beberapa jatuh dalam hati, lainnya masih mencari arti
Sebuah belati kecoklatan dan sekuntum bunga cahaya
Kisah yang indah, tajam, wangi dan menyengat
Hari Minggu
Dari sudut jauh luar gereja
Kusaksikan deretan nada menguntai keluar
Melalui pintu dan jendela rumah-Mu
Dengan mataku aku mendengarkan kata-kata
Tentang kebisuan jiwa, doa-doa juga tentang dosa
Hingga cahaya hatiku begitu membatu
Suara Tengah Malam
Gadis mungil yang purnama itu
tiba-tiba saja muncul dari balik jendela kamarku.
Sementara saya sedang sibuk membebaskan mimpi-mimpi nakal
yang tersangkut dilamunan, si gadis lalu nyeletuk;
“Hus., dasar penyair
lebih gila dari orang gila,
Jaman sudah begini masih saja menulis puisi.”
11 Juli 2012
Topeng
Ini topengmu, itu topengku, di ujung sana topeng dia.
Yang mirip topengmu ini topengnya, di bawah topeng yang lain.
“Loh, yang paling di atas itu topeng siapa.?”
--Itu topeng Tuhan.
Yang mirip topengmu ini topengnya, di bawah topeng yang lain.
“Loh, yang paling di atas itu topeng siapa.?”
--Itu topeng Tuhan.
Tamu Penyair
“Selamat hari yang ceria saudara, boleh kita bertukar kata sejenak?”
Sapa-nya pada si penyair saat datang bertamu.
“Masuklah, tak ada pintu bagimu. Telah kusiapkan kata-kata terbaik untukmu.”
Sang penyair menyambut ramah.
Di dalam, disuguhkannya semangkuk kata hangat yang beraroma senja belia.
“Mmm.. berkualitas tinggi, seperti madu rembulan. Mari, nikmatilah bersamaku saudara!”
Seru si tamu! Dan mereka mulai bercerita, hingga benar-benar hanyut dalam kata.
Dan kalian tau.!?
Mereka mabuk, karena terlalu banyak minum puisi.
Sapa-nya pada si penyair saat datang bertamu.
“Masuklah, tak ada pintu bagimu. Telah kusiapkan kata-kata terbaik untukmu.”
Sang penyair menyambut ramah.
Di dalam, disuguhkannya semangkuk kata hangat yang beraroma senja belia.
“Mmm.. berkualitas tinggi, seperti madu rembulan. Mari, nikmatilah bersamaku saudara!”
Seru si tamu! Dan mereka mulai bercerita, hingga benar-benar hanyut dalam kata.
Dan kalian tau.!?
Mereka mabuk, karena terlalu banyak minum puisi.
Bersiaplah Kawan
Aku tak percaya,
sampai suatu ketika pohon besar di pinggir sungai, yang sejak dulu kokoh itu
tumbang juga, hingga akar-akarnya tercabut dari tanah.
Aku juga tak percaya,
hanya bermasalah dengan angin, buah-buahnya yang manis harus juga kulupakan
tempat anak-anak berteduh mengail ikan, kini tak ada lagi.
Aku masih juga tak percaya,
bahwa di seberang sungai sana, sudah ada villa-villa dan padang-padang golf.
kampung kita berikutnya: Bersiaplah kawan!
Dan kau tak-kan percaya,
sejak si kokoh itu tumbang oleh angin, angin tak lagi memiliki arah..
Dimana
Tidak masalah, bila aku harus belok di persimpangan jalan itu.
Simpang apa tadi katamu?
“Simpang sajak Tuan.! Nah dari situ berbeloklah ke arah barat, tiga ratus meter kemudian
ada gang Puisi di sebelah kiri jalan. Masuklah, orang-orang disana tua,
mereka akan melucutimu dengan mata telanjang, berjalan saja tenang, tunjukkan langkah syairmu.
Diujung gang itu adalah terminal. Terminal Kata namanya. Tanyakan saja disitu.
Mau kemana tadi arahmu?”
--Ke Surga..
“Kalo Surga kelewatan bung.! Ini sudah terlalu jauh, tak ada langit lagi disini.”
Simpang apa tadi katamu?
“Simpang sajak Tuan.! Nah dari situ berbeloklah ke arah barat, tiga ratus meter kemudian
ada gang Puisi di sebelah kiri jalan. Masuklah, orang-orang disana tua,
mereka akan melucutimu dengan mata telanjang, berjalan saja tenang, tunjukkan langkah syairmu.
Diujung gang itu adalah terminal. Terminal Kata namanya. Tanyakan saja disitu.
Mau kemana tadi arahmu?”
--Ke Surga..
“Kalo Surga kelewatan bung.! Ini sudah terlalu jauh, tak ada langit lagi disini.”
Makan Malam
Kau, piring, garpu dan pisau
berada di atas meja yang sama. Sama-sama lapar.
Hingga ketika malam tiba:
--Piring bertanya; apa yang bisa kita santap sekarang?
--Garpu berkata; biar aku yang menikamnya duluan.
--Pisau bilang; siapa yang akan menyantap daging ini?
--Lalu kau menjadi risau, seperti menunggu, di meja waktu.
berada di atas meja yang sama. Sama-sama lapar.
Hingga ketika malam tiba:
--Piring bertanya; apa yang bisa kita santap sekarang?
--Garpu berkata; biar aku yang menikamnya duluan.
--Pisau bilang; siapa yang akan menyantap daging ini?
--Lalu kau menjadi risau, seperti menunggu, di meja waktu.
Penyair Itu
Di sebuah pasar yang sepi, aku bertemu penyair itu.
Wajahnya pucat berkarat, dihiasi senyum yang hangat.
Dengan seikat sajak di tangan kirinya.
Segenggam mimpi di saku kanan celana.
Tatap matanya seruncing pensil yang di serut waktu.
Kata-kata di sekelilingnya, menyusun maknanya sendiri.
Di seluruh tubuhnya seperti sebuah cermin.
Memantulkan cahayanya sendiri.
Wajahnya pucat berkarat, dihiasi senyum yang hangat.
Dengan seikat sajak di tangan kirinya.
Segenggam mimpi di saku kanan celana.
Tatap matanya seruncing pensil yang di serut waktu.
Kata-kata di sekelilingnya, menyusun maknanya sendiri.
Di seluruh tubuhnya seperti sebuah cermin.
Memantulkan cahayanya sendiri.
Langganan:
Postingan (Atom)