udara malam yang pekat begitu tenang menyimpan rahasia hujan
tentang cericau burung esok hari, tentang warna wangi lengkung pagi
tentang putaran jari-jari waktu, tentang keceriaan anak-anak remaja
setelah dimandikannya sisa-sisa cahaya yang penuh sesak
setelah disapunya semua jejak bersama hujan
“ah.. brengsek!
aku jadi lupa jalan pulang”
Aku ingin membacamu dengan khusyuk, bagai sebuah Kitab. Lalu aku akan tinggal diam di dalam hatimu untuk membaca diriku sendiri.
21 Desember 2009
Desember Ini
Desember ini tak ada puisi untukmu,
sayang...
Hanya beberapa kata yang terlintas
begitu saja.
“Seekor merpati terbang rendah.”
Kurasa itu cukup, walau tak tau
kepada siapa syair ini kutuju.
sayang...
Hanya beberapa kata yang terlintas
begitu saja.
“Seekor merpati terbang rendah.”
Kurasa itu cukup, walau tak tau
kepada siapa syair ini kutuju.
Hanya Kata
Kata-kataku menabrak langit dan masuk rumah sakit
Jantungnya melemah, kata dokter lukanya parah
Bicaranya tak lagi memiliki suara, hatinya penuh darah
Sahabat-sahabat menjenguknya
Para penyair mengirimkan bunga
Kekasihnya hanya duduk dan berdoa
Di nafas terakhirnya ia menulis sebuah puisi:
“Tadinya, ingin kuruntuhkan langit untukmu
ingin kuambil cahaya itu, untukmu
Tapi aku hanyalah kata, yang melanggar lampu merah”
Jantungnya melemah, kata dokter lukanya parah
Bicaranya tak lagi memiliki suara, hatinya penuh darah
Sahabat-sahabat menjenguknya
Para penyair mengirimkan bunga
Kekasihnya hanya duduk dan berdoa
Di nafas terakhirnya ia menulis sebuah puisi:
“Tadinya, ingin kuruntuhkan langit untukmu
ingin kuambil cahaya itu, untukmu
Tapi aku hanyalah kata, yang melanggar lampu merah”
18 November 2009
Si Hati Besi
Gadis, sudah sering ku kirim gerimis di pintu kamarmu
bunga-bunga mekar di halamanmu dan cahaya senja yang jingga
Ada juga kata-kata mungil yang purnama dengan sepotong hati tanpa nama
Tetapi,
kenapa kau simpan dalam kulkas itu, dalam lemari dari cairan besi itu
Kapan hati itu akan kau cincang, kau potong-potong seperti acar, lalu
kau masak, kau rebus jadi seikat kembang mawar
Atau kau masih akan terus menunggu, sampai
kata-kata menabrak langit dan masuk rumah sakit
(**)
bunga-bunga mekar di halamanmu dan cahaya senja yang jingga
Ada juga kata-kata mungil yang purnama dengan sepotong hati tanpa nama
Tetapi,
kenapa kau simpan dalam kulkas itu, dalam lemari dari cairan besi itu
Kapan hati itu akan kau cincang, kau potong-potong seperti acar, lalu
kau masak, kau rebus jadi seikat kembang mawar
Atau kau masih akan terus menunggu, sampai
kata-kata menabrak langit dan masuk rumah sakit
(**)
Tukang
Di Negara ini ada tukang sihir, tukang cuci dan tukang tidur, lainnya tak masuk hitungan
Tukang sihir kerjanya menyulap uang, tukang cuci kerjanya menyetrika kotoran
Tukang tidur kerjanya menulis puisi, lainnya menghitung posisi
Tukang sihir kerjanya menyulap uang, tukang cuci kerjanya menyetrika kotoran
Tukang tidur kerjanya menulis puisi, lainnya menghitung posisi
Hukum
Di kepala Jaksa yang bertubuh kerdil, ada jalan ke kanan yang lurus dan penuh lumpur
Di kepala Pengacara tampan tapi telanjang, ada jalan ke kiri yang berkelok-kelok
Di kepala Saksi yang buta, ada mulut bercakap-cakap bohong
Di kepala Terdakwa yang kemaluannya besar, ada kesal, bukan sesal
Di kepala Hakim yang jenggotnya bekas terbakar, ada rakyat membawa senjata hampa
Tapi, kenapa kau seperti tak memiliki kepala?
Di kepala Pengacara tampan tapi telanjang, ada jalan ke kiri yang berkelok-kelok
Di kepala Saksi yang buta, ada mulut bercakap-cakap bohong
Di kepala Terdakwa yang kemaluannya besar, ada kesal, bukan sesal
Di kepala Hakim yang jenggotnya bekas terbakar, ada rakyat membawa senjata hampa
Tapi, kenapa kau seperti tak memiliki kepala?
Indonesiaku Ingin Menjadi Kupu-Kupu
sayap-sayapnya mulai keluar, sudah waktunya dewasa
keluar dari cangkang, dari kepompongnya yang sempit
dan terbang, terbang menjadi Kupu-kupu
keluar dari cangkang, dari kepompongnya yang sempit
dan terbang, terbang menjadi Kupu-kupu
Penguasa Masih Buta
Hei penguasa !!
Tak getar juga lututmu kini, ketika tercium bau bangkaimu di hadapan Mahkamah
Ketika warna jubahmu mulai pudar, hingga hampir saja kau tampak telanjang
Dengan kemaluanmu yang besar dan kau bangga-banggakan
Kami, telah lama menunggu
Saat-saat langit terbuka perlahan dan menampakkan cahayanya
Cahaya sebenarnya, yang bersinar masuk menembus ke ruang sidang
Ke ruang rakyat, juga ke ruang Agung
Kami tak mau terang itu sementara
Sebab jiwa sudah lapar, sudah pekak juga telinga, bosan akan negeri
Yang menumpuk sampah-sampah, yang kami bakar diam-diam
Yang kami daur diam-diam
Kamu, aku, juga mereka harus mau
Bahwa dunia telah berubah warna, kulitnya mulai terkelupas dan terbakar
Karena waktu telah makin dewasa, suara semakin lantang, dan bendera harus berkibar
Dan Indonesiamu, juga Indonesiaku
Mulai keluar dari kepompongnya
Untuk menjadi kupu-kupu
Tak getar juga lututmu kini, ketika tercium bau bangkaimu di hadapan Mahkamah
Ketika warna jubahmu mulai pudar, hingga hampir saja kau tampak telanjang
Dengan kemaluanmu yang besar dan kau bangga-banggakan
Kami, telah lama menunggu
Saat-saat langit terbuka perlahan dan menampakkan cahayanya
Cahaya sebenarnya, yang bersinar masuk menembus ke ruang sidang
Ke ruang rakyat, juga ke ruang Agung
Kami tak mau terang itu sementara
Sebab jiwa sudah lapar, sudah pekak juga telinga, bosan akan negeri
Yang menumpuk sampah-sampah, yang kami bakar diam-diam
Yang kami daur diam-diam
Kamu, aku, juga mereka harus mau
Bahwa dunia telah berubah warna, kulitnya mulai terkelupas dan terbakar
Karena waktu telah makin dewasa, suara semakin lantang, dan bendera harus berkibar
Dan Indonesiamu, juga Indonesiaku
Mulai keluar dari kepompongnya
Untuk menjadi kupu-kupu
Demi Negeri
Tangan-tangan kami terbakar tuan
Kobarkan semangat muda ini, demi kerangka-kerangka tubuh Negeri
Yang kurus hatinya, penuh luka suap, bohong bernanah, dan buta saat berjalan
Tangan-tangan kami juga terbuka tuan
Untuk hujan diluar sana, yang turun menyirami tubuh Negeri
Yang kotor, penuh noda, selain gagah dan kuat
Tangan-tangan kami masih disini tuan
Memberi arti pada diri
Kobarkan semangat muda ini, demi kerangka-kerangka tubuh Negeri
Yang kurus hatinya, penuh luka suap, bohong bernanah, dan buta saat berjalan
Tangan-tangan kami juga terbuka tuan
Untuk hujan diluar sana, yang turun menyirami tubuh Negeri
Yang kotor, penuh noda, selain gagah dan kuat
Tangan-tangan kami masih disini tuan
Memberi arti pada diri
Mafia Peradilan
Kejujuran di tangan jaksa, pengacara ikut skenario
kebenaran ada di tangan hakim, tapi yang menang
tetap yang punya uang
kebenaran ada di tangan hakim, tapi yang menang
tetap yang punya uang
Lukislah Negeri
Negeri ini bukan tempat sampah, penyair!!
Bukan cuma untuk caci-maki saja
Negeri ini seperti selembar kanvas, penyair!!
Yang bebas kau lukiskan
Bukan cuma untuk caci-maki saja
Negeri ini seperti selembar kanvas, penyair!!
Yang bebas kau lukiskan
Indonesia Anakku
Pagi-pagi sekali Nesia sudah terbangun, tak biasanya
Seperti ada yang sedang mengganggu dipikirannya
Setelah berdoa, bereskan kasur mandi makan
Lalu, bersiap-siap untuk pergi entah kemana
Dengan membawa daftar belanjaan dari ibu berangkatlah
Nesia, entah kemana. “Pamit bu..,” katanya
“Hati-hati di jalan sayang..,” kata ibu
Dalam daftar belanjaan ada ditulis;
Jangan kemalaman, sayur kangkung tiga ikat, dewasa
Berantas korupsi, hapus kemiskinan, damai bawang putih
Jujur cabe rawit, tomat merah benar, maju dan berkembang,
berpendidikan, senja warna-warni, makmur dan bersatu
Nesia kini masih berjalan entah dimana
Entah kemana daftar ditulis, demikian pula jalan dicarinya
Dan sepeda waktu yang biasa dikendarainya, juga entah kenapa
Tetapi, Ibu Nesia yang pertiwi
Tetap setia menunggu Nesia pulang
Dengan belanjaannya ataupun tanpa apa-apa
Seperti ada yang sedang mengganggu dipikirannya
Setelah berdoa, bereskan kasur mandi makan
Lalu, bersiap-siap untuk pergi entah kemana
Dengan membawa daftar belanjaan dari ibu berangkatlah
Nesia, entah kemana. “Pamit bu..,” katanya
“Hati-hati di jalan sayang..,” kata ibu
Dalam daftar belanjaan ada ditulis;
Jangan kemalaman, sayur kangkung tiga ikat, dewasa
Berantas korupsi, hapus kemiskinan, damai bawang putih
Jujur cabe rawit, tomat merah benar, maju dan berkembang,
berpendidikan, senja warna-warni, makmur dan bersatu
Nesia kini masih berjalan entah dimana
Entah kemana daftar ditulis, demikian pula jalan dicarinya
Dan sepeda waktu yang biasa dikendarainya, juga entah kenapa
Tetapi, Ibu Nesia yang pertiwi
Tetap setia menunggu Nesia pulang
Dengan belanjaannya ataupun tanpa apa-apa
Bayangan
Bayangan menarikku keluar rumah, katanya
“Di luar aku lebih tampak lebih gagah, ayo kita jalan-jalan kearah barat.”
Aku dibawa ke pasar, ke restoran, ke pegunungan, ke sudut-sudut halaman
Lewati pekuburan, gang-gang sempit, di antara gedung-gedung, membuntuti burung-burung
Sampai ketika siang lewat, giliranku yang memimpin di depan
Aku menyeretnya kearah pantai, tempat yang paling kusuka
Tapi, sesampainya disana ia malah mengajakku pulang. Katanya
“Aku takut bang bertemu senja, dia sering menatapku dalam-dalam dan lama
Kemudian memelukku dengan sunyi, lalu membawaku pergi bersembunyi
Pulang saja bang, lebih baik habiskan waktu di jalan, penuh warna-warni.”
Aku tak mau di perintah bayang-bayang
Aku juga tak mau kehilangan bayang-bayang
Saat senja datang, bayangan bersembunyi di belakangku
Kemudian senja menatap mataku dalam-dalam, memelukku dengan sunyi
Setelah kubiarkan bayangan masuk ke dalamku, senja pun bersembunyi dibalik gelap
“Di luar aku lebih tampak lebih gagah, ayo kita jalan-jalan kearah barat.”
Aku dibawa ke pasar, ke restoran, ke pegunungan, ke sudut-sudut halaman
Lewati pekuburan, gang-gang sempit, di antara gedung-gedung, membuntuti burung-burung
Sampai ketika siang lewat, giliranku yang memimpin di depan
Aku menyeretnya kearah pantai, tempat yang paling kusuka
Tapi, sesampainya disana ia malah mengajakku pulang. Katanya
“Aku takut bang bertemu senja, dia sering menatapku dalam-dalam dan lama
Kemudian memelukku dengan sunyi, lalu membawaku pergi bersembunyi
Pulang saja bang, lebih baik habiskan waktu di jalan, penuh warna-warni.”
Aku tak mau di perintah bayang-bayang
Aku juga tak mau kehilangan bayang-bayang
Saat senja datang, bayangan bersembunyi di belakangku
Kemudian senja menatap mataku dalam-dalam, memelukku dengan sunyi
Setelah kubiarkan bayangan masuk ke dalamku, senja pun bersembunyi dibalik gelap
Kekasih Hujan
Hujan, aku tau kau dendam pada matahari yang serakah
aku tau rindumu menggebu pada rumput dan bebatuan
aku juga tau kau ganas bila sedang marah
Hujan, sabar ya, jangan emosi
nanti cintamu sedih dan pergi
Hujan, kamu kok ajak-ajak Banjir sih?
Kan orang-orang tak suka padanya
Kalo ngomong suka besar, berlebihan
Suka bikin mecet lagi, bikin sebel
Hujan, denger gak sih.!
kalo kamu gak bisa dibilangin
Ya udah, kita putus..
aku tau rindumu menggebu pada rumput dan bebatuan
aku juga tau kau ganas bila sedang marah
Hujan, sabar ya, jangan emosi
nanti cintamu sedih dan pergi
Hujan, kamu kok ajak-ajak Banjir sih?
Kan orang-orang tak suka padanya
Kalo ngomong suka besar, berlebihan
Suka bikin mecet lagi, bikin sebel
Hujan, denger gak sih.!
kalo kamu gak bisa dibilangin
Ya udah, kita putus..
Curhat Kemarau
Ketika itu hujan berlari-lari kearahku, ingin mengatakan bahwa gadis itu butuh gerimis
Karena senangnya ia terpeleset sebelum sempat turun
Kepalanya benjol hingga amarahnya menjadi berbondong-bondong
Sepertinya ia gegar otak, karena itu muntahnya membabi-buta
Sejak itu, kami berjalan sendiri-sendiri
Karena senangnya ia terpeleset sebelum sempat turun
Kepalanya benjol hingga amarahnya menjadi berbondong-bondong
Sepertinya ia gegar otak, karena itu muntahnya membabi-buta
Sejak itu, kami berjalan sendiri-sendiri
Jujurkah Penulis
Penulis memang harus jujur
Hanya saja, seberapa jauh kau mampu
memahami kejujuran itu
Hanya saja, seberapa jauh kau mampu
memahami kejujuran itu
29 Oktober 2009
Sajakmu
seperti matahari melangkah cakrawala
menatap bumi di angkasa raya. Cerah
adalah kata yang menyala-nyala
menatap bumi di angkasa raya. Cerah
adalah kata yang menyala-nyala
Ingin Itu
Aku ingin miliki itu
Dimana liuk sungai itu, yang tiada henti
Seperti bara gunung itu, yang api abadi
Aku ingin miliki itu
Yang warna biru itu, seperti selimut angkasa
Seperti bunga itu, yang indah tak bersuara
Aku ingin itu
Ketika kemarau yang terlupa musim itu
Seperti milik kau itu, yang menunggu disitu
Dimana liuk sungai itu, yang tiada henti
Seperti bara gunung itu, yang api abadi
Aku ingin miliki itu
Yang warna biru itu, seperti selimut angkasa
Seperti bunga itu, yang indah tak bersuara
Aku ingin itu
Ketika kemarau yang terlupa musim itu
Seperti milik kau itu, yang menunggu disitu
Langkah Kemarau
Pegunungan, tebing-tebing, tempat kemarau melangkah
Tanah basah, ladang-ladang rerumputan, batu-batu tinggi
Arus sungai hingga pesisir pantai
Getah pinus dan wangi cemara membeku di kulit kayu
api malam yang menyala membakar sunyi kelana
Batu andesit sangkar elang, tali tinggi terpasak mati
mengikat jiwa yang tualang dengan cinta yang sederhana
Deras air menuju hulu, seliuk pinggul ratu sejagat
mencium wangi gerimis senja di muka muara yang bertemu
Dan masih
Kemarau masih melangkah
Tanah basah, ladang-ladang rerumputan, batu-batu tinggi
Arus sungai hingga pesisir pantai
Getah pinus dan wangi cemara membeku di kulit kayu
api malam yang menyala membakar sunyi kelana
Batu andesit sangkar elang, tali tinggi terpasak mati
mengikat jiwa yang tualang dengan cinta yang sederhana
Deras air menuju hulu, seliuk pinggul ratu sejagat
mencium wangi gerimis senja di muka muara yang bertemu
Dan masih
Kemarau masih melangkah
Doa Kemarau
Di rentan musim ini, juga di sudut waktu ini
Ketika malam sedang mengigil. Gerimis doa jatuh merintik
Sejak kemarau itu
Aroma bumi tertidur, warna bunga tertunduk
Sejak kemarau yang keras itu
Udara malam berlarian, luka-luka pohon terkelupas
Sejak kemarau yang lupa itu
Uap air mengancam lagi. Dari balik awan yang teduh
Di garis-garis cahaya yang purnama
Lolongan doa merambat udara
Kepada hujan yang menatap liar
Dengan taringnya yang menyala
Ketika malam sedang mengigil. Gerimis doa jatuh merintik
Sejak kemarau itu
Aroma bumi tertidur, warna bunga tertunduk
Sejak kemarau yang keras itu
Udara malam berlarian, luka-luka pohon terkelupas
Sejak kemarau yang lupa itu
Uap air mengancam lagi. Dari balik awan yang teduh
Di garis-garis cahaya yang purnama
Lolongan doa merambat udara
Kepada hujan yang menatap liar
Dengan taringnya yang menyala
25 Oktober 2009
Di Taman Bunga
I
Aku tau kau indah
Kau juga tau aku pecinta
Tapi waktu belum memihak kita
Apa itu salahku?
Ingin ini ada, untuk memetikmu
Kurasa kau juga tau disitu
Tapi, kenapa ada ragu-ragu
Apa itu salahmu?
Pikirku, bila dipetik, apakah kau mau, dipandang setiap saat
Disentuh setiap pagi, disiram setiap sore, dikecup setiap malam
Jujur saja, warnamu unik, dan aromamu semerbak
II
Di tamanku ini tak ada bunga, yang dulu itu sudah layu, kusam
Bukan tak pernah kusiram, tapi, karena tak tahan cuaca
Dan kemarin, sudah diambil orang, mau dirawat katanya
Ditanam lagi, dipupuk lagi, untuk dikawinkan dengan bunga impor
Tapi kau, seketika saja tumbuh tanpa terpaksa, mengagumkan pula
Tak pernah kulihat yang sepertimu, bertangkai panjang, sedikit berdaun
Kelopak-kelopakmu tersusun rapih, meskipun tampak berduri, tapi anggun
Jujur saja, siapapun tak-kan mampu mengabaikanmu
Aku tau kau indah
Kau juga tau aku pecinta
Tapi waktu belum memihak kita
Apa itu salahku?
Ingin ini ada, untuk memetikmu
Kurasa kau juga tau disitu
Tapi, kenapa ada ragu-ragu
Apa itu salahmu?
Pikirku, bila dipetik, apakah kau mau, dipandang setiap saat
Disentuh setiap pagi, disiram setiap sore, dikecup setiap malam
Jujur saja, warnamu unik, dan aromamu semerbak
II
Di tamanku ini tak ada bunga, yang dulu itu sudah layu, kusam
Bukan tak pernah kusiram, tapi, karena tak tahan cuaca
Dan kemarin, sudah diambil orang, mau dirawat katanya
Ditanam lagi, dipupuk lagi, untuk dikawinkan dengan bunga impor
Tapi kau, seketika saja tumbuh tanpa terpaksa, mengagumkan pula
Tak pernah kulihat yang sepertimu, bertangkai panjang, sedikit berdaun
Kelopak-kelopakmu tersusun rapih, meskipun tampak berduri, tapi anggun
Jujur saja, siapapun tak-kan mampu mengabaikanmu
06 Agustus 2009
Angin
Angin datang, meringsut masuk
melalui celah-celah jendela.
Merayapi dinding-dinding udara. Hening.
Tak ada suara.
Selimuti seisi ruang. Dari sepi yang menggigil.
melalui celah-celah jendela.
Merayapi dinding-dinding udara. Hening.
Tak ada suara.
Selimuti seisi ruang. Dari sepi yang menggigil.
Berapa
“berapa waktu, harga cinta itu Bang?”
Yang mana?
“yang warna merah jambu.”
Setengah kali waktunya.
“kapan tibanya?”
Ketika datangmu.
“kalau cinta yang biru berapa?”
Tiga puluh waktu.
“agak murah!”
Yang itu bekas.
Yang mana?
“yang warna merah jambu.”
Setengah kali waktunya.
“kapan tibanya?”
Ketika datangmu.
“kalau cinta yang biru berapa?”
Tiga puluh waktu.
“agak murah!”
Yang itu bekas.
Penyair Jalanan
Di jalan yang tampak lenggang, ketika terik lapar membayang-bayangi.
Ia terlihat sedang mengorek sampah di belakang sebuah toko buku.
“apa hendak di cari tuan?” --Kau bertanya.
“Sebait sajak; hanya sebait saja; sudah cukup untuk hari ini.”
Ia terlihat sedang mengorek sampah di belakang sebuah toko buku.
“apa hendak di cari tuan?” --Kau bertanya.
“Sebait sajak; hanya sebait saja; sudah cukup untuk hari ini.”
Galau
Sebenarnya telah kutuliskan sajak cinta:
Untukmu, bukan, untukku, bukan
“lalu untuk siapa?”
Pembaca, pendengar
“apa ada ?”
Tapi aku telah lupa apa itu cinta
Kau mau, ingatkan dia
“kenapa dia?”
Dialah sajak itu
“dimana?”
Di bait pertama
Untukmu, bukan, untukku, bukan
“lalu untuk siapa?”
Pembaca, pendengar
“apa ada ?”
Tapi aku telah lupa apa itu cinta
Kau mau, ingatkan dia
“kenapa dia?”
Dialah sajak itu
“dimana?”
Di bait pertama
-Sekepal Duka Untuk Teroris-
Kau..
Kembali menoreh luka
Luka dalam dan di tempat yang sama
Juga luka bagi dunia
Kau.
Bermain dengan duka
Duka lama dan kau ulang kembali
Yang meledak di jantung pagi
Kau..
Ingin kupinjam matamu
Untuk kuletakkan pada dada yang terluka
Agar kau, kenal juga duka
Kau..
Menjadi bagian dari semua ini
Yang menggetarkan Jakarta lagi, Kuningan lagi
Kuacungkan sekepal duka
-Bom di JW Mariot dan Ritz Calton -
Kembali menoreh luka
Luka dalam dan di tempat yang sama
Juga luka bagi dunia
Kau.
Bermain dengan duka
Duka lama dan kau ulang kembali
Yang meledak di jantung pagi
Kau..
Ingin kupinjam matamu
Untuk kuletakkan pada dada yang terluka
Agar kau, kenal juga duka
Kau..
Menjadi bagian dari semua ini
Yang menggetarkan Jakarta lagi, Kuningan lagi
Kuacungkan sekepal duka
-Bom di JW Mariot dan Ritz Calton -
Rayuan Rumit
Aku ingin mengenalmu, seperti kau ingin mengenalku
Tapi kenapa tampak begtiu rumit
Baiklah, kucoba ungkapkan lewat puisi
Dari sisi pandangku
Kau:
Sepasang burung perkutut diatas loteng
Suara anak-anak kecil bermain di taman
Kendaraan bermotor lalu-lalang
Aku:
Satu dari tersisa, dengan gerimis di hati
Mengetuk pintu cahaya, antarkan bunga padam
Terbakar di kepala, duri retak menyala
“Ah., dasar pemabuk. Terlalu banyak minum puisi.”
Tapi kenapa tampak begtiu rumit
Baiklah, kucoba ungkapkan lewat puisi
Dari sisi pandangku
Kau:
Sepasang burung perkutut diatas loteng
Suara anak-anak kecil bermain di taman
Kendaraan bermotor lalu-lalang
Aku:
Satu dari tersisa, dengan gerimis di hati
Mengetuk pintu cahaya, antarkan bunga padam
Terbakar di kepala, duri retak menyala
“Ah., dasar pemabuk. Terlalu banyak minum puisi.”
Pertengkaran
Aku dan puisi pernah bertengkar, tentang apa yang harus berlari.
“Kaki,“ kataku, “jari,” katanya!
Kami terkadang tak searah dalam berpandangan, berbeda sisi.
Hingga suatu hari ketika ia sedang sekarat, aku terpaksa menyetujuinya;
bahwa yang berlari adalah jari.
Ia pun menjawab, “masih bodoh saja kau, kakipun memiliki jari.
Hanya saja aku tak memiliki kaki.”
“Kaki,“ kataku, “jari,” katanya!
Kami terkadang tak searah dalam berpandangan, berbeda sisi.
Hingga suatu hari ketika ia sedang sekarat, aku terpaksa menyetujuinya;
bahwa yang berlari adalah jari.
Ia pun menjawab, “masih bodoh saja kau, kakipun memiliki jari.
Hanya saja aku tak memiliki kaki.”
Kutikam Puisi
kuasah kata-kataku perlahan penuh dendam
hingga runcing dan mengkilap; tapi untuk apa?
--ingin kutikam puisi
kenapa?
-disetubuhinya jari-jariku-
-kau siapa?-
aku ibu puisi
-ah, biar kusetubihi kau-
hingga runcing dan mengkilap; tapi untuk apa?
--ingin kutikam puisi
kenapa?
-disetubuhinya jari-jariku-
-kau siapa?-
aku ibu puisi
-ah, biar kusetubihi kau-
Komet
tentang sebuah komet yang melompat bagai cahaya
kutangkap dengan mata telanjang, sedetik saja
kulayangkan sisa-sisa mimpi; yang ku-tau takkan pernah kembali
kutangkap dengan mata telanjang, sedetik saja
kulayangkan sisa-sisa mimpi; yang ku-tau takkan pernah kembali
Kuancam Neraka
Pistol yang ku acung-acungkan
meletus tanpa sengaja; atau sengaja
--ketika kuancam neraka
meletus tanpa sengaja; atau sengaja
--ketika kuancam neraka
Kena Kau
Seandainya kau ada suatu saat nanti
Akan kurangkai pendar-pendar cahaya dari raut wajah itu
Menjadi purnama sempurna yang memantulkan warna-warna ceria
Sudah semestinya kau tetap terlihat diam
Anggun entah angkuh, bukan lagi perdebatan
Hanya saja, sajakku kali ini sungguh memaksa hati
Seandainya aku seakan-akan lupa nanti
: kena kau! -dalam dekapanku
Akan kurangkai pendar-pendar cahaya dari raut wajah itu
Menjadi purnama sempurna yang memantulkan warna-warna ceria
Sudah semestinya kau tetap terlihat diam
Anggun entah angkuh, bukan lagi perdebatan
Hanya saja, sajakku kali ini sungguh memaksa hati
Seandainya aku seakan-akan lupa nanti
: kena kau! -dalam dekapanku
Di Depan Kaca
Ketika ku pandang matamu
Tajam ramah mengepal
Ingin kukatakan; kau berbeda aku
Tapi kau sudah membantah sesaat sebelumnya
Baru ingin kukatakan
Tiba-tiba: Prraang…
Seseorang memecahkan diri hingga berkeping
Tingkahmu; atau Ulahku?
Tak perlu ada yang tau
Tajam ramah mengepal
Ingin kukatakan; kau berbeda aku
Tapi kau sudah membantah sesaat sebelumnya
Baru ingin kukatakan
Tiba-tiba: Prraang…
Seseorang memecahkan diri hingga berkeping
Tingkahmu; atau Ulahku?
Tak perlu ada yang tau
Kumbang Malam 2
Dia datang lagi, benar-benar tanpa isyarat
hinggap di genangan malam tanpa bintang
Tak ada tanda pada sayapnya yang terbelah
Putih jernih dihiasi warna-warna indah
Dia diam lagi, bertanya-tanya dengan diri sendiri
“ah., kau sama saja dengan kupu-kupu
Masuklah dan bermain di taman bungaku,
yang sedang tumbuh.“
Dia masuk melalui pintu yang terbuka
Terbuka lebar, hingga tiada lagi dinding
yang terlihat
Dan isyarat, kini tak lagi punya arti
hinggap di genangan malam tanpa bintang
Tak ada tanda pada sayapnya yang terbelah
Putih jernih dihiasi warna-warna indah
Dia diam lagi, bertanya-tanya dengan diri sendiri
“ah., kau sama saja dengan kupu-kupu
Masuklah dan bermain di taman bungaku,
yang sedang tumbuh.“
Dia masuk melalui pintu yang terbuka
Terbuka lebar, hingga tiada lagi dinding
yang terlihat
Dan isyarat, kini tak lagi punya arti
Penawaran
Aku hanya ingin menghitung jejak luka itu
Bila ada ijin, dan sebelum tiba sia-sia
Ingin kubalut dengan kehangatan pagi
Agar tak ada lagi pertanyaan disitu
Bila ada ijin, dan sebelum tiba sia-sia
Ingin kubalut dengan kehangatan pagi
Agar tak ada lagi pertanyaan disitu
Kumbang Malam
Kau datang lagi
Tanpa isyarat yang pasti
Hinggap di tirai jendela malam
Ada tanda pada sayapnya yang terbelah
Patah di ujung ketiak, berbekas namun indah
Kau diam dalam bahasa, bercanda dengan tanya?
“Maaf kawan, tak ada bunga dalam ruangku ini
Datanglah nanti, bersama Musim Semi dan Kupu-kupu”
Tapi dia memilih terjun kedalam segelas kopi susu
Tenggelam dalam pahit-manis kata
Tanpa isyarat yang pasti
Hinggap di tirai jendela malam
Ada tanda pada sayapnya yang terbelah
Patah di ujung ketiak, berbekas namun indah
Kau diam dalam bahasa, bercanda dengan tanya?
“Maaf kawan, tak ada bunga dalam ruangku ini
Datanglah nanti, bersama Musim Semi dan Kupu-kupu”
Tapi dia memilih terjun kedalam segelas kopi susu
Tenggelam dalam pahit-manis kata
26 Juni 2009
ISTIRAHAT
Gemulai sudah langkah mata ini
Terbeban tunas pada pelupuknya
Yang kan tumbuh menjadi mimpi
Padam dulu cerita kita
Untuk waktu sesaat
Dan bangunku ketika fajar menyala
Antarkan kata tak bertuan
Bersama gemericik embun pagi
Saat basuh kelopak bunga berduri
Terbeban tunas pada pelupuknya
Yang kan tumbuh menjadi mimpi
Padam dulu cerita kita
Untuk waktu sesaat
Dan bangunku ketika fajar menyala
Antarkan kata tak bertuan
Bersama gemericik embun pagi
Saat basuh kelopak bunga berduri
LIAR (koboi)
Pistolku dalam genggamanmu
Pemuda berkarat, batu berlumut
Pemecah kaca, terburailah warna
Mengarah lepas
Langit biru seluas samudera angkasa
tak ada lagi batas diraih
Kebebasan yang sempurna
mengambang di permukaan udara
Rembulan senja yang mulai menipis
tertembus kepal kedua mata
Sekedip, menjadi malam yang padat
sepadat hujan di dasar laut
Jarimu tak berdaya tanpa senjata yang menjaga
Peluru menjadi tanya pelatuk
Siapa membaca dengan mengira-ngira
Katakataku sengaja liar tak ber-arah
-abstraktisme-
Pemuda berkarat, batu berlumut
Pemecah kaca, terburailah warna
Mengarah lepas
Langit biru seluas samudera angkasa
tak ada lagi batas diraih
Kebebasan yang sempurna
mengambang di permukaan udara
Rembulan senja yang mulai menipis
tertembus kepal kedua mata
Sekedip, menjadi malam yang padat
sepadat hujan di dasar laut
Jarimu tak berdaya tanpa senjata yang menjaga
Peluru menjadi tanya pelatuk
Siapa membaca dengan mengira-ngira
Katakataku sengaja liar tak ber-arah
-abstraktisme-
DILUAR RUMAH
Memandang-mandang malam yang bercahaya
Anganku bertumpu pada kaki-kaki yang papah
Sementara kerlip bintang padam satu persatu
Sempurnakan gelap bagi bulan purnama
Langkahku semakin berat
: seberat lelah jemari
Inti diri yang paling lugu
Kini dewasa tampak gagah
Bermain intim dengan hamparan cahaya
luas, dalam, di dalam mimpi yang meninggi
: setinggi gapai jemari
Buah-buah yang masih belum sempurna
Terjatuh di tanah
Rerumputan yang selalu saja cemburu
Serukan angin yang diam
Untuk memandu langkah mata kaki
Melepas genggaman jemari waktu
Anganku bertumpu pada kaki-kaki yang papah
Sementara kerlip bintang padam satu persatu
Sempurnakan gelap bagi bulan purnama
Langkahku semakin berat
: seberat lelah jemari
Inti diri yang paling lugu
Kini dewasa tampak gagah
Bermain intim dengan hamparan cahaya
luas, dalam, di dalam mimpi yang meninggi
: setinggi gapai jemari
Buah-buah yang masih belum sempurna
Terjatuh di tanah
Rerumputan yang selalu saja cemburu
Serukan angin yang diam
Untuk memandu langkah mata kaki
Melepas genggaman jemari waktu
MUSIM SEMI
Dari bibir jendela kamar, kusapa pagi
yang tampak malu-malu
Merah pipinya, permainkan warna cahaya
Hingga berjatuhan musim berganti
Burat-burat sayu pancar matanya
Memendam guguran rindu dedaunan
Serupa tirai gerimis; yang datang bertamu
yang tampak malu-malu
Merah pipinya, permainkan warna cahaya
Hingga berjatuhan musim berganti
Burat-burat sayu pancar matanya
Memendam guguran rindu dedaunan
Serupa tirai gerimis; yang datang bertamu
MENDUNG
Dalam dekapan itu menetes bau rindu awan
Dari mata angin timur yang liar menuju barat
Antarkan gerimis pagi untuk menyangkal matahari
Dari mata angin timur yang liar menuju barat
Antarkan gerimis pagi untuk menyangkal matahari
SEGITIGA
Malam sungguh tersenyum memandangmu kawan
Karena Cinta di sebelah bahumu
Dan biarlah bulan yang bersembunyi
Menanti hadir matahari
Saat pagi mengecupmu, aku tengah bertengkar dengan luka jemari
Tikam itu berdarah kawan, tapi kata-kata bernanah
Di mata para bintang, ada arah angin membawa
Rasa yang ada, hanya padanya
Biar kulenyapkan saja malam kawan
Karena Cinta itu, kini menepuk bahuku
Karena Cinta di sebelah bahumu
Dan biarlah bulan yang bersembunyi
Menanti hadir matahari
Saat pagi mengecupmu, aku tengah bertengkar dengan luka jemari
Tikam itu berdarah kawan, tapi kata-kata bernanah
Di mata para bintang, ada arah angin membawa
Rasa yang ada, hanya padanya
Biar kulenyapkan saja malam kawan
Karena Cinta itu, kini menepuk bahuku
EMOSI
Mana
Mana emosimu
Biar kuajak melayang jatuh
Di kepak sayap rajawali pusaka
Miskin kata tiada tara, tak bernyawa
Luka-luka cinta terbuka hampa suara
Di kaca wajah berdarah, pada mata air mata
Belum cukup;
Lihat ibumu, menangisi puisimu
Dalam jeruji peti besi
Kurang, sini
Kupatah jemarimu
:atas nama emosi
-dedicate to penyair kambuhan-
Mana emosimu
Biar kuajak melayang jatuh
Di kepak sayap rajawali pusaka
Miskin kata tiada tara, tak bernyawa
Luka-luka cinta terbuka hampa suara
Di kaca wajah berdarah, pada mata air mata
Belum cukup;
Lihat ibumu, menangisi puisimu
Dalam jeruji peti besi
Kurang, sini
Kupatah jemarimu
:atas nama emosi
-dedicate to penyair kambuhan-
SOEHARTO
Kau kejutkan kami dengan kilat orde baru
Menyambar tumpukan jerami; pejuang runcing bambu
Memercik api di makam tuan; terbakar harta sejarah
Kau curi kenangan wangi bunga pertiwi
Teriak menang atas penjajah; percuma di tanda di dadah
Jika tandu di bahumu memikul jasat Negara
Menyambar tumpukan jerami; pejuang runcing bambu
Memercik api di makam tuan; terbakar harta sejarah
Kau curi kenangan wangi bunga pertiwi
Teriak menang atas penjajah; percuma di tanda di dadah
Jika tandu di bahumu memikul jasat Negara
-ApriliA-
April lewat, tergesa-gesa
Pedang salamku pada merpati hitam
Hilang dalam temaram cahaya dunia
Oleh luluh ksatria muda, tersamar janji matahari
Lalu, apa pesan dinginnya udara?
Intim bersama langit tak bertepi
Aku melupa cinta
Pedang salamku pada merpati hitam
Hilang dalam temaram cahaya dunia
Oleh luluh ksatria muda, tersamar janji matahari
Lalu, apa pesan dinginnya udara?
Intim bersama langit tak bertepi
Aku melupa cinta
TERLUPA
Bunga yang akan mekar esok musim
Telah kusimpan di pangkuanmu
Jauh sebelum cuaca dingin bertamu
Telah kusimpan di pangkuanmu
Jauh sebelum cuaca dingin bertamu
TELAGAMU
Telaga suci dalam dirimu
Jangan biarkan susut oleh waktu dan ragu
Dahaga ini sebesar bumi
Tetesan embun dari wajahmu, bilas keringat di hati
Gemuruh busur yang kulepaskan pada sang mentari
Nyalakan cinta yang padam
Jangan biarkan susut oleh waktu dan ragu
Dahaga ini sebesar bumi
Tetesan embun dari wajahmu, bilas keringat di hati
Gemuruh busur yang kulepaskan pada sang mentari
Nyalakan cinta yang padam
SEHELAI DAUN
Kini, tiba giliranmu untuk gugur
terlepas dari tubuh yang telah rapuh
menuju pangkuan telanjang bumi
menghadap bintang-bintang angkasa
jerjerat datar antara tanah dan udara
diam tiada arti..
Hingga pagi menjelang
mendapati embun yang menetes
pada telaga musim kemarau
detakkan kembali, jantung matahari..
terlepas dari tubuh yang telah rapuh
menuju pangkuan telanjang bumi
menghadap bintang-bintang angkasa
jerjerat datar antara tanah dan udara
diam tiada arti..
Hingga pagi menjelang
mendapati embun yang menetes
pada telaga musim kemarau
detakkan kembali, jantung matahari..
KECUPAN MEI
Malam mengajakku berdansa
Mengitari sudut-sudut sunyi bumi
Ketika langkahnya yang ke seribu
Digenggam erat dingin jemariku
Menjelma senyum rembulan Mei
Didaratkannya sebuah kecup berduri
Yang hangat, mengejutkan di bibir utara
Melekat sungguh, dalam bisikan demokrasi
Membunuh kegelisahan musim penghujan
Mengitari sudut-sudut sunyi bumi
Ketika langkahnya yang ke seribu
Digenggam erat dingin jemariku
Menjelma senyum rembulan Mei
Didaratkannya sebuah kecup berduri
Yang hangat, mengejutkan di bibir utara
Melekat sungguh, dalam bisikan demokrasi
Membunuh kegelisahan musim penghujan
LELAH
Lentera waktu makin meredupkan malam
Bayang-bayang bintang tercecer di rerumputan
Ramai-riuh jalanan terdampar dalam sunyi selokan
Wangi bunga melati tersamar dari taman makam sebelah
Ah.. kurebahkan saja jemariku disisi jemari waktu
Tawa malam begitu nyaring terdengar
mengusik jemari untuk berlari
kemana? Entah..
mungkin ingin kucuci dengan getah bunga zaitun
atau, kubungkus saja dengan lembar kain kafan
Bayang-bayang bintang tercecer di rerumputan
Ramai-riuh jalanan terdampar dalam sunyi selokan
Wangi bunga melati tersamar dari taman makam sebelah
Ah.. kurebahkan saja jemariku disisi jemari waktu
Tawa malam begitu nyaring terdengar
mengusik jemari untuk berlari
kemana? Entah..
mungkin ingin kucuci dengan getah bunga zaitun
atau, kubungkus saja dengan lembar kain kafan
Gemerik Hujan Di Bulan Juli
Kurindu Gemericik hujan
di bulan juli
Yang datang mengurung diri
Pada malam tak bertepi
Kurindu Gemericik riang
di bulan juli
Ketika tiba-tiba saja hadir
Bangunkan hangat bumi
Kurindu Gemericikmu
di bulan juli
Sejuk, pendiam, penuh cinta
Dan pergi seperti pencuri
di bulan juli
Yang datang mengurung diri
Pada malam tak bertepi
Kurindu Gemericik riang
di bulan juli
Ketika tiba-tiba saja hadir
Bangunkan hangat bumi
Kurindu Gemericikmu
di bulan juli
Sejuk, pendiam, penuh cinta
Dan pergi seperti pencuri
DEKAPAN MALAM
Saat Malam membuka matanya lebar-lebar
Udara yang diam bersembunyi di bawah pohon rindang
Sesuatu diantara rumput-rumput liar memandangku penuh curiga
Ketika kupalingkan pandang; lenyap dalam dekapannya..
Udara yang diam bersembunyi di bawah pohon rindang
Sesuatu diantara rumput-rumput liar memandangku penuh curiga
Ketika kupalingkan pandang; lenyap dalam dekapannya..
PELUKIS
Pagi yang malu-malu
Terlukis begitu kaku
Pada selembar kanvas lusuh
Pelukis di ujung jalan itu
Meletakkan hatinya di atas pelangi
Mempermainkan warna cahaya
Terlukis begitu kaku
Pada selembar kanvas lusuh
Pelukis di ujung jalan itu
Meletakkan hatinya di atas pelangi
Mempermainkan warna cahaya
27 April 2009
KEPADA RI 1 (dari luka 98)
Kami ini denyut nadi Negeri ini,
jika kau sungguh jantung..
Detak-kan lagi waktu,
hingga ke ujung-ujung satu..
(sebab kami seperti sama dan tak beda)
Mari,
sempurnakan nyata
pada dada yang sama..
Jika kau memang ada
Bersama..
(karena kami anak dari ibu pertiwi)
Kemudikan mimpi kami
kearah tujunya
seperti pasti
mengaca pada Pencipta..
(kami merah dan putih penjaga tiangmu)
Mampu,
kan pasti terjadi
Disini..
di sajak-sajak kami
Ada denyut Negrimu..
(tempat darah kami mengalir)
jika kau sungguh jantung..
Detak-kan lagi waktu,
hingga ke ujung-ujung satu..
(sebab kami seperti sama dan tak beda)
Mari,
sempurnakan nyata
pada dada yang sama..
Jika kau memang ada
Bersama..
(karena kami anak dari ibu pertiwi)
Kemudikan mimpi kami
kearah tujunya
seperti pasti
mengaca pada Pencipta..
(kami merah dan putih penjaga tiangmu)
Mampu,
kan pasti terjadi
Disini..
di sajak-sajak kami
Ada denyut Negrimu..
(tempat darah kami mengalir)
16 April 2009
AIR
bah, tak sempat kau bangunkan aku dulu
bah, begitu cepat kau lumat saat senyap
bah, kugulung kau nanti: seperti kau gulung kami
-situgintung-
bah, begitu cepat kau lumat saat senyap
bah, kugulung kau nanti: seperti kau gulung kami
-situgintung-
12 April 2009
SEPERTI RINDU
Dingin ingin membunuhku
Menyerang dari segala penjuru
Kini melekat sungguh di tubuh
Aku terperangkap hujan yang menyerbu
Di tempat asing kini ku berteduh
Berhayal hangat sesosok tubuh
Yang mungkin datang untuk berlalu
Ini seperti rindu;
yang hinggap di bulu matamu
-babel-
Menyerang dari segala penjuru
Kini melekat sungguh di tubuh
Aku terperangkap hujan yang menyerbu
Di tempat asing kini ku berteduh
Berhayal hangat sesosok tubuh
Yang mungkin datang untuk berlalu
Ini seperti rindu;
yang hinggap di bulu matamu
-babel-
KEPADA SEBUAH CINTA
Karena melihat kau juga seperti buta
dan mendengar menjadikanmu tuli
Hingga bicaramu tak lagi penuh arti
ada waktu yang berenkarnasi, berlalu
Saat malam berganti, tiada lagi rindu
luka yang meliau kini berbuah tahir
Pada cinta yang terbelah, membias
Meleburkan diri di-diamnya sunyi
Menanti anak panah menikam lagi
-lalu-
dan mendengar menjadikanmu tuli
Hingga bicaramu tak lagi penuh arti
ada waktu yang berenkarnasi, berlalu
Saat malam berganti, tiada lagi rindu
luka yang meliau kini berbuah tahir
Pada cinta yang terbelah, membias
Meleburkan diri di-diamnya sunyi
Menanti anak panah menikam lagi
-lalu-
KAU PUISIKU
aku ingin memilikimu seperti jantung;
dalam detaknya terasa,
menghidupkan
aku ingin menyentuhmu ke dalam hati;
selembut selimut awan,
menyejukkan hari
aku ingin kamu;
seperti pagi dan mentari
-ail-
dalam detaknya terasa,
menghidupkan
aku ingin menyentuhmu ke dalam hati;
selembut selimut awan,
menyejukkan hari
aku ingin kamu;
seperti pagi dan mentari
-ail-
ABU-ABU
yang telah memudar karena tindak,
juga ada dalam kelam,
menjadi duri akan warna.
yang telah hina untuk tumbuh,
juga kotor karena malu,
menjadi musuh oleh tabu.
seseorang mengaduk warna dalam hidup,
antara hitam dan putih,
menjadikannya abu-abu.
-abu-
juga ada dalam kelam,
menjadi duri akan warna.
yang telah hina untuk tumbuh,
juga kotor karena malu,
menjadi musuh oleh tabu.
seseorang mengaduk warna dalam hidup,
antara hitam dan putih,
menjadikannya abu-abu.
-abu-
KEKASIH YANG MATI
Ada apa di hatimu,kekasih
saat malam berbisik pada bulan purnama
kau telah lupa
Kenapa ada ragumu, kekasih
saat perlahan jelajah suciku menyergap
kau hilang dalam senyap
Kekasih, baca jiwamu dikala sunyi
dalam kenang aku hadir tiada lagi rasa
karena kau seharum melati..
-lalu-
saat malam berbisik pada bulan purnama
kau telah lupa
Kenapa ada ragumu, kekasih
saat perlahan jelajah suciku menyergap
kau hilang dalam senyap
Kekasih, baca jiwamu dikala sunyi
dalam kenang aku hadir tiada lagi rasa
karena kau seharum melati..
-lalu-
SELAMAT PAGI
Hari lalu lagi
Hayal terus bernyanyi
Merdu disapa sunyi
Angan harus lari
Kicau burung temani hari
Siul pagi hinggap di sisi
Menanti fajar tumbuh di hati
Dalam intip matahari
-pagi-
Hayal terus bernyanyi
Merdu disapa sunyi
Angan harus lari
Kicau burung temani hari
Siul pagi hinggap di sisi
Menanti fajar tumbuh di hati
Dalam intip matahari
-pagi-
MALAM
Malamku yang pilu
Damai sunyi bersenandung
Membungkam segala sepi
Menari diatas irama suci
Menanti dicengkram pagi
-rk-
Damai sunyi bersenandung
Membungkam segala sepi
Menari diatas irama suci
Menanti dicengkram pagi
-rk-
AKU
Aku
Tak ingin sepi tiada arti, ketika berdiri terkadang sendiri, seperti mati tertumpuk melati
aku menggenggam masa pada mimpi, kuasa padam saat terang berganti, ingin pasti menjadi inti. Terpasung mimpi-mimpi.
Aku
Tak ingin diam dalam syair, bersembunyi ditengah kabut sunyi, ingin menyibak dan pergi
aku seperti menanti kesejatian tertinggi, menutup mata dan berkaca kepada doa-doa lama
menanti diri, disucikan jari-jari…
Aku
Tak ingin ada akhir, yang datang seperti martir, berkorban kepada ramai pedang api
menahan merah garang, menggapai langit padam. Aku tengah mengukir tingkap dunia
bait demi bait…
Tak ingin sepi tiada arti, ketika berdiri terkadang sendiri, seperti mati tertumpuk melati
aku menggenggam masa pada mimpi, kuasa padam saat terang berganti, ingin pasti menjadi inti. Terpasung mimpi-mimpi.
Aku
Tak ingin diam dalam syair, bersembunyi ditengah kabut sunyi, ingin menyibak dan pergi
aku seperti menanti kesejatian tertinggi, menutup mata dan berkaca kepada doa-doa lama
menanti diri, disucikan jari-jari…
Aku
Tak ingin ada akhir, yang datang seperti martir, berkorban kepada ramai pedang api
menahan merah garang, menggapai langit padam. Aku tengah mengukir tingkap dunia
bait demi bait…
Cinta..
Berduyun-duyun akan datang menjumputmu
Membawa senjata-senjata rayu, dan belenggu
Sebagai pencipta sekaligus pembunuh
Membawa senjata-senjata rayu, dan belenggu
Sebagai pencipta sekaligus pembunuh
NYATA (terwujud)
Ini seperti mimpi yang menjelma nyata…
Tentang se-pasukan burung perkasa yang terbang jauh tinggi diatas kepala
Kulepaskan busur panah pangharapan, dengan tulus melesat senyap, tepat
Mengena pada jantung panglima angkasa…
Ini seperti mimpi, seperti juga nyata
Sungguh, perbedaan yang sempurna…
-terwujud-
Tentang se-pasukan burung perkasa yang terbang jauh tinggi diatas kepala
Kulepaskan busur panah pangharapan, dengan tulus melesat senyap, tepat
Mengena pada jantung panglima angkasa…
Ini seperti mimpi, seperti juga nyata
Sungguh, perbedaan yang sempurna…
-terwujud-
Patah
Karenamu, kemarau mencair di pangkuan bumi
Mengusap sepi dari mata yang menggigil
Merendah berserah patah
Mengaduh di telapak kaki ibu
Tentang ketiadaan yang menghujam
Mengusap sepi dari mata yang menggigil
Merendah berserah patah
Mengaduh di telapak kaki ibu
Tentang ketiadaan yang menghujam
PUISI PEMAKAMAN
Kami mengenalmu seperti lahir bersama dari perut bumi
Kami mengenalmu seperti saudara dalam suka maupun duka
Kami mengenalmu karena kau ada, dan akan selalu ada
Kami mengenalmu, mengenangmu, selalu
Kami mengantarmu dan melepasmu kembali
KepadaNya atas segala kuasaNya
-toing-
Kami mengenalmu seperti saudara dalam suka maupun duka
Kami mengenalmu karena kau ada, dan akan selalu ada
Kami mengenalmu, mengenangmu, selalu
Kami mengantarmu dan melepasmu kembali
KepadaNya atas segala kuasaNya
-toing-
LELAH
tak-kan lari gunung kukejar
tiada habisnya laut ku-kuras
seakan gila aku kau buat
menerka-nerka isyarat samarmu
mencari tanda di dinding malam
menjadi tersesat hilang pandang
terkapar lelah di ujung tanduk
-tuktem-
tiada habisnya laut ku-kuras
seakan gila aku kau buat
menerka-nerka isyarat samarmu
mencari tanda di dinding malam
menjadi tersesat hilang pandang
terkapar lelah di ujung tanduk
-tuktem-
DIA
Matanya
Pancarkan sejuta tanya tentang rindu
Langkah kakinya
Gemulai melambai menyibak sunyi
Panjang rambutnya
Menjulur damai hanyut dalam kalbu
Aku menunggunya di batas cakrawala
Aku menanti datangnya awan teduh
Yang sejuk dan tumbuh diatas pelangi
-kau-
Pancarkan sejuta tanya tentang rindu
Langkah kakinya
Gemulai melambai menyibak sunyi
Panjang rambutnya
Menjulur damai hanyut dalam kalbu
Aku menunggunya di batas cakrawala
Aku menanti datangnya awan teduh
Yang sejuk dan tumbuh diatas pelangi
-kau-
PARAS mu
tingginya melambai-semampai
berambut ombak hingga ke pundak
dalam hutan seperti bunga anggrek kunang
sinar matanya selengkung pagi
beraroma senja yang menunggu di bibir pantai
kuning bajumu ketika bertemu, bercahaya mentari
bibir merah, putih kulitmu
detakkan jantung, getarkan pita suaraku
sentuh matamu membungkam seisi duniaku
berambut ombak hingga ke pundak
dalam hutan seperti bunga anggrek kunang
sinar matanya selengkung pagi
beraroma senja yang menunggu di bibir pantai
kuning bajumu ketika bertemu, bercahaya mentari
bibir merah, putih kulitmu
detakkan jantung, getarkan pita suaraku
sentuh matamu membungkam seisi duniaku
-untuk AIL-
“puisi yang baru ingin kutulis
telah hinggap di bulu matamu
bergelayut bimbang dan terjatuh
di reruntuhan embun pagi”
telah hinggap di bulu matamu
bergelayut bimbang dan terjatuh
di reruntuhan embun pagi”
SIHIR PRAMUGARI
Kutatap matanya dalam-dalam
Coba alirkan rasa, sekejap saja
Seperti gigitan bibir yang menyihir
Senyum palsumu begitu menggoda
-bandara-
Coba alirkan rasa, sekejap saja
Seperti gigitan bibir yang menyihir
Senyum palsumu begitu menggoda
-bandara-
SERUPA
Kerut keningnya sedatar bumi.
cerlang mata seluas hati.
langit pikir yang membiru..
adakah lelah itu sejenak.?
yang tak bergerak juga tak diam
di semua warna, setiap sudut
kau, aku, entah..
tiada batas…
serupa rumit jiwa
yang padat sempurna
-penyairbiru-
cerlang mata seluas hati.
langit pikir yang membiru..
adakah lelah itu sejenak.?
yang tak bergerak juga tak diam
di semua warna, setiap sudut
kau, aku, entah..
tiada batas…
serupa rumit jiwa
yang padat sempurna
-penyairbiru-
NOSTALGIA (to immanuel)
Kau nikmat sisa batang milikku
hembuskan asap seputih salju
Kau tegukkan aku mimpi sucimu
melayangkan nyata diambang waktu
hembuskan asap seputih salju
Kau tegukkan aku mimpi sucimu
melayangkan nyata diambang waktu
KUINGIN JALAMU NYATA
Kukatakan padamu, jangan ragu untuk melemparkan jala walau takkan ada ikan di danauku. Mungkin hanya ada sepasang mata yang suka berenang disana diantara batu-batu dan akar-akar pohon.
Terkadang ia suka tenggelam mencari jejak-jejak alam hingga terlupa dan tersesat. Menyusuri akar-akar malam yang menjalar menuju pagi yang tak pernah dikenal. Inginnya jalamu nyata.
Walau kadang meninggalkan hari-hari untuk waktu yang seperti terhenti. Mencarimu diantara para pengail. Tapi tak cukup mampu mereka menarikku kedalam dunianya.
Terkadang ia suka tenggelam mencari jejak-jejak alam hingga terlupa dan tersesat. Menyusuri akar-akar malam yang menjalar menuju pagi yang tak pernah dikenal. Inginnya jalamu nyata.
Walau kadang meninggalkan hari-hari untuk waktu yang seperti terhenti. Mencarimu diantara para pengail. Tapi tak cukup mampu mereka menarikku kedalam dunianya.
-Rasa-
Tak ku sangka, ada rasa yang lebih melekat dari malam yang padat
Kini menikam tiba-tiba di dasar terdalam, hal yang sungguh ganjil
meski juga tak mustahil. Sesuatu yang telah tumbuh karena senyum sapa
Harusnya kubenamkan saja rasa ini di ruang bisu, seperti sebelum-sebelumnya
Merangkaikannya kata seindah bunga, kubaringkan di taman kupu-kupu
Membungkusnya dengan janji dan biarkan berkaca pada jernih mtahari
bermainkan seni-seni mimpi
Tapi ini begitu berbeda;
seperti mengoyak-ngoyak kesendirian
mengombang-ambingkan telaga malam
menumbuk-numbuk waktu yang malang
menghalau liar nyatanya hampa
menuju dermaga waktu
diatas sampan jinakkan badai
melaju, me-lagu, hentakkan ragu
mengetuk-ngetuk kelopak mata
bangunkanku dari tidur yang panjang
Mengapa diam yang ada padamu menghujani hari-hariku
begitu deras, ciptakan pelangi di kulit senja
semakin keras menggenggam tanya
yang tersembunyi dibalik matamu
Apabila boleh kata berkaca;
sungguh mati aku sungguh sepi
Kini menikam tiba-tiba di dasar terdalam, hal yang sungguh ganjil
meski juga tak mustahil. Sesuatu yang telah tumbuh karena senyum sapa
Harusnya kubenamkan saja rasa ini di ruang bisu, seperti sebelum-sebelumnya
Merangkaikannya kata seindah bunga, kubaringkan di taman kupu-kupu
Membungkusnya dengan janji dan biarkan berkaca pada jernih mtahari
bermainkan seni-seni mimpi
Tapi ini begitu berbeda;
seperti mengoyak-ngoyak kesendirian
mengombang-ambingkan telaga malam
menumbuk-numbuk waktu yang malang
menghalau liar nyatanya hampa
menuju dermaga waktu
diatas sampan jinakkan badai
melaju, me-lagu, hentakkan ragu
mengetuk-ngetuk kelopak mata
bangunkanku dari tidur yang panjang
Mengapa diam yang ada padamu menghujani hari-hariku
begitu deras, ciptakan pelangi di kulit senja
semakin keras menggenggam tanya
yang tersembunyi dibalik matamu
Apabila boleh kata berkaca;
sungguh mati aku sungguh sepi
SYAIR KEPADA LANGIT
Kami memohon satu bintang saja, dari sekian banyak yang selimuti malam
bila kau tak berkenan kapada kata-kami yang berlebih, maka aku-pun mampu
merawatnya menjadikan milik para petapa
Kepada halilintar boleh-lah jika sebatas menerangi gelap jalan menuju peluk ibu
agar rindu yang menggumpal, mencair di pangkuannya
untuk merendah berserah padam
Langkah ini makin gemetar dipaksa usia, meski tapak tak cukup gentar menghadap
jaman. Ketika hari makin sempurna dan lahir di tepi laut
Memulai kembali pencarian jejak-jejak masa depan, yang kadang terhempas di keramaian dan tersapu ombak masa lalu
Kadang menyudut pada dinding udara yang diam, kelabui mata karna bentuk
tersamar dalam sepi
Kami berdiri di padang-pandang yang sunyi, memuaskan makna yang luas
yang semakin liar seperti masih liar
Menunggu hujan yang ramah menjamah getir tubuh, sisa-kan sejuk pada pundi
pundi yang terbentuk dari tawa dan jerih, yang tersimpan untuk dahaga nanti
untuk dahaga ibu dan anak-anakmu
ketika nanti, saat terik bertamu
Kami terduduk dalam perahu, diatas bukit yang kau tunjukkan
Kami berlari tanpa tengok, menghindari petaka sucimu
seperti yang kau katakan, kami bertumbuh di tanah subur
seperti yang kau katakan, kami menui taburan rindu
seperti dalam buku, seperti syair lagu, seperti telah berlalu
Bila kata-kami terdengar berlebih, maka;
Aku memohon satu bintang saja
untuk menerangi perjalanan ini
temani aku dan perahuku
-perahukayu-
bila kau tak berkenan kapada kata-kami yang berlebih, maka aku-pun mampu
merawatnya menjadikan milik para petapa
Kepada halilintar boleh-lah jika sebatas menerangi gelap jalan menuju peluk ibu
agar rindu yang menggumpal, mencair di pangkuannya
untuk merendah berserah padam
Langkah ini makin gemetar dipaksa usia, meski tapak tak cukup gentar menghadap
jaman. Ketika hari makin sempurna dan lahir di tepi laut
Memulai kembali pencarian jejak-jejak masa depan, yang kadang terhempas di keramaian dan tersapu ombak masa lalu
Kadang menyudut pada dinding udara yang diam, kelabui mata karna bentuk
tersamar dalam sepi
Kami berdiri di padang-pandang yang sunyi, memuaskan makna yang luas
yang semakin liar seperti masih liar
Menunggu hujan yang ramah menjamah getir tubuh, sisa-kan sejuk pada pundi
pundi yang terbentuk dari tawa dan jerih, yang tersimpan untuk dahaga nanti
untuk dahaga ibu dan anak-anakmu
ketika nanti, saat terik bertamu
Kami terduduk dalam perahu, diatas bukit yang kau tunjukkan
Kami berlari tanpa tengok, menghindari petaka sucimu
seperti yang kau katakan, kami bertumbuh di tanah subur
seperti yang kau katakan, kami menui taburan rindu
seperti dalam buku, seperti syair lagu, seperti telah berlalu
Bila kata-kami terdengar berlebih, maka;
Aku memohon satu bintang saja
untuk menerangi perjalanan ini
temani aku dan perahuku
-perahukayu-
MAHKOTA HIJAU
Di hari yang masih subuh benar, ketika kelahiran akan tiba dengan setianya.
Kutemukan sepucuk Cinta tergeletak, terjatuh di reruntuhan embun pagi.
Melepaskan pandangnya ke ruang angkasa yang nampak semakin sunyi.
Dengan tatapan meredup pada waktu, yang lewat tanpa sempat menyapa
Menghentikan langkah kaki ini, mengukir jejak dalam syair…
Ah.. seperti Cinta yang kukenal dulu, ketika tercipta di ujung masa…
dia yang menempati dasar terdalam, menjadi inti kehidupan sempurna
dia yang menghangatkan dan juga membekukan semesta raya
dia yang dulu penuh kehijauan, begitu murni menyelimuti rasa
tapi kini begitu pucat tampak pada jubahnya…
lalu tiba-tiba saja, matanya memancarkan bait kata-kata:
“aku telah tiba diujung jarimu penyair hijau,
bawakan sekotak coklat untuk kekasihmu
dan bibit bunga sejati yang hampir layu
untuk tumbuh di dataran jiwamu”
“Bukan kuasa ini atas cintamu, Cinta. Melainkan sebaliknya.
Bila layu harus tumbuh tegar, maka indahlah pada nyata itu.
Diatas segala bermakna, biar kukibaskan kembali jubah hijaumu”
Dan ketika pagi telah lahir, ku-sisipkan Ia di buratan cahayanya.
Menari-nari lentik pada dinding udara, menemani senja ke laut biru.
Kemudian kepada hari-hari lagi, dibenamkannya Mahkota Hijau…
Mahkota Cinta Hijau nan lestari…
-pesertalombapuisihijau-
Kutemukan sepucuk Cinta tergeletak, terjatuh di reruntuhan embun pagi.
Melepaskan pandangnya ke ruang angkasa yang nampak semakin sunyi.
Dengan tatapan meredup pada waktu, yang lewat tanpa sempat menyapa
Menghentikan langkah kaki ini, mengukir jejak dalam syair…
Ah.. seperti Cinta yang kukenal dulu, ketika tercipta di ujung masa…
dia yang menempati dasar terdalam, menjadi inti kehidupan sempurna
dia yang menghangatkan dan juga membekukan semesta raya
dia yang dulu penuh kehijauan, begitu murni menyelimuti rasa
tapi kini begitu pucat tampak pada jubahnya…
lalu tiba-tiba saja, matanya memancarkan bait kata-kata:
“aku telah tiba diujung jarimu penyair hijau,
bawakan sekotak coklat untuk kekasihmu
dan bibit bunga sejati yang hampir layu
untuk tumbuh di dataran jiwamu”
“Bukan kuasa ini atas cintamu, Cinta. Melainkan sebaliknya.
Bila layu harus tumbuh tegar, maka indahlah pada nyata itu.
Diatas segala bermakna, biar kukibaskan kembali jubah hijaumu”
Dan ketika pagi telah lahir, ku-sisipkan Ia di buratan cahayanya.
Menari-nari lentik pada dinding udara, menemani senja ke laut biru.
Kemudian kepada hari-hari lagi, dibenamkannya Mahkota Hijau…
Mahkota Cinta Hijau nan lestari…
-pesertalombapuisihijau-
02 Maret 2009
SAJAKKU SANG PETARUNG
Kemarin malam ia datang padaku, katanya
Ingin mencoba mengadu nasip di dunia nyata
“Memangnya kau mampu? Apa senjatamu?” Tanyaku.
“Ya jarimu, apa lagi senjata sajak kalau bukan
pena dan lembar kosong,” katanya.
“Lembar kosong..! Otakmu yang kosong
Kau pikir semudah itu bertarung di dunia nyata.”
Sedikit sewot aku dibuatnya
“Apa salahnya sih coba-coba, sapa tau jadi candu
kan nikmat, tinggal duduk-duduk di depan layar
kutak-katik kata jadi makna, menang, kenyang.
Daripada sepi-sepian sambil mimpi, pusing sendiri
Lirik-lirik gadis impian tapi takut ditinggal sunyi.”
“Hei jak.., kalau soal gadis bukan urusanmu
jangan buka-buka kartu dong, malu nanti dibaca orang!
Tapi, berani kau bertarung dengan sajak-sajak biru
sajak-sajak ungu, sajak kelabu, sajak batu.
Sedangkan kau cuma sajak hijau.”
Tegasku tanpa maksud menyidir, dan pergi
Paginya, aku dibangunkan matahari
yang masuk menembus jendela, hordeng dan kelopak mataku
Katanya, “selamat pagi penyair kesiangan
selamat datang di duniaku.”
Dan aku terbangun tanpa sajak-sajakku di meja
Hanya satu bait saja yang tersisa, “selamat jalan pengangguran, sukses.”
Berminggu-minggu, berbulan-bulan tak ada kabar
Aku merindukannya, kutelepon bu dokter, tak ada
ku tanya pak polisi tak ada, di koran-koran tak ada
di majalah-majalah juga tak ada, buku-buku apalagi
“Ah.., paling-paling dia sudah mati ditikam mantra.”
Satu tahun kemudian, seorang penyair menelponku
Katanya sajak-sajakku terkapar di terasnya, berlumur darah
membawa piala dan senjata. “Sajakmu telah mati dengan tenang
sempurna oleh waktu, tapi bukan di negeri sendiri.”
Nada penyair itu sedikit bangga, sedikit sedih
Dan aku termenung, teringat kata-kata sajakku
“apa salahnya coba-coba, sapa tau jadi candu, menang, kenyang.”
-ruangbisu, 0309-
Ingin mencoba mengadu nasip di dunia nyata
“Memangnya kau mampu? Apa senjatamu?” Tanyaku.
“Ya jarimu, apa lagi senjata sajak kalau bukan
pena dan lembar kosong,” katanya.
“Lembar kosong..! Otakmu yang kosong
Kau pikir semudah itu bertarung di dunia nyata.”
Sedikit sewot aku dibuatnya
“Apa salahnya sih coba-coba, sapa tau jadi candu
kan nikmat, tinggal duduk-duduk di depan layar
kutak-katik kata jadi makna, menang, kenyang.
Daripada sepi-sepian sambil mimpi, pusing sendiri
Lirik-lirik gadis impian tapi takut ditinggal sunyi.”
“Hei jak.., kalau soal gadis bukan urusanmu
jangan buka-buka kartu dong, malu nanti dibaca orang!
Tapi, berani kau bertarung dengan sajak-sajak biru
sajak-sajak ungu, sajak kelabu, sajak batu.
Sedangkan kau cuma sajak hijau.”
Tegasku tanpa maksud menyidir, dan pergi
Paginya, aku dibangunkan matahari
yang masuk menembus jendela, hordeng dan kelopak mataku
Katanya, “selamat pagi penyair kesiangan
selamat datang di duniaku.”
Dan aku terbangun tanpa sajak-sajakku di meja
Hanya satu bait saja yang tersisa, “selamat jalan pengangguran, sukses.”
Berminggu-minggu, berbulan-bulan tak ada kabar
Aku merindukannya, kutelepon bu dokter, tak ada
ku tanya pak polisi tak ada, di koran-koran tak ada
di majalah-majalah juga tak ada, buku-buku apalagi
“Ah.., paling-paling dia sudah mati ditikam mantra.”
Satu tahun kemudian, seorang penyair menelponku
Katanya sajak-sajakku terkapar di terasnya, berlumur darah
membawa piala dan senjata. “Sajakmu telah mati dengan tenang
sempurna oleh waktu, tapi bukan di negeri sendiri.”
Nada penyair itu sedikit bangga, sedikit sedih
Dan aku termenung, teringat kata-kata sajakku
“apa salahnya coba-coba, sapa tau jadi candu, menang, kenyang.”
-ruangbisu, 0309-
DERMAGA KAYU
Segumpal isyarat yang terlontar dari senyummu, menyala membakar
Bersarang diantara ilalang-ilalang kering diatas tanah yang tandus
Mengobarkan api yang sendiri, menyepi diantara syair-syair membatu
Melampaui pulau-pulau rindu yang menumpuk tersusun waktu
Merayapkan suhu hangat dalam tubuh, memupuk panas membara
Di hari itu malam berkabut gelap mendekapku, mengaburkan pandangmu
Sesatkan pesan-pesan yang ku lepaskan di udara, menuju dermaga kayu
Terhanyut haru laut biru, menantang diterpa angin, tenggelam dalam dunia
Sungguh sesal terlepas liar dari ingatan itu, yang tak mungkin lagi memudar
Sebab segores saja, kan terus membekas sepanjang lembar-lembar sajakku
Di atas aspal telapak tanganmu pernah kugoreskan sebait kata-kata
bukan sebagai perangkap akan duniaku yang penuh isyarat
Di jendela kamarmu pernah ku-sisipkan selendang hitam
bukan warna yang ku mau, tapi kuharap mampu menghangatkanmu
Di lembar hijau daun, di kelopak-kelopak matamu ingin juga kutorehkan
sebuah isyarat bisu;
bukan lagi tentang cinta di bumi, melainkan kasih yang memberi
Di kemudian hari malam menjadi seterang pandang yang nyata
Ada kau disana bersama bayanganmu, aku disini tak terbayangkan
Sepandang, dua pandang cukuplah sudah, isyaratmu kini mati
Dan aku pulang sambil menimbang-nimbang angka kekalahan
Mengorek-ngorek lagi mimpi, membuangnya dari masa lalu
Padamkan api untukmu, mundur-teratur, hilang ditengah ilalang
Mencari-cari pesan yang tersesat, dan ku-ukir di dermaga kayu
Sudutkotak, 0209
Bersarang diantara ilalang-ilalang kering diatas tanah yang tandus
Mengobarkan api yang sendiri, menyepi diantara syair-syair membatu
Melampaui pulau-pulau rindu yang menumpuk tersusun waktu
Merayapkan suhu hangat dalam tubuh, memupuk panas membara
Di hari itu malam berkabut gelap mendekapku, mengaburkan pandangmu
Sesatkan pesan-pesan yang ku lepaskan di udara, menuju dermaga kayu
Terhanyut haru laut biru, menantang diterpa angin, tenggelam dalam dunia
Sungguh sesal terlepas liar dari ingatan itu, yang tak mungkin lagi memudar
Sebab segores saja, kan terus membekas sepanjang lembar-lembar sajakku
Di atas aspal telapak tanganmu pernah kugoreskan sebait kata-kata
bukan sebagai perangkap akan duniaku yang penuh isyarat
Di jendela kamarmu pernah ku-sisipkan selendang hitam
bukan warna yang ku mau, tapi kuharap mampu menghangatkanmu
Di lembar hijau daun, di kelopak-kelopak matamu ingin juga kutorehkan
sebuah isyarat bisu;
bukan lagi tentang cinta di bumi, melainkan kasih yang memberi
Di kemudian hari malam menjadi seterang pandang yang nyata
Ada kau disana bersama bayanganmu, aku disini tak terbayangkan
Sepandang, dua pandang cukuplah sudah, isyaratmu kini mati
Dan aku pulang sambil menimbang-nimbang angka kekalahan
Mengorek-ngorek lagi mimpi, membuangnya dari masa lalu
Padamkan api untukmu, mundur-teratur, hilang ditengah ilalang
Mencari-cari pesan yang tersesat, dan ku-ukir di dermaga kayu
Sudutkotak, 0209
Gila Harga Mati
Ia berjalan tanpa sehelaipun kain selimuti tubuhnya
Melintasi jembatan kokoh yang memotong, melambungi sungai Klayan
Parasnya masih segar terbasuh senja, jalannya tegap peduli setan
dan belalainya seperti tak mampu lagi mengendus, terjulur kaku
“Jangankan pakaian perutku saja sudah mati tertikam malu,
dan sekarang tak ada lagi harga yang harus ku bayar,”
suaranya sungguh tegas
Langkahnya menerawangi waktu, menjelajahi dunia asing di kepalaku
seperti rasa keringat pada telapak kakinya, begitu asin bercampur kerak
Telinganya dengungkan berbagai macam persoalan, tentang hidup
tentang mimpi, tentang nyata dan tiada
Matanya bernyanyi di sepanjang waktu, mengedip-ngedip pada jalan
pada poster-poster pemilu, pada anak-anak sekolah yang mengejeknya
Rambut yang hampir sama dengan warna kulitnya, isyaratkan jarak
yang panjang tak-beraturan, diterpa bau alam
Dan indra lainnya tak mampu lagi kubaca
Diantara lalu-lalang becak, angkot, merzedes-benz, dan aku
Lengannya mengepak berkali-kali dan membawanya pergi
menyusuri lorong-lorong pasar yang berliku, menyapa setiap mata
yang meraba tubuhnya. Mencabuli udara sore yang mulai menguning
“Mungkin menggelikan bagimu, tapi bagiku mengembalikan apa yang bukan padaku
karena tak ada lagi harga yang mampu ku bayar.”
Bisiknya sambil tersenyum kepada angin yang selalu setia menyelimutinya
dan tak-kan pernah tertidur
Dipucuk hijau malam, diguguran syair-syair unggu, diantara tumpukan yang terhempas
punggungnya mendatar pada tanya yang makin menua
Hayalnya mulai menyata, dahinya makin berkerut, dan matanya remuk padam berkaca
Ditemukannya langit yang hilang, bulan yang tenggelam, serta bintang yang pudar
“Setidaknya aku masih memiliki doa malam ini, memohon agar tidak ada lagi harga.”
Dan esok, jarum jam memutar kembali waktu
cairkan sungai yang beku, mengalir pada lembar kaku
-Banjarmasin, 1208-
Melintasi jembatan kokoh yang memotong, melambungi sungai Klayan
Parasnya masih segar terbasuh senja, jalannya tegap peduli setan
dan belalainya seperti tak mampu lagi mengendus, terjulur kaku
“Jangankan pakaian perutku saja sudah mati tertikam malu,
dan sekarang tak ada lagi harga yang harus ku bayar,”
suaranya sungguh tegas
Langkahnya menerawangi waktu, menjelajahi dunia asing di kepalaku
seperti rasa keringat pada telapak kakinya, begitu asin bercampur kerak
Telinganya dengungkan berbagai macam persoalan, tentang hidup
tentang mimpi, tentang nyata dan tiada
Matanya bernyanyi di sepanjang waktu, mengedip-ngedip pada jalan
pada poster-poster pemilu, pada anak-anak sekolah yang mengejeknya
Rambut yang hampir sama dengan warna kulitnya, isyaratkan jarak
yang panjang tak-beraturan, diterpa bau alam
Dan indra lainnya tak mampu lagi kubaca
Diantara lalu-lalang becak, angkot, merzedes-benz, dan aku
Lengannya mengepak berkali-kali dan membawanya pergi
menyusuri lorong-lorong pasar yang berliku, menyapa setiap mata
yang meraba tubuhnya. Mencabuli udara sore yang mulai menguning
“Mungkin menggelikan bagimu, tapi bagiku mengembalikan apa yang bukan padaku
karena tak ada lagi harga yang mampu ku bayar.”
Bisiknya sambil tersenyum kepada angin yang selalu setia menyelimutinya
dan tak-kan pernah tertidur
Dipucuk hijau malam, diguguran syair-syair unggu, diantara tumpukan yang terhempas
punggungnya mendatar pada tanya yang makin menua
Hayalnya mulai menyata, dahinya makin berkerut, dan matanya remuk padam berkaca
Ditemukannya langit yang hilang, bulan yang tenggelam, serta bintang yang pudar
“Setidaknya aku masih memiliki doa malam ini, memohon agar tidak ada lagi harga.”
Dan esok, jarum jam memutar kembali waktu
cairkan sungai yang beku, mengalir pada lembar kaku
-Banjarmasin, 1208-
AYAHKU SAJAK
Hari itu kupaksakan syairku bersenandung
karena sunyi berdiam diri dan sepi entah kemana
sembunyi-sembunyi kunikmat sebatang candu ayahku
Di malam itu kupaksa syairku naik perahu kayu
aku berkata padanya tidak akan tinggal janji
walaupun hanya sebatas awan, asalkan teduh
Malam itu pula aku tidur diatas syairku, kelelahan
setelah lama bercumbu, terbakar nafsu
kini, syairku hamil tujuh bulan
Dua bulan berlalu waktu ditunggu
syairku melahirkan syairku
kutimang tiada ragu, seperti lagu
Syairku sayang jangan jadi malang, suatu saat nanti kau dikenang
Syairku sayang tumbuh mengembang, kelak nanti kau jadi kembang
Syairku sayang, dewasa nanti semoga kau bertemu penyair tampan
yang mampu kendalikan nafsu
dan mencumbumu dalam buku
melahirkan sajak-sajak baru
-ruangbisu, 0209-
karena sunyi berdiam diri dan sepi entah kemana
sembunyi-sembunyi kunikmat sebatang candu ayahku
Di malam itu kupaksa syairku naik perahu kayu
aku berkata padanya tidak akan tinggal janji
walaupun hanya sebatas awan, asalkan teduh
Malam itu pula aku tidur diatas syairku, kelelahan
setelah lama bercumbu, terbakar nafsu
kini, syairku hamil tujuh bulan
Dua bulan berlalu waktu ditunggu
syairku melahirkan syairku
kutimang tiada ragu, seperti lagu
Syairku sayang jangan jadi malang, suatu saat nanti kau dikenang
Syairku sayang tumbuh mengembang, kelak nanti kau jadi kembang
Syairku sayang, dewasa nanti semoga kau bertemu penyair tampan
yang mampu kendalikan nafsu
dan mencumbumu dalam buku
melahirkan sajak-sajak baru
-ruangbisu, 0209-
Bang Jo
Kawanku terhisap ke lorong waktu..
padahal kemarin ia janji, mengarung malam denganku
naik perahu keliling-keliling kota, tanpa lepas jangkar
memancing putri-putri, menghitung jaraknya pagi
kemarin juga, kulihat wajahnya di stasiun-tv
menunggu kereta berjeruji besi
tangannya diikat mati, melangkah pucat-pasi
tapi yang pasti ia akan kembali
kabarnya, telah nyata waktumu, sudah putus
dua bintang kurang dua bulan
Amboy., lama juga semedimu
kelak nanti kau pasti semakin sakti, ber-arti
kawan, jangan ada suka dan duka nanti
hanya saja perhentianmu unik kali ini
berkelambu dinding-dinding sunyi
menerka-nerka masa sambil menyuci tumpukan mimpi
esok, ketika sempurna waktumu
kujemput kau dari sisi nyata
kuajak berlayar lagi
melepas rindu di laut biru
tapi ingat, jangan lupa ke darat lagi..
padahal kemarin ia janji, mengarung malam denganku
naik perahu keliling-keliling kota, tanpa lepas jangkar
memancing putri-putri, menghitung jaraknya pagi
kemarin juga, kulihat wajahnya di stasiun-tv
menunggu kereta berjeruji besi
tangannya diikat mati, melangkah pucat-pasi
tapi yang pasti ia akan kembali
kabarnya, telah nyata waktumu, sudah putus
dua bintang kurang dua bulan
Amboy., lama juga semedimu
kelak nanti kau pasti semakin sakti, ber-arti
kawan, jangan ada suka dan duka nanti
hanya saja perhentianmu unik kali ini
berkelambu dinding-dinding sunyi
menerka-nerka masa sambil menyuci tumpukan mimpi
esok, ketika sempurna waktumu
kujemput kau dari sisi nyata
kuajak berlayar lagi
melepas rindu di laut biru
tapi ingat, jangan lupa ke darat lagi..
Valentin Sudah Lewat
Di suatu bukit yang menjulang diantara puncak-puncak tinggi dunia
penyair itu terduduk merenung diatas batu andesit yang hitam
mengorek-ngorek mimpi dari hidungnya, membuangnya di udara
sepi, sunyi, malam
batu, pohon, awan
hijau, biru, kelabu
duduk, diam, sendiri
lagi, seperti kemarin-kemarin, asin…
dan terlintaslah ingatan tentang hari yang lalu..
hari cinta kasih sayang yang lewat tanpa sempat meninggalkan bunga
sebenarnya bunga apa saja pasti diterimanya..
entah itu bunga bakung, bunga layu, bunga bau, apalagi bunga bank
asalkan ada, nyata, biarpun palsu-palsu deh..
kalau katanya Chairil Anwar sih, “mampus kau dikoyak-koyak sepi”
setelah beberapa lama ia termenung
sebuah rasa tiba-tiba saja datang
dihantar oleh angin yang risau
menyelinap melalui pori-pori
berdiam diri sejenak, kemudian
menyerang seperti perompak
lalu, penyair itu berdiri tegap, sigap
menarik napas panjang
dan berteriak lepas, “Cintaaaaa…brrutt…”
tiba-tiba saja mulut bawahnya ikut berteriak, semburkan air liurnya..
Hehehe..piss.. :-PB-)..
penyair itu terduduk merenung diatas batu andesit yang hitam
mengorek-ngorek mimpi dari hidungnya, membuangnya di udara
sepi, sunyi, malam
batu, pohon, awan
hijau, biru, kelabu
duduk, diam, sendiri
lagi, seperti kemarin-kemarin, asin…
dan terlintaslah ingatan tentang hari yang lalu..
hari cinta kasih sayang yang lewat tanpa sempat meninggalkan bunga
sebenarnya bunga apa saja pasti diterimanya..
entah itu bunga bakung, bunga layu, bunga bau, apalagi bunga bank
asalkan ada, nyata, biarpun palsu-palsu deh..
kalau katanya Chairil Anwar sih, “mampus kau dikoyak-koyak sepi”
setelah beberapa lama ia termenung
sebuah rasa tiba-tiba saja datang
dihantar oleh angin yang risau
menyelinap melalui pori-pori
berdiam diri sejenak, kemudian
menyerang seperti perompak
lalu, penyair itu berdiri tegap, sigap
menarik napas panjang
dan berteriak lepas, “Cintaaaaa…brrutt…”
tiba-tiba saja mulut bawahnya ikut berteriak, semburkan air liurnya..
Hehehe..piss.. :-PB-)..
Doa si Kecil
Tibalah kita di atas sebuah bukit yang terjal seperti Golgota
Ia pun berlutut pada batu besar yang cadas, dan berdoa
Begini bunyinya,
“bapa sudah lama aku tidak makan buah-buah firmanmu
sebab aku kini telah memiliki pokok anggur, berbuah kata-kata
bapa sudah lama aku tidak minum dari cawanmu
sebab aku kini telah memiliki nampan putih, seperti suci
bapa sempurnakanlah aku seperti biji yang mampu memindahkan gunung
seperti tongkat yang membelah lautan, seperti air yang menjadi anggur
bapa., mama mana ya..? Adik ngompol lagi tuh, sedangkan abang lagi asik dengan anggurnya...”
Dan tiba-tiba ibu guru berteriak di dalam kelas,
“Serapim., kamu mengigau lagi ya, sana, cuci mukamu, rambutmu
badanmu juga, mandi saja sekalian biar tak bau satu ruangan.”
Ia pun pergi, dengan penuh tanda tanya..???
(padahal yang lainnya juga tertidur di kelas itu, mendengkur tanpa mimpi..)
“mungkin mulutnya yang terlalu dekat dengan hidung.”
-ruangbisu,0109-
Ia pun berlutut pada batu besar yang cadas, dan berdoa
Begini bunyinya,
“bapa sudah lama aku tidak makan buah-buah firmanmu
sebab aku kini telah memiliki pokok anggur, berbuah kata-kata
bapa sudah lama aku tidak minum dari cawanmu
sebab aku kini telah memiliki nampan putih, seperti suci
bapa sempurnakanlah aku seperti biji yang mampu memindahkan gunung
seperti tongkat yang membelah lautan, seperti air yang menjadi anggur
bapa., mama mana ya..? Adik ngompol lagi tuh, sedangkan abang lagi asik dengan anggurnya...”
Dan tiba-tiba ibu guru berteriak di dalam kelas,
“Serapim., kamu mengigau lagi ya, sana, cuci mukamu, rambutmu
badanmu juga, mandi saja sekalian biar tak bau satu ruangan.”
Ia pun pergi, dengan penuh tanda tanya..???
(padahal yang lainnya juga tertidur di kelas itu, mendengkur tanpa mimpi..)
“mungkin mulutnya yang terlalu dekat dengan hidung.”
-ruangbisu,0109-
12 Februari 2009
PUISIKU
Puisiku menggema di relung waktu..
Puisiku terhempas ke sudut-sudut..
Padat dan mencair di udara..
Puisiku terkepal memukul waktu..
Puisiku cahya tahir mewarna sudut..
Padat menjelma segala..
Puisiku bukan tinggi diatas dunia..
Puisiku meluas di lautan jiwa..
Padat menjamah makna..
Puisiku damai tumbuh bersenandung..
Diserap bumi dan lahir kembali..
Puisiku terhempas ke sudut-sudut..
Padat dan mencair di udara..
Puisiku terkepal memukul waktu..
Puisiku cahya tahir mewarna sudut..
Padat menjelma segala..
Puisiku bukan tinggi diatas dunia..
Puisiku meluas di lautan jiwa..
Padat menjamah makna..
Puisiku damai tumbuh bersenandung..
Diserap bumi dan lahir kembali..
10 Februari 2009
-Untuk Yang Ditinggalkan-
Ada puisi yang ingin kutulis untukmu
kini tiba disudut matamu, dan menetes
di antara guguran embun pagi...
tentang ketiadaan yang datang tiba-tiba
tentang segala terima atas kuasa-Nya
tentang kesedihan yang terjatuh dari mata indah itu
ke dasar hati yang menyimpan sisa kenangan
tentang duka maha tuan bertahta
dan tak-ku tahu setinggi itu atas debu...
tentang kemutlakan yang hadir begitu saja
tegarkan tulusnya kerelaan anak surga
tentang duka atas debu di sisi-Nya
tentang luka sekaligus cinta...
kini tiba disudut matamu, dan menetes
di antara guguran embun pagi...
tentang ketiadaan yang datang tiba-tiba
tentang segala terima atas kuasa-Nya
tentang kesedihan yang terjatuh dari mata indah itu
ke dasar hati yang menyimpan sisa kenangan
tentang duka maha tuan bertahta
dan tak-ku tahu setinggi itu atas debu...
tentang kemutlakan yang hadir begitu saja
tegarkan tulusnya kerelaan anak surga
tentang duka atas debu di sisi-Nya
tentang luka sekaligus cinta...
29 Januari 2009
HUJAN 2
Sayang., hari ini riakmu terlihat riuh..
Membangunkan mimpi..
Nanti nyata juga terbangun loh, dan disuruhnya kau menjaga malam..
Sayang..! kamu sedih ya..
Semakin deras rintihmu ku dengar
Kamu kesepian ya.. dibohongi waktu..
Ia memang selalu begitu sayang..
Semakin tua.. langkahnya makin lambat..
Hingga kemarau jadi datang terlambat..
Sayang.. air matamu terlalu berharga nanti..
Ketika kemarau malas pulang, siapa yang menangisi aku..
Menyirami tubuh kotor ini
Sayang..! makin hari aku menjadi semakin suka tangismu
Daripada semangatnya api.. api pertikaian yang menggetarkan malam..
disana itu loh.. di pucuk timur..
Tapi rintihmu terlalu riuh malam ini..
Kalau nyata tersadar pasti dipukulnya kau..
Karena banjir diwajahnya., meski kau tau aku akan membelamu..
Sayang., lagipula esok aku ada janji.. ada kencan..
Untuk bertemu pengganti ayahmu..
Sayang, kamu jangan pulang larut lagi besok ya..
Jangan suka mandi malam-malam ah..
Nanti kamu sakit lagi..
Kalau kemarau sudah pulang, titipkan pesan ibu ya..
Untuk siram bunga di taman, bersihkan bak mandi,
Dan bilang padanya jangan main terlalu jauh, agar ia tak-lupa pulang...
-terinspirasi oleh Joko. P-
Membangunkan mimpi..
Nanti nyata juga terbangun loh, dan disuruhnya kau menjaga malam..
Sayang..! kamu sedih ya..
Semakin deras rintihmu ku dengar
Kamu kesepian ya.. dibohongi waktu..
Ia memang selalu begitu sayang..
Semakin tua.. langkahnya makin lambat..
Hingga kemarau jadi datang terlambat..
Sayang.. air matamu terlalu berharga nanti..
Ketika kemarau malas pulang, siapa yang menangisi aku..
Menyirami tubuh kotor ini
Sayang..! makin hari aku menjadi semakin suka tangismu
Daripada semangatnya api.. api pertikaian yang menggetarkan malam..
disana itu loh.. di pucuk timur..
Tapi rintihmu terlalu riuh malam ini..
Kalau nyata tersadar pasti dipukulnya kau..
Karena banjir diwajahnya., meski kau tau aku akan membelamu..
Sayang., lagipula esok aku ada janji.. ada kencan..
Untuk bertemu pengganti ayahmu..
Sayang, kamu jangan pulang larut lagi besok ya..
Jangan suka mandi malam-malam ah..
Nanti kamu sakit lagi..
Kalau kemarau sudah pulang, titipkan pesan ibu ya..
Untuk siram bunga di taman, bersihkan bak mandi,
Dan bilang padanya jangan main terlalu jauh, agar ia tak-lupa pulang...
-terinspirasi oleh Joko. P-
KEPADA PARTAI
Bicaramu seperti kentut, busuk
dilahap lalat yang melarat
pada dasar tertinggal terasa semakin bejat
pantatmu penuh borok
terduduk diatas jerit luka
dimeja kami ber-lagu seperti tinggi
pikirmu mudah
menebar janji dan sedekah
menginjak-injak datarnya pedih
bodohmu kekalahan
kamilah pemenang malang
atas manismu, atas bujuk-rayu palsu
dilahap lalat yang melarat
pada dasar tertinggal terasa semakin bejat
pantatmu penuh borok
terduduk diatas jerit luka
dimeja kami ber-lagu seperti tinggi
pikirmu mudah
menebar janji dan sedekah
menginjak-injak datarnya pedih
bodohmu kekalahan
kamilah pemenang malang
atas manismu, atas bujuk-rayu palsu
PENGAKUAN 3
gemuruh sunyi seru menjumput
berarak-arak kepal berderu
bertanya panjang pada jalan
bertemu sepi di dua jiwa
berbagi kisah dan kaidah
ini siapa punya merdu
pada lalunya waktu berliku
pantas ada galau itu bermula
pancar-berpancar ketika pandang
pupuk-memupuk dirasa kenang
seserabut lembut awan perawan
semerbak pagi sekuncup malam
sepucuk maut mampu kau redup
sabatas atas segala bermakna
memang ada cari itu, padamu
yang datang pada pagi
yang tersenyum pada waktu
yang terbenam di laut biru
berarak-arak kepal berderu
bertanya panjang pada jalan
bertemu sepi di dua jiwa
berbagi kisah dan kaidah
ini siapa punya merdu
pada lalunya waktu berliku
pantas ada galau itu bermula
pancar-berpancar ketika pandang
pupuk-memupuk dirasa kenang
seserabut lembut awan perawan
semerbak pagi sekuncup malam
sepucuk maut mampu kau redup
sabatas atas segala bermakna
memang ada cari itu, padamu
yang datang pada pagi
yang tersenyum pada waktu
yang terbenam di laut biru
PENGAKUAN 2
yang tampak diremang senja
bayang terdalam menggenang
ingin kukecap sebuah senyum
yang menanti dirembang hati
tiba juga tetes embun yang pagi
dinanti liar rumput jenaka
dicembungnya melekat lagi
yang mengoyak remuk berkaca
bukan petang sembunyikan bintang
janji yang sebatas awan
siang juga terangi jalan
berbatas pandang yang nyata
rasa ini ada
membuka pada luka
agar berhenti pada tanya
untuk lapang segala terima
bayang terdalam menggenang
ingin kukecap sebuah senyum
yang menanti dirembang hati
tiba juga tetes embun yang pagi
dinanti liar rumput jenaka
dicembungnya melekat lagi
yang mengoyak remuk berkaca
bukan petang sembunyikan bintang
janji yang sebatas awan
siang juga terangi jalan
berbatas pandang yang nyata
rasa ini ada
membuka pada luka
agar berhenti pada tanya
untuk lapang segala terima
23 Januari 2009
RUANG BISU
Seperti pena raksasa
yang menoreh dinding udara
hadirmu bergema dilangit jiwa...
dan mengajak rinduku
tuk menghujan ke ruang bisu
hingga sempurna oleh waktu...
yang menoreh dinding udara
hadirmu bergema dilangit jiwa...
dan mengajak rinduku
tuk menghujan ke ruang bisu
hingga sempurna oleh waktu...
15 Januari 2009
PENGAKUAN
Ingin kau;
bagai tetes embun pertama
yang mendekap rumput liar
Semerbak bunga-bunga
menebar pelangi dalam nyata
dengan durinya yang menyengat di hati
(waktu yang tiba-tiba menghantarmu
menyihirku dengan sapa,
meskipun hanya diam padaku
ada kugenggam isyaratmu)
Awan tebal yang mengganggu hari
jadikan biru berubah unggu
curahkan sejuk dikuning senja
dan kau, juga aku;
seperti warna di kanvas waktu
tintaku Hitam dan kau lembar Putih
bagai tetes embun pertama
yang mendekap rumput liar
Semerbak bunga-bunga
menebar pelangi dalam nyata
dengan durinya yang menyengat di hati
(waktu yang tiba-tiba menghantarmu
menyihirku dengan sapa,
meskipun hanya diam padaku
ada kugenggam isyaratmu)
Awan tebal yang mengganggu hari
jadikan biru berubah unggu
curahkan sejuk dikuning senja
dan kau, juga aku;
seperti warna di kanvas waktu
tintaku Hitam dan kau lembar Putih
SURAT DARI BARAT (kpd israel palestina)
tidakkah kalian lihat;
wajah anak-anak itu,
yang berselimut dendam
pada saudaranya sendiri
pada api pertikaian tak berujung
yang membakar mimpi-mimpi
menggetarkan diamnya malam
wajah anak-anak itu,
yang berselimut dendam
pada saudaranya sendiri
pada api pertikaian tak berujung
yang membakar mimpi-mimpi
menggetarkan diamnya malam
SURAT DARI TIMUR
didarah kami…
mengalir butir-butir peluru
yang membatu disepanjang waktu
titipan ayah dan ibu dari masa yang lampau
bila terdengar keras dihatimu
ledakan itu memang alarm bagi kami
sebagai tanda telah dimulainya hari
menarik pelatuk dan melempar batu
cara kami bertegur sapa
saling memberi api pada teman dan musuh
retak gigi kehilangan juga teriakan kemenangan
tentang perang yang menggetarkan jiwa
seperti nafas dan ada berganti diantara kami
jangan bakar negrimu dengan cerita ini
sebab didalam bukumu ada tertulis
tentang kami yang tiada akhir
mengalir butir-butir peluru
yang membatu disepanjang waktu
titipan ayah dan ibu dari masa yang lampau
bila terdengar keras dihatimu
ledakan itu memang alarm bagi kami
sebagai tanda telah dimulainya hari
menarik pelatuk dan melempar batu
cara kami bertegur sapa
saling memberi api pada teman dan musuh
retak gigi kehilangan juga teriakan kemenangan
tentang perang yang menggetarkan jiwa
seperti nafas dan ada berganti diantara kami
jangan bakar negrimu dengan cerita ini
sebab didalam bukumu ada tertulis
tentang kami yang tiada akhir
SUARA ALAM (di Gaza)
Bumi berbisik pada angin
yang tertiup dari pusat timur
tentang darah yang mengalir
membentuk telaga dihatinya
“disana semua mimpi dan nyata telah menguap
memadat seperti kristal menyatu di awan permai
menunggu waktu tuk curahkan kebisuan”
(lirih tangis yang menggema ledakan
pada dinding-dinding laras senjata
menjemput gumpalan asap mesiu
untuk membungkus anak manusia
mengantar dendam pada tidur yang kekal)
“disana ada kobaran membakar hari-hari
ada pertikaian tak berujung, ada korban perjuangan,
juga diam yang mengerti”
Hentikan..,
sebelum kukirim penyesalan
dari ruang hampa udara
jadikan segalanya berakhir
yang tertiup dari pusat timur
tentang darah yang mengalir
membentuk telaga dihatinya
“disana semua mimpi dan nyata telah menguap
memadat seperti kristal menyatu di awan permai
menunggu waktu tuk curahkan kebisuan”
(lirih tangis yang menggema ledakan
pada dinding-dinding laras senjata
menjemput gumpalan asap mesiu
untuk membungkus anak manusia
mengantar dendam pada tidur yang kekal)
“disana ada kobaran membakar hari-hari
ada pertikaian tak berujung, ada korban perjuangan,
juga diam yang mengerti”
Hentikan..,
sebelum kukirim penyesalan
dari ruang hampa udara
jadikan segalanya berakhir
SENONOH
dilenggang kasur kata menegang
bantal telanjang, menerjang
ada ngilu, panas, mengerang
meja dan kursi kaki renggang
nyamankan posisi, bergoyang
atas bawah, depan belakang, berulang
seperti duduk, seperti jongkok, terlentang
bantal telanjang, menerjang
ada ngilu, panas, mengerang
meja dan kursi kaki renggang
nyamankan posisi, bergoyang
atas bawah, depan belakang, berulang
seperti duduk, seperti jongkok, terlentang
SAJAK HITAM
Pergilah...
dan bubarkan semangat itu…
Sebab disini tak ada lagi nyata
Hanya mimpi yang tak pernah terpejam
Palingkan pandangmu
Bawa pergi lembar-lembar itu
Tapi tinggalkan sebuah pena
untuk kutoreh pada dinding udara
Mereka seperti patung bagiku
yang tua bernapas, dan ada saat berakhir
yang telah masam, dan mulai membatu
yang mengakar dilangit jingga
“dan mereka mulai betanya-tanya”
Ooo…
Seperti tinggi, sombong
bukan suatu keinginan
Menjadi rendah, terasing
bukan pula tujuan
yang lebih bukan untukmu
tapi kalah tak ada di kita
“yang tertunduk terlihat seperti ragu”
maka,
Adakah rajut warnamu
atau langkahmu serupa angin
dan mata yang tertancap dalam
mungkin bisik alam dilangit pikirmu
Adakah baramu…
“beberapa ada yang mulai beranjak”
Ooo…
Kulihat amarah diwajahmu
Kepal yang tampak meruncing
Seperti sinis pandangmu
mengecam dan menuduh kejam
Pada sajakku yang hitam
“dan yang sadar kembali pulang
yang mimpi tetap terpasung”
dan bubarkan semangat itu…
Sebab disini tak ada lagi nyata
Hanya mimpi yang tak pernah terpejam
Palingkan pandangmu
Bawa pergi lembar-lembar itu
Tapi tinggalkan sebuah pena
untuk kutoreh pada dinding udara
Mereka seperti patung bagiku
yang tua bernapas, dan ada saat berakhir
yang telah masam, dan mulai membatu
yang mengakar dilangit jingga
“dan mereka mulai betanya-tanya”
Ooo…
Seperti tinggi, sombong
bukan suatu keinginan
Menjadi rendah, terasing
bukan pula tujuan
yang lebih bukan untukmu
tapi kalah tak ada di kita
“yang tertunduk terlihat seperti ragu”
maka,
Adakah rajut warnamu
atau langkahmu serupa angin
dan mata yang tertancap dalam
mungkin bisik alam dilangit pikirmu
Adakah baramu…
“beberapa ada yang mulai beranjak”
Ooo…
Kulihat amarah diwajahmu
Kepal yang tampak meruncing
Seperti sinis pandangmu
mengecam dan menuduh kejam
Pada sajakku yang hitam
“dan yang sadar kembali pulang
yang mimpi tetap terpasung”
CERITA SAHABAT
Jalan ini panjang sobat
Penuh batu dan berlubang
Kadang serakah pada umur
Dan kau pun tau tentang debu
Tapi, semua terlihat jalan
yang papah, yang bosan,
yang luka, yang tegap
Hanya saja likunya melelahkan
Disepanjang sisinya
ada jendela-jendela mengintip
pintu-pintu yang menganga
dan juga tiada atap
Semua bisa ada padamu
Itupun jika kau mau
menambah sedikit tanya
Dan sebelum kepastian tiba
dengarkanlah dulu…
(Hei.. dengarkan dulu..)
Apakah nasib cerita tanpa telinga
seperti ditikam sahabat
Apakah nasib telinga tanpa cerita
seperti cetek, dangkal
Tak ada pilihan untuk berjalan
hanya saja jalan mana lalumu
yang terus mengulur pada umur
Dalam jejak terkumpul
jangan hentikan selain waktu
Karena jarak selalu ada
Dan setiap tuju tiada akhir
Di bayang jiwamu
Kulihat lelah menjadi tua
yang kelabu menerka jarak
dan, tiada sisa untuk melangkah
“Cukup” katamu
“untuk kepastian yang tertunda
kukembalikan pada waktu”
Dan akupun menjadi tau,
Agar esok kutinggalkan
kain dan doa padamu..
Penuh batu dan berlubang
Kadang serakah pada umur
Dan kau pun tau tentang debu
Tapi, semua terlihat jalan
yang papah, yang bosan,
yang luka, yang tegap
Hanya saja likunya melelahkan
Disepanjang sisinya
ada jendela-jendela mengintip
pintu-pintu yang menganga
dan juga tiada atap
Semua bisa ada padamu
Itupun jika kau mau
menambah sedikit tanya
Dan sebelum kepastian tiba
dengarkanlah dulu…
(Hei.. dengarkan dulu..)
Apakah nasib cerita tanpa telinga
seperti ditikam sahabat
Apakah nasib telinga tanpa cerita
seperti cetek, dangkal
Tak ada pilihan untuk berjalan
hanya saja jalan mana lalumu
yang terus mengulur pada umur
Dalam jejak terkumpul
jangan hentikan selain waktu
Karena jarak selalu ada
Dan setiap tuju tiada akhir
Di bayang jiwamu
Kulihat lelah menjadi tua
yang kelabu menerka jarak
dan, tiada sisa untuk melangkah
“Cukup” katamu
“untuk kepastian yang tertunda
kukembalikan pada waktu”
Dan akupun menjadi tau,
Agar esok kutinggalkan
kain dan doa padamu..
07 Januari 2009
KEPADA SYAIR UNGGU
Kerut keningnya sedatar bumi.
cerlang mata seluas hatinya.
langit pikir yang membiru
selimuti laut kami…
Kata-katamu berbicara.
Entah... (bisa-kah itu ada?)
Kita semua berbicara.
ada waktu ada henti,
lingkaran,
pun isi dan luas…
yang tumbuh,
tiada batas…
“serupa rumit jiwa”
adakah lelah itu sejenak.?
-yang tak bergerak juga tak diam,
semua warna-
kita…
kau…
entah… (bisa ini benar ada.!)
indahlah pada dasarnya
bermula air
mengalir..
seliuk ular
tubuh semesta..
mengkristal di awan,
dan diam…
“yang padat sempurna”
juga kosong
mengintai.
menjadi deras…
dingin…
liar…
sejuk… (bisa ini berbisa…)
-yang tak bergerak juga tak diam,
setiap sudut-
02 Januari 2009
SYAIR BIRU
Dan aku percaya,
hal ini bukan untukmu,
tidak juga kepadaku.
Kita..
hingga jadilah sebuah syair:
dengan sepuas matanya
dengan seluas jiwanya
dan sejernih hati
se-semesta
dan seketika itu;
kita berdiri dibibirnya
memandangi laut,
biru.
serupa langit
seperti satu
seperti sebuah kelahiran;
yang indah sekaligus mengancam,
mati.
25des..
hal ini bukan untukmu,
tidak juga kepadaku.
Kita..
hingga jadilah sebuah syair:
dengan sepuas matanya
dengan seluas jiwanya
dan sejernih hati
se-semesta
dan seketika itu;
kita berdiri dibibirnya
memandangi laut,
biru.
serupa langit
seperti satu
seperti sebuah kelahiran;
yang indah sekaligus mengancam,
mati.
25des..
Langganan:
Postingan (Atom)