Entah lari karena dikejar nasib atau lari mengejar nasib.
Tak ada bedanya, tapi yang pasti ini menyangkut soal nasi.
Yaa., hanya kurang satu huruf lah dengan nasib.
Kalau beruntung nasi bisa jadi sumber tenaga,
kalau tidak yah nasib juga bisa jadi tai.
Saya berlari sendiri seperti tak pernah lelah.
Menyusuri hutan-hutan, meja ke meja yang lain,
dari pintu ke pintu, surat ke surat, lalu tiba di jalan
besar.
Di jalan besar saya melihat orang-orang ramai membawa map
yang berisi angka-angka kosong, huruf-huruf buta
yang sudah basah dengan keringat dan air mata.
Kemudian saya lanjut berlari menuju sebuah jembatan kayu.
Dan tanpa sadar saya telah menjatuhkan Hp saya. “Sial.,
harta satu-satunya kini raib juga ke kolong jembatan.”
Tiba-tiba saya sudah
berada di sebuah pasar. Orang-orang berbisik curiga,
“mungkin dia pencuri tadi malam yang terpisah dari
gerombolannya.”
Yang lainnya berkata,
“dia mungkin orang gila baru karena kehilangan pekerjaan,
hingga ditinggal istrinya.”
Lalu seseorang yang terlihat seperti juga gila berteriak
kepada lainnya,
“bukan, ia hanya seorang penyair yang kehilangan kata-kata,
biarkan dia lewat.!”
Saya terus berlari, berlari dan berlari hingga akhirnya saya
terjatuh.
Dalam jatuh saya berdoa, “Tuhan setidaknya beri saya sepeda
saja,
agar lari saya bisa lebih cepat dan efektif. Tidak usah
motor,
nanti repot harus membeli bensin.”
Lalu saya terbangun, dan kudapati Hp diatas meja sedang berdering.
“Hallo selamat siang.”
“Ya selamat siang, bapak telah diterima kerja di perusahaan
kami.
Silahkan datang ke kantor kami hari senin nanti, terima
kasih.”
Aah.., saya jadi semakin bingung.!
Mau hidup diburu waktu atau hidup berburu kata.?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar